Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang anak muda (muslim) dari salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta ini, tinggal (kos) di sebuah asrama milik non muslim (Katolik). Setelah tinggal beberapa waktu, mahasiswa yang juga seorang tokoh aktivis dari ormas mahasiswa Islam kesohor ini, berkesimpulan bahwa para tokoh agama dan orang-orang sekitar yang berlainan akidah itu sangat luar biasa baik. Mereka selalu terlihat menebarkan kasih dan sejumlah kebaikan yang dibutuhkan manusia. Tidak ada kalimat bernada kekerasan terdengar. Intonasi dan nada bicara selalu santun. Ketika suatu saat ada kesempatan, ia pun sering mencuri waktu sekedar mendengarkan khotbah para pastor yang selalu menebarkan kasih antar sesama dan tema-tema sosial yang menyejukkan. Pikiran kritisnya, sekaligus bernuansa nakal pun, membuatnya bertanya dalam hati. Akankah orang-orang sebaik itu besuk akan dimasukkan “neraka” sebagaimana yang diyakini kaum muslimin selama ini. Dia pun lantas membandingkan dengan para khatib di masjid yang sering menyampaikan tema-tema kekerasan, dahsyatnya ancaman siksa neraka dan sejumlah gambaran kekejaman Allah lainnya.
Kisah tersebut, dapat kita jumpai dalam buku “Pergolakan Pemikiran” yang mendapat pengantar dari Prof. Dr. H, Mukti Ali, MA. (Seorang Guru Besar Perbandingan Agama dan mantan Menteri Agama RI di Era Orde Baru tahun 1972-1977). Penggalan cerita, yang sebenarnya merupakan kumpulan catatan harian tersebut sengaja saya kutip, meskipun dengan redaksi berbeda, sekedar sebagai ilustrasi ironisme praktik keagamaan, khususnya tentang tema-tema khotbah para khatib, di satu pihak, dengan saudara-saudara dari Nasrani, di pihak lain.
Khutbah Jum’at bukan sekedar menjadi syarat sahnya suatu salat Jum’at saja, akan tetapi lebih dari itu, ia memegang peranan penting bagi umat Islam. Syaikh Shalih al-Fauzân berkata: “Ringkasnya, khotbah Jum’at mengandung urgensi besar dalam Islam, karena memuat bacaan ayat-ayat al-Qur`ân, dan hadits-hadits Rasulullâh SAW, pengarahan-pengarahan yang bermanfaat dan nasihat yang baik serta alat pengingat terhadap sunnatullâh. Oleh karena itu, seorang khatîb dan jama`ah salat harus memberikan perhatian kepadanya (khotbah)… “[al-Mulakhkhash :1/256]
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa pada kesempatan khotbah juga digunakan oleh Rasulullâh SAW untuk menjelaskan perkara-perkara penting dan mendasar dalam agama. Persoalan-persoalan yang menjadi titik perhatian beliau mencakup dasar-dasar keimanan, pujian-pujian bagi Allah SWT, perintah bertakwa kepada-Nya, dakwah, mengingatkan akan nikmat-nikmat Allah SWT dan siksa-Nya, perintah untuk mengingat-bersyukur kepada-Nya, sebab-sebab kemurkaan-Nya, faktor-faktor yang mendatangkan keridhaan-Nya, penjelasan mengenai syurga dan neraka, hal-hal yang Allah SWT sediakan bagi para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya, dan hal-hal yang SWT sediakan bagi musuh-Nya dan pelaku maksiat, serta pembelajaran ajaran-ajaran Islam.
Dalam buku “Rasulullah Manusia Tanpa Cela” diterangkan, saat berkhotbah beliau berusaha agar pengarahan, wejangan, dan nasihat-nasihatnya bukan saja didengar oleh telinga, tetapi langsung menembus lubuk hati. Beliau mengucapkan kalimat demi kalimat secara jelas, dengan susunan bahasa yang indah dan arti yang terang. Sering pula Rasulullah memakai tamsil ibarat dan perumpamaan-perumpamaan yang menarik. Meski mengguna kan kata- kata yang indah, Beliau tidak bersajak tapi bicara sewajarnya.
Tak jarang, saat sedang berkhotbah tiba-tiba seorang jamaah meminta Beliau berdoa. Rasulullah sama sekali tidak marah khotbahnya dipotong di tengah jalan, bahkan Beliau mengabulkan usulan tersebut. Hal ini sebagai mana keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Anas RA. Ia berkata: “Ketika Rasulullah sedang khotbah Jumat, tiba-tiba seseorang berdiri, seraya berkata: ‘Ya Rasulullah, (banyak) kuda dan domba telah mati, maka berdoalah kepada Allah agar Ia menurunkan hujan kepada kita.’ Rasulullah SAW pun menengadahkan kedua tangannya lalu berdoa.” (Shahih Bukhari, hal: I/66).
Saat berkhutbah, kalanya beliau berkhotbah dengan sikap yang tegas dan suara yang tinggi, namun pada kesempatan lain menampilkan suara yang lemah lembut. Sangat fleksibel. Dengan kata lain, beliau selalu eken menyesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini.
Salah satu hal penting menjelang pemilihan umum ini, sering kita saksikan para khatib mengangkat tema-tema politik. Yang demikian tentu tidak salah jika sebatas menyampaikan urgensi politik bagi kehidupan. Akan tetapi, tentu patut disayangkan ketika isi khotbah itu berisi politik praktis dengan menjadikan mimbar Jumat layaknya podium tim sukses bagi calon pemimpin atau celeg tertentu. Pada saat yang sama, saat khatib dengan berapi-api menyampaikan himbauan dukungan kepada calon pemimpin atau partai tertentu, di depannya jamaah yang hadir terdiri dari berbagai pendukung calon dengan segenap fanatisme mereka. Kita tidak bisa membayangkan jika kebolehan interupsi saat khotbah seperti zaman rasulullah SAW, prosesi Jmatan pasti seperti layaknya rapat komisi para wakil rakyat di Senayan. Padahal, tema-tema yang menyangkut kepentingan bersama, jika mau diangkat, masih terlalu banyak, seperti kemiskinan, pentingnya persatuan dan kesatuan, pentingnya hidup sehat, bahaya narkoba, dan pentingnya pendidikan. Atau, politik kebangsaan dan bukan politik praktis yang cenderung partisan.
Akhirnya, tampaknya para pendakwah perlu berpikir ulang mengenai hakikat khotbah. Khotbah Jumat sejatinya menyangkut penyampaian misi sebuah ajaran agama yang tentu dianggap suci. Metoda bagaimana mengomunikasikannya, tentu menjadi penting. Sebab, berhasil atau tidaknya sebuah komunikasi tentu tergantung pada tekniknya. Dan, nilai-nilai teknik ini telah jauh-jauh hari telah digariskan oleh Al Qur’an, seperti perintah agar mengajak orang dengan hikmah, berdialog dengan cara yang baik, dan perintah menghindari kekerasan. Tentu sebuah ironis ketika kita menyaksikan, tema-tema khutbah kita sering mengedepankan gaya agitasi, atau hanya dominasi “wilayah gaib” (asketis) dan mengabaikan persoalan riil masyarakat. Makna kasih sayang Allah yang termaktub pada pembuka kitab suci kita pada lafaz “basmalah” ( Allah Yang Maha Rahman dan Rahim) yang dianjurkan untuk dibaca setiap memulai apa pun (kebaikan), sering dilupakan, temasuk ketika menyampaikan khotbah Jumat. Ironis bukan?