JAKARTA, berittalia.com | Lembaga negara dalam pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo yang belum disentuh terkait semangat penyegaran dan revitalisasi adalah Badan Intelijen Negara (BIN). Hingga kini, Kepala BIN masih dijabat Budi Gunawan.
Empat tahun dipimpin Budi Gunawan, tidak banyak temuan menonjol Intelijen Negara yang diekspose ke publik. Apakah ini memang strategi intelijen negara yang berjalan dalam senyap atau karena sebab lain, masyarakat tidak tahu. Yang jelas, kuat dalam perspektif publik, BIN di bawah kendali Budi Gunawan kerap kecolongan.
Pandangan itu disampaikan Rudi S Kamri, Executive Director Hadiekuntono Institute. “Banyak peristiwa terjadi di negeri ini, termasuk yang menonjol seperti kerusuhan berdarah di Papua dan insiden penusukan Wiranto saat masih menjabat Menkopolhukam. Semua menunjukkan deteksi dini aparat intelijen negara tidak berjalan sebagaimana mestinya,” kata Rudi S Kamri, Sabtu (07/11/2019).
Dua kemungkinan yang mengemuka, menurut Rudi S Kamri, yakni aparat intelijen negara tidak bekerja dengan performa yang baik atau memang terjadi hubungan kurang harmonis dan terkoordinasi di antara aparat intelijen dan pihak kepolisian, khususnya di tataran eksekusi.
Itu terjadi, lanjut Rudi S Kamri, bisa karena kapabilitas dan leadership di lembaga intelijen negara kurang mumpuni. “Dalam suatu organisasi kelembagaan, khususnya lembaga intelijen negara, faktor kapasitas kepemimpinan berpengaruh sangat signifikan atas performa operasional secara keseluruhan,” tegas Rudi S Kamri.
Menurut Rudi, intelijen negara tidak tunduk pada hukum pidana atau hukum humaniter, melainkan tunduk pada hukum politik negara. Terkait itu, kata Rudi, selama sosok pimpinan tertinggi intelijen berlatar belakang militer atau kepolisian, pasti akan terkendala dalam menentukan pola dan strategi operasional yang paling mendasar.
Karena itu, Rudi pun mengusulkan sosok Kepala BIN berikutnya adalah figur sipil yang mempunyai kualifikasi dan kapabilitas di bidang intelijen. “Sudah saatnya supremasi sipil diterapkan kembali di lembaga intelijen negara. Tengok saja, hampir di semua negara dunia, lembaga intelijen negara seperti CIA, FBI, KGB, MI6 dan negara demokratis lainnya dipimpin figur sipil,” ujar Rudi.
Rudi berharap Presiden Jokowi ke depan menunjuk Kepala BIN dari figur sipil. Sosok kepala intelijen negara dari figur sipil akan menjamin dalam menjalankan tugas operasionalnya selalu tunduk pada politik negara yang dijalankan Kepala Negara atau Presiden. Disamping itu, menurut Rudi, sosok sipil biasanya lebih fleksibel. “Karena lembaga intelijen negara itu sejatinya institusi sipil, sebaiknya kepala intelijen negara dikembalikan ke khittahnya, yaitu dipimpin figur sipil,” tandas Rudi.
Saat ini, lanjut Rudi, banyak figur sipil yang mempunyai kapabilitas yang mumpuni di bidang intelijen negara. Kriteria tambahan yang seharusnya dimiliki Kepala BIN adalah sosok yang mempunyai hubungan dekat dengan kelompok atau tokoh perlawanan. Selama ini, kebutuhan tidak dipenuhi Kepala Badan Intelijen Negara.
Simpul utama negara sebesar Indonesia dengan hamparan Sabuk Nusantara yang harus diikat kuat, menurut Rudi, adalah daerah ujung ke ujung, yaitu Aceh dan Papua. Kalau kedua daerah itu aman, dipastikan daerah lain relatif aman terkendali. “Aceh dan Papua harus aman terkendali, pertahanan negara di kedua daerah itu pun harus betul-betul kuat. Pasalnya, dua daerah itu jadi beranda terdepan dan penyangga utama negara ini dari serangan pihak luar,” papar Rudi.
Terkait penunjukkan pimpinan tertinggi di lembaga intelijen negara, Rudi menegaskan lagi, “Sosok sipil yang menjadi Kepala BIN kelak harus punya akses langsung dan kuat dengan tokoh-tokoh utama di Aceh dan Papua. Bukan hanya tokoh masyarakat arus utama, Kepala BIN sebaiknya juga punya akses kuat dan didukung tokoh-tokoh pergerakan atau perlawanan di kedua wilayah itu, ” jelas Rudi.
“Tujuannya agar mereka dapat dirangkul kembali ke bumi pertiwi demi menjaga stabilitas politik, sosial, dan keamanan di kedua wilayah dalam bingkai NKRI,” pungkas Rudi.***