JAKARTA – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis gempa magnitudo 5,1 terjadi pada Kamis (10/9), pukul 15.27 WIB. Sebagian warga Pacitan, Jawa Timur merasakan getaran lemah saat gempa tersebut terjadi.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan melaporkan kepada Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) BNPB bahwa gempa dengan M5,1 hanya dirasakan sebagian warganya. Sedangkan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, BPBD setempat memantau warga tidak merasakan getaran apa pun.
BMKG merilis gempa M5,1 terjadi pada kedalaman 31 km. Pusat gempa berada di 63 km barat daya Pacitan, Jawa Timur. Berdasarkan hasil pemodelan, gempa tidak memicu terjadinya tsunami. Dilihat dari guncangan gempa yang diukur dengan skala MMI atau Modified Mercalli Intensity, wilayah seperti Wonogiri, Bantul Pacitan, Trenggalek, Magetan, Nganjuk dan Sawahan pada II – III MMI.
Berdasarkan analisis InaRISK, sebanyak 10 kecamatan di Kabupaten Pacitan berada pada tingkat risiko bahaya gempa bumi sedang hingga tinggi. Sedangkan melihat populasi penduduk, sekitar 181.224 jiwa di 10 kecamatan tersebut terpapar potensi bahaya gempa bumi. Luas wilayah berada pada risiko dengan tingkat sedang hingga tinggi mencapai 64.538 hektar.
Wilayah Pacitan juga memiliki potensi ancaman bahaya tsunami. Dilihat dari analisis InaRISK, pacintan memiliki 7 kecamatan dengan potensi sedang hingga tinggi. Populasi terpapar potensi bahaya tsunami di sejumlah kecamatan mencapai 9.965 jiwa.
Kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi potensi ancaman bahaya gempa bumi dan tsunami diperlukan. Hal tersebut dikarenakan belum ada teknologi yang mampu untuk mendeteksi waktu gempa akan terjadi. Sedangkan tsunami, informasi yang dapat dimonitor berdasarkan hasil pemodelan.
Terkait dengan potensi tsunami di wilayah Pacitan, seorang peneliti dari Brigham Young University Profesor Ron Harris melakukan kajian paleotsunami atau tsunami purba beberapa tahun lalu. Berdasarkan kajian yang melibatkan para peneliti dan juga BPBD setempat, ia pun menciptakan pendekatan yang mudah diingat. Ini diharapkan dapat dimanfaatkan masyarakat setempat untuk kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman tsunami di kawasan itu. Pendekatan itu berupa jargon 20-20-20.
Angka itu bukan sekedar angka yang kemudian muncul begitu saja. Namun angka ini berdasarkan kalkulasi sainstifik yang memperhitungkan durasi gempa yang terjadi, kecepatan tsunami dan wilayah evakuasi aman.
Makna 20-20-20 merujuk pada kejadian gempa yang terjadi sekitar 20 detik, warga memiliki waktu 20 menit untuk melakukan evakuasi pada ketinggian 20 meter. Namun Ron menyampaikan bahwa gagasan terhadap pesan itu harus _adaptable_ dengan konteks wilayah, seperti di Ambon 20-10-20 dan di Bali 20-20-10.