Oleh :
Rudi S Kamri
Saat ini publik sedang disuguhi drama partai- partai sedang berebut tampuk singgasana Ketua MPR RI. Semua merasa pantas, semua merasa berhak. Muhaimin Iskandar merasa dia sangat cocok, meskipun menurut saya kursi Ketua MPR RI terlalu besar buat Cak Imin yang bertubuh mungil. Golkar pun suaranya terlihat tidak solid untuk menentukan siapa kadernya yang paling pantas menjadi Ketua MPR RI.
Gerindra tidak mau kalah, karena mereka merasa sudah rekonsiliasi dengan Jokowi sehingga mereka memandang layak mendapatkan hadiah kursi Ketua MPR. Dan yang paling akhir ada berita bahwa Partai Demokrat juga ikut meramaikan drama perebutan singgasana Ketua MPR.
Soliditas partai pendukung Jokowi terlihat sedang diuji dalam kasus perebutan kursi Ketua MPR RI ini. Dalam drama ini terlihat Surya Paloh memegang peranan sentral untuk menjadi penengah bahkan penentu. Premis saya dikuatkan dengan kejadian beberapa hari lalu saat para Ketua Umum dan Sekjen 4 partai (Nasdem, Golkar, PKB dan PPP) “ngariung” di sekretariat Partai Nasdem. Meskipun mereka berkelit saat ditanya wartawan, tapi menurut saya pembicaraan Ketua MPR RI menjadi topik bahasan utama mereka. Dan Sabda Paloh keliatannya akan memegang peranan sentral untuk menentukan kemana arah angin.
Mengapa PDIP tidak terlibat dalam perebutan kursi Ketua MPR RI ? Karena PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019 berdasarkan UU MD3 sudah pasti mendapat jatah Ketua DPR RI. Sehingga mereka tidak mau ambil pusing dengan drama perebutan singgasana Ketua MPR RI. Jadi tinggal partai-partai menengah yang riuh memainkan aksinya. Sejatinya Golkar yang mendapat perolehan kursi kedua terbesar setelah PDIP selayaknya pantas mendapatkan jatah kursi Ketua MPR RI. Tapi karena hal ini tidak dibahas secara eksplisit dalam aturan Susduk DPR/MPR RI, makanya partai-partai lain merasa tidak rikuh untuk berebut.
Berdasarkan amandemen UUD 1945 kita tahu MPR RI bukan lagi menjadi lembaga tertinggi di Republik ini. Tugas konstitusional utama dari lembaga MPR RI adalah melakukan prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Dan tugas tambahan dilakukan lebih pada hasil kreativitas dan inovasi para pimpinan MPR RI. Sebagai contoh, pimpinan MPR RI era Zulkifli Hasan saat ini mempunyai program sosialisasi 4 pilar kebangsaan. Tapi mohon maaf saya tidak melihat efektivitas hasil konkritnya yang dirasakan rakyat atas program tersebut.
Jujur dengan anggota yang hanya merupakan gabungan dari anggota DPR dan DPD, lembaga MPR RI saat ini mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. Akan tetapi dalam sistem ketatanegaraan kita lembaga ini memang tetap harus ada untuk menjaga marwah dan norma kenegaraan kita. Dan mengingat MPR RI merupakan lembaga prestise, seharusnya pimpinan lembaga ini dipimpin oleh seorang yang mempunyai wawasan kebangsaan dan kenegarawanan yang mumpuni. Tokoh yang mempunyai kewibawaan dan jam terbang tinggi di parlemen serta mempunyai rekam jejak bersih. Bukan sekedar tokoh partisan.
Diantara tokoh nasional yang ada saat ini memang tidak banyak yang masuk dalam kriteria yang saya sebut di atas. Tapi kalau saya boleh mengambil contoh figur yang cocok untuk jabatan tersebut salah satunya adalah AGUN GUNANJAR SUDARSA. Politisi senior Golkar ini sudah 6x terpilih menjadi anggota DPR RI. Otomatis tidak diragukan lagi kapabilitas dan pengalamannya di parlemen. Dan secara obyektif kredibilitasnya pun juga relatif bersih di banding koleganya.
Tapi yang namanya politik yang saya tahu terkadang tidak bisa hanya berdasarkan penilaian obyektivitas semata. Banyak pertimbangan subyektif lain yang terkadang tidak masuk akal. Karena para politikus sering mempunyai logika berpikir tersendiri yang berbeda dengan rakyat kebanyakan. Meskipun kalau jujur sebenarnya mereka bisa duduk manis di lembaga itu juga karena suara rakyat.
Bagaimana ending dari drama perebutan kursi Ketua MPR RI ? Entahlah…. kita nikmati saja keriuhannya atau kita tunggu saja Sabda Paloh dari balik layar.
*Salam SATU Indonesia*
24072019