Secara Nalar Ndak Nutut

  • Whatsapp

beritalima.com | Pemerintah tengah merampungkan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang gaji. Dalam RPP yang sudah beredar luas tersebut, struktur penggajian ASN dan pejabat negara dan lainnya berubah. Bahkan, penghasilan Bupati/Walikota bisa mencapai Rp. 73,2 juta per bulan. Sedangkan wakil Bupati/Walikota menerima penghasilan Rp. 69.718.252 per bulan.

Dengan aturan tersebut, ada larangan bagi PNS atau ASN untuk menerima penghasilan dari sumber lain. Hal ini tertuang dalam pasal 33 RPP tentang gaji, tunjangan, dan fasilitas PNS.

Jika melihat penghasilan seorang Walikota yang sampai Rp. 73,2 juta per bulan adalah besar dan sangat wajar. Karena sesuai dengan kinerjanya, dan tugas serta tanggung jawab seorang Walikota yaitu memimpin sebuah kota besar. Besaran penghasilan tersebut kalau kita jumlahkan selama satu tahun menjadi sebesar Rp. 73,2 jt dikali 12 ketemu Rp. 878. 400.000,- Dan dalam lima tahun menjabat seorang Walikota akan menerima penghasilan sebesar Rp. 878.400.000 dikali lima sama dengan Rp. 4.392.000.000,-

Penghasilan sebesar Rp. 4.392.000.000,- sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika nyalon sebagai Walikota. Misalnya untuk kota Surabaya ada 31 kecamatan, jumlah TPS nya ada kurang lebih sekitar 5000 an. Dana kampanye untuk mengumpulkan orang, pertemuan, buat posko, cetak baliho, cetak kaos, poster, pasang bener, dll setiap kecamatan membutuhkan dana 1 M, maka untuk 31 kecamatan dibutuhkan 31 M. Belum lagi dana saksi, misal per saksi butuh biaya @Rp. 200.000,- dikalikan 5000 TPS sudah ketemu 1.000.000.000,- ditambah dana pelatihan saksi @Rp. 200.000,- dikali 5000 sebesar Rp. 1 M. Total semua menjadi 31 M ditambah 2 M sama dengan 33 M.

Hal itu kalau langsung bisa menang, terus kalau masih ada putaran ke dua maka akan menambah beban biaya lagi. Harus segera ditutup, apakah itu dana dari patungan dengan wakilnya atau dapat sumbangan dari partai pengusung. Lumanyan juga apabila ada partai pengusung yang mau menerima si calon tanpa mahar, artinya tidak membebani calon yang mau maju Walikota dan wakil Walikota. Akan tetapi bisa saya katakan hal itu sangat mustahil. Sedikit banyak seorang calon pasti keluar uang untuk biaya kampanyenya. Di dunia ini tidak ada yang gratisan, dan sepertinya hal itu tidak ada di dalam kamus politik tanah air.

“Jer Basuki Mawa Bea”, jika kita mau mencapai tujuan yang lebih baik (baca meraih sukses) sudah seharusnya berusaha dengan sekuat tenaga, juga ada pengeluaran dana untuk melancarkan tujuan tersebut. Apabila hal ini sudah disadari oleh semua calon Walikota dan wakil Walikota menjadi lebih simple dan tidak ada masalah di kemudian hari.

Jadi kedepannya kita tidak mendengar lagi pemberitaan di media massa, bahwa ada seorang Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi. Kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, waktu transaksi di sebuah hotel berbintang lima, dengan barang bukti segepok uang rupiah dan beberapa mata uang asing. Mereka digiring masuk ke dalam mobil tahanan, dan setelah satu kali duapuluh empat jam diadakan pemeriksaan secara intensif keluar sudah memakai rompi warna oren. Artinya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Memang kalau dipikir-pikir penghasilan Walikota sebesar Rp. 4.392.000.000,- selama lima tahun itu secara nalar ndak nutut. Akan tetapi Walikota adalah jabatan politik, ada kebanggaan tersendiri, yang mana penghormatan menjadi orang nomor satu merupakan tingkatan tertinggi dalam piramida hidup manusia.

Seharusnya yang benar itu seorang calon Kepala Daerah, baik Bupati atau Walikota adalah mereka yang sudah selesai kehidupannya. Dalam pengertian sudah mapan secara ekonomi, dan punya kemampuan managerial memimpin sebuah kota. Mereka berkeinginan maju menjadi Bupati atau Walikota tujuan utamanya adalah demi mendarma baktikan ilmunya kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga ketika mereka terpilih dan menjabat sebagai Bupati, atau Walikota akan bekerja dengan profesional, menjadi orang nomor satu yang kinerjanya bagus, dan bisa memajukan daerahnya.

Tetapi semua itu berpulang lagi kepada individu masing-masing. Karena kita juga tidak bisa melarang seseorang untuk bisa maju sebagai calon Walikota dan wakil Walikota. Dan yang terpenting proses seleksi oleh partai politik berjalan secara terbuka, adil dan fair. Jika proses awalnya sudah baik dan benar, maka hasil akhirnyapun akan baik juga. Dalam artian sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.

Kita tunggu saja tanggal mainnya, yaitu pada tanggal 23 September 2020. Semoga Walikota dan wakil Walikota Surabaya yang terpilih nanti benar-benar seorang yang mumpuni, menjadi pioner, bisa mengayomi semua warga masyarakat, dan menorehkan prestasi yang gemilang bagi kemajuan kota yang dipimpinnya. Memang kalau dipikir secara nalar ndak nutut, tetapi begitulah realitanya. Bagaimana pendapat Anda.

Surabaya, 14 Agustus 2019

Cak Deky
Sekjen DPW APKLI Jatim.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *