BANYUWANGI, beritalima.com – Sidang kasus demo berlogo palu arit Pesanggaran dengan terdakwa Hari Budiawan alias Budi Pego, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi, Selasa (31/10/2017). Meneruskan agenda sidang sebelumnya, kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Sidik Bintoro, salah satu jurnalis peliput demo 4 April 2017 tersebut sebagai saksi.
Dihadapan majelis sidang, pria asal Desa Pengatigan, Kecamatan Rogojampi, ini dengan tegas mengaku melihat gambar mirip lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam aksi tersebut.
“Waktu liputan ada gambar palu arit yang saya lihat dibentangkan dari kecamatan kearah pertigaan,” katanya.
Bahkan, ketika ditanya tim penasehat terdakwa, Bintoro menerangkan bahwa spanduk berlogo palu arit juga diketahui oleh 3 orang awak media lain yang berada dilokasi. Dan saat hendak wawancara, terdakwa Budi Pego lah, yang tampil sebagai koordinator demo.
“Saat wawancara, dia (Budi Pego), sebagai koordinator aksi,” ungkap Bintoro.
Kesaksian saksi ini makin kuat dengan dilakukannya pemutaran rekaman video demo. Disitu terlihat jelas dua spanduk bergambar mirip lambang PKI dikibarkan oleh demonstran. Dari suara peserta aksi dalam video, terindikasi logo palu arit dibuat dengan sengaja.
Sementara itu, ketika dimintai tanggapan terkait keterangan saksi oleh Ketua Majelis Hakim, Putu Endru Sonata SH, terdakwa menilai ada yang kurang lengkap.
“Suruh membentangkan spanduk sama wartawan, itu yang tidak disampaikan,” kata Budi Pego.
Usai mendengarkan keterangan saksi dan pemutaran rekaman video demo, Ketua Majelis Hakim, Putu Endru Sonata SH, menutup persidangan. Dan akan dilanjutkan kembali pada Selasa, 7 November 2017. Dengan agenda lanjutan mendengarkan keterangan saksi JPU.
Setelah melihat rekaman video, meski mengakui terdapat spanduk berlogo palu arit dalam demo, salah satu penasehat hukum terdakwa, Ahmad Rifai SH, tetap bersikukuh bahwa kliennya belum bisa disebut menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme atau Leninisme, seperti yang tertera dalam pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.
“Apakah ada logo palu arit itu bisa disimpulkan sebagai menyebarkan paham komunisme?, kita fokus disitu,” katanya.
Pengacara dari Walhi Surabaya ini juga mengaku akan mengajukan 4 orang saksi. Yang terdiri dari 2 orang saksi meringankan dan 2 orang saksi ahli.
Seperti sebelumnya, massa penyelamat NKRI, terus mengawal jalannya persidangan ini. Massa yang terdiri dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Forum Peduli Umat Indonesia (FPUI), Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Suara Blambangan (Forsuba), mengepung PN Banyuwangi.
Mereka mendesak agar segala hal yang terindikasi berkaitan dengan PKI harus dihukum berat. Terlebih tentang bahaya Laten Komunis, Banyuwangi, memang punya sejarah kelam. 62 orang kader GP Ansor setempat telah menjadi korban kekejaman PKI pada 18 Oktober 1965 di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring.
“Itu tidak boleh dilupakan, gerakan apapun yang terindikasi menjadi kemunculan bahaya laten, harus diwaspadai,” kata Ketua Forsuba, H Abdillah Rafsanjani.
Ketua PP Banyuwangi, Eko Suryono S Sos, juga mengajak seluruh masyarakat Bumi Blambangan, termasuk jajaran Tim konsorsium advokat Walhi, LBH Surabaya, Kontras dan For Banyuwangi, untuk berfikir jernih. Serta tidak mudah terprovokasi isu pihak tak bertanggung jawab yang menyebut bahwa proses pengadilan terhadap terdakwa Budi Pego, adalah kriminalisasi.
“Ini tidak ada kaitannya dengan demo tolak tambang yang mereka lakukan, karena kita semua paham bahwa demo menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara. Namun sidang kali ini adalah murni tentang pengibaran logo palu arit yang itu mirip dengan lambang PKI, yakni organisasi terlarang musuh negara, musuh seluruh warga Indonesia. Dan sejarah mencatat, PKI pernah membantai dengan keji putra-putra Banyuwangi,” ucap Eko.
Terkait sosok terdakwa Budi Pego, penelusuran PP Banyuwangi, juga mendapati informasi yang cukup mencengangkan. Yakni Budi Pego banyak disebut bukanlah seorang aktivis lingkungan. Bahkan, rekam jejak terdakwa justru menunjukkan bahwa dia dulu merupakan mitra dari PT Indo Multi Niaga (IMN), perusahaan tambang emas besar yang pernah beroperasi di Banyuwangi.
Untuk itu, dia berharap para aktivis, LSM dan pegiat lingkungan mau sedikit membuka mata serta mencoba mencari tahu fakta sebenarnya di Tumpang Pitu. Bukan justru membabi buta dalam melakukan pembelaan. Karena, jejak perjalanan hidup Budi Pego yang disinyalir merupakan mantan mitra perusahaan pertambangan, dinilai menyimpan rahasia tentang apa motif tujuan aksinya.
“Kenapa dia tidak dari dulu saja menolak pertambangan saat masa IMN, kenapa baru sekarang?,” pungkas Eko. (Abi)