JAKARTA, Beritalima.com–Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Dr H Mulyanto meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus memisahkan otoritas yang mengurus regulasi dan administratif dengan otoritas menetapkan fatwa halal.
Itu diungkapkan Mulyanto kepada Beritalima.com akhir pekan ini. terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang tengah dibahas di Baleg DPR RI antara DPR RI dengan Pemerintah.
“Tak boleh ada tumpang tindih dan intervensi dalam soal ini.
Pengaturan berupa pemisahan yang tegas wilayah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini penting karena di satu sisi otoritas MUI terkait dengan keyakinan keagamaan ‘halal’, sementara otoritas BPJPH terkait ‘kecepatan’ proses adminsitratif penerbitan sertifikasi halal,” kata Mulyanto.
Dikatakan Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini menyebutkan, pembahasan RUU Ciptaker terkait pengaturan jaminan produl halal ini masih belum tuntas. Soalnya, Pemerintah menyisipkan pasal baru untuk mempercepat proses sertifikasi produk halal, dengan menempatkan posisi superioritas BPJPH yang dapat menabrak wilayah otoritas penetapan fatwa halal.
Dalam RUU Ciptaker pasal 35A ayat (2) diatur ketentuan mengenai: apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Dalam pasal 33 ayat (3) diatur ketentuan, bahwa: “sidang fatwa halal memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH”.
Anggota Komisi VII DPR RI ini berpendapat pengambilalihan penetapan fatwa halal oleh otoritas administratif tidak masuk nalar dan keyakinan agama. Karena, walau bagaimana BPJPH dan MUI ini adalah lembaga dengan wilayah otoritas terpisah dan kompetensi berbeda. Tidak bisa saling mengambil alih.
Mempercepat proses penetapan fatwa disetujui PKS. Namun, terkait pengambilalihan ini akan sangat membingungkan. Bagaimana mungkin BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal, sementara proses penetapan fatwa halal untuk produk itu belum selesai? Nanti akan memunculkan pertanyaan, apa dasar ‘kehalalan’ dari sertifikat BPJPH yang terbit tanpa fatwa MUI itu?
Ini soal krusial. Jangan sampai kita memasang pasal ‘bom waktu’ yang kelak bisa meledak dan menuai protes ummat. “Pemerintah perlu cermat
soal ini. BPJPH Tidak bisa serta merta mengambil alih proses penetapan fatwa halal MUI,” tegas Mulyanto.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut memintah Pemerintah perlu merumuskan kembali soal instrumen administratif ini, agar proses penetapan fatwa halal di MUI ini menjadi lebih cepat. Baik melalui penyederhanaan proses, ketentuan jumlah dan unsur anggota sidang fatwa, maupun pendayagunaan MUI daerah.
“Pasal ‘ancam-mengancam’ terkait soal fatwa kehalalan ini semestinya dapat dihindarkan.”Pembahasan RUU Cipta Kerja terkait soal jaminan produk halal ini sudah menyepakati, MUI tetap menjadi otoritas tunggal dalam penetapan fatwa halal. Karena MUI adalah representasi para ulama yang berkompeten dalam soal fatwa, yang juga mewakili seluruh ormas Islam yang ada di tanah air.” (akhir)