Sebelum Ada Payung Hukum, Pengamat: Tak Boleh Ada Pembangunan di Areal IKN Baru

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah seharusnya belum melakukan aktivitas apapun di lahan yang bakal dijadikan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru sebelum ada payung hukum.

Sebab, sampai sekarang belum ada hitam di atas putih dari para wakil rakyat di Parlemen berupa UU terkait dengan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun IKN ke Kabupaten Paser Penajam Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. “Itu artinya, belum ada persetujuan dari DPR RI pembangunan pemindahkan IKN dari DPR RI,” kata pengamat politik Muhammad Jamiluddin Ritonga, Rabu (7/4) pagi.

Jangankan menyetujui, draf Rancangan Undang-Undang (IKN) saja sampai saat ini belum diterima DPR RI dari Pemerintahan Jokowi. Infonya, draf RUU tersebut masih digodok para pepmbantu Jokowi dalam pemerintahan.
Jadi, secara formal rakyat belum menyetujui pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. “Jadi, belum ada legal standing-nya. Hal tersebut seharusnya dihormati Pemerintah,” kata pengamat yang akrab disapa Jamil tersebut.

Pemerintah seharusnya, lanjut pengajar di Universitas Esa Unggul Jakarta tersebut dalam bincang-bincang dengan Beritalima.com, belum boleh mengalokasikan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Negara yang baru. Anggaran baru dapat dialokasikan bila DPR RI sudah mensyahkan RUU IKN menjadi UU.

Untuk itu, Pemerintah seyogyanya taat hukum dalam membangun ibu kota negara yang baru. Termasuk dalam pembuatan desain ibu kota negara yang sudah sering dipamerkan melalui media sosial. “Pemerintah harus memberi contoh yang baik dalam penegakkan hukum kepada masyarakat sehingga rakyat bisa sadar hukum,” kata dia.

Selain itu, pemindahan IKN ibu idealnya ditanyakan langsung ke rakyat melalui referendum. Hal itu perlu dilakukan mengingat persoalan IKN merupakan hal krusial yang langsung berkaitan hajat rakyat Indonesia. Dalam konstitusi juga tidak disebutkan pemindahan IKN kewenangan Presiden dan DPR RI. Ini menjadi dasar yang kuat diperlukan referendum, sehingga memang rakyat yang berkuasa di Indonesia.

Selain itu, kondisi keuangan negara juga tidak memungkinkan untuk pindah ibu kota negara pda saat ini. Disaat Indonesia resesi dan hutang yang melimpah, tentu sangat tidak bijaksana memaksakan pembangunan ibu kota negara.

Presiden dan DPR RI sebaiknya merenungkan masalah tersebut. “Saat ini mayoritas rakyat Indonesia tidak membutuhkan ibu kota negara yang baru. Rakyat sedang berjuang melawan Covid-19 dan resesi ekonomi. Sebab itu, rakyat Indonesia butuh sentuhan kesehatan dan ekonomi untuk memulihkan dampak Covid-19 dan resesi ekonomi. Pemerintah seharusnya memprioritaskan dua hal itu, bukan pemindahan ibukota,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

 

beritalima.com

Pos terkait