Catatan: Yousri Nur Raja Agam
DULU, di suratkabar dan majalah, selalu kita temui kalimat pendek di sela-sela berita. Kadangkala, kalimat singkat juga dijadikan pengisi ruang kosong di bagian bawah artikel di koran. Modelnya seperti iklan mini. Tetapi, itu bukan iklan berbayar.
Kalimat singkat itu, di antaranya: “Bantulah PMI”. Atau ada semboyan: “Se Tetes Darah Anda, Nyawa Bagi si Sakit”. Juga, yang terang-terangan berbunyi: “Ayo Kita Donor Darah”. Dan, banyak lagi seruan dan ajakan untuk donor darah dan membantu PMI (Palang Merah Indonesia).
Begitulah contoh, betapa besar perhatian kepada PMI. Dalam kegiatan sehari-hari, PMI merupakan organisasi kemanusiaan. Organisasi sosial Kemasyarakatan dan organisasi pengabdian. Sehingga segala aktivitas PMI sangat layak dibantu dan didukung.
Hari ini, tanggal 17 September, disebut sebagai Hari Palang Merah Indonesia. Sebab, sebulan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 September 1945, Palang Merah Indonesia (PMI) resmi didirikan dengan Mohammad Hatta sebagai ketuanya. Sekaligus, dinyatakan 17 September 1945 sebagai Hari Lahir PMI. Berarti di hari ini, Jumat tanggal 17 September 2021, PMI genap berusia 76 tahun. Dirgahayu PMI.
Dicetuskan 3 September
Bermula, pada tanggal 3 September 1945, Presiden Republik Indonesia, Soekarno mengeluarkan perintah kepada Menteri Kesehatan, Dr.Buntaran untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional.
Berdasarkan instruksi Presiden itu, tanggal 5 September 1945, Dr Buntaran, membentuk Panitia 5 yang terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana, dr Marzuki, dr. Sitanala (anggota). Panitia 5 imi rapat dan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak. Akhirnya, tanggal 17 September 1945, organisasi Palang Merah Indonesia (PMI) berhasil dibentuk dengan Ketua Drs.Muhammad Hatta.
Dalam waktu singkat, sesuai dengan situasi dan kondisi negara kita waktu itu, maka PMI langsung melakukan kegiatan kemanusiaan. Saat itu di antaranya membantu mempersiapkan pemulangan balatentara Jepang yang berada di Indonesia. Mereka yang kalah dalam Perang Dunia II ini, dianggap sebagai tawanan perang.
Tentara Sekutu, sebagai “pemenang” Perang Dunia II akan datang ke Indonesia mengurus pemulangan tentara Jepang yang ada di Indonesia. Proses evakuasi tawanan Jepang itu, juga disertai utusan Palang Merah Internasional.
Kendati Indonesia sudah merdeka, tetapi bekas penjajah, yakni Belanda tidak sertamerta mengakui. Sehingga, setelah melalui berbagai aksi dan perjuangan dalam negeri, serta perundingan secara internasional, baru akhir Desember 1949, Belanda mengakui dan melakukan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia.
Selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu, PMI yang baru berdiri, langsung terjun ke medan perang untuk membantu korban perang. Sertamerta di seluruh Indonesia terbentuk PMI dan relawan yang bertugas sebagai anggota PMI.
Melihat peran PMI yang demikian itu, tahun 1950,
PMI mendapat pengakuan secara Internasional. PMI resmi menjadi anggota Palang Merah Internasional. Keberadaan PMI secara nasional disahkan melalui Keppres No.25 tahun 1959. Selanjutnya diperkuat lagi dengan Keppres No.246 tahun 1963. Saat ini, PMI tersebar di 34 Provinsi didukung 175 unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.
NERKAI di Zaman Belanda
Dari berbagai sumber diperoleh informasi, sebenarnya kegiatan Palang Merah sudah dimulai sejak zaman Kolonial Belanda. Tanggal 21 Oktober 1873 didirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama NERKAI (Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie).
Kendati kegiatan Palang Merah bernama NERKAI sudah ada, namun ada upaya untuk mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) sekitar tahun 1932. Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan. Rencana itu mendapat dukungan dari berbagai daerah di Indonesia.
Rancangan pembentukan PMI itupun disampaikan dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940. Tetapi usulan itu ditolak, dengan alasan tidak bisa dibentuk Badan yang sama dalam satu negara. Maka, rancangan itu disimpan untuk menunggu kesempatan yang tepat.
Saat pendudukan Jepang, Dr Bahder Djohan kembali berusaha membentuk PMI. Lagi-lagi usulan itu ditolak. Bahkan Jepang, juga membubarkan NERKAI yang didirikan Kolonial Belanda.
Ketika PMI sudah resmi berdiri, maka Pemerintah Belanda, tahun 1950 membubarkan NERKAI dan menyerahkan asetnya kepada PMI. Pihak NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Djohan.
Usai penyerahan aset dari NERKAI kepada PMI, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Keppres No. 25 tanggal 16 Januari 1950.
Bulan Sabit Merah
Secara Internasional, keberadaan PMI diakui oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada 15 Juni 1950. Setelah itu, PMI diterima menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Liga) yang sekarang disebut Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada Oktober 1950.
dan dikuatkan engan Keppres No. 246 tanggal 29 November 1963. Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan PMI. Tugas utama PMI berdasarkan Keppres RIS No. 25 tahun 1950 dan Keppres RI No. 246 tahun 1963 adalah untuk memberikan bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sesuai dengan isi Konvensi Jenewa 1949.
PMI adalah organisasi kemanusiaan yang berstatus badan hukum, diundangkan dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan guna menjalankan kegiatan Kepalangmerahan sesuai dengan Konvensi Jenewa Tahun 1949. PMI memiliki tujuan untuk mencegah dan meringankan penderitaan dan melindungi korban tawanan perang dan bencana, tanpa membedakan agama, bangsa, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, golongan, dan Pandangan Politik. Saat ini, PMI telah berdiri di 33 Provinsi, 474 Kabupaten/Kota dan 3.406 Kecamatan (data per-Februari 2019). PMI juga tercatat memiliki hampir 1,5 juta sukarelawan.
Henry Dunand
Sejarah lahirnya gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional adalah pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka. Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul “Kenangan dari Solferino”, yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan:
Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera”, yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC).
Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya “Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang”. Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.(*)