Sejuta Pesona Alam di Bumi Panrita Lopi

  • Whatsapp

beritalima.com | Hari itu tanggal 3 Mei 2019 saya dan teman-teman berkunjung ke Kabupaten Bulukumba Sulawesi selatan. Kunjugan kami untuk mengerjakan tugas mata kuliah Fotografi.
Dipagi hari yang masih menyisakan embun yang menyejukkan hati dan fikiran, saya mempersiapkan diri untuk hunting.

Semangat yang begitu menggebu-gebu menghiasi pagiku yang sejuk. Maklum, Bulukumba adalah tanah kelahiranku disana aku menghabiskan waktu remaja dan anak-anak.
Untuk pertama kalinya kegiatan hunting ini (proses pengambilan gambar diluar daerah) saya ikuti.
Jam 08.00 Wita, saya meninggalkan rumah di Makassar menuju pallangga Kab. Gowa. Sesuai perjanjian tim hunting, titik kumpul kami ada di pallangga yaitu rumah Fathul. Sebenarnya perjanjian waktu berangkat jam 14.00 Wita. Biasa, datang sebelum waktu yang tepat itu sudah menjadi kebiasaanku.
Jam sudah menunjukkan 14.00 Wita, tapi tak satu orang pun dari teman kelompok kami yang hadir. Hanya Sebatang rokok yang menemani penantianku dipallangga. Tak bosan-bosannya korek api yang semula diam dikantongku terus menertawai kekosonganku dalam penantian yang membuatku ingin membatalkan kegiatan hunting.

Pukul 17.00 Wita akhirnya ujian kesabaranku berakhir. Tim kami sudah terkumpul dengan berbagai macam peralatan hunting yang membuatku semakin bersemangat.
Kami berjumlah 13 orang melewati rintangan dan tantangan di perjalanan menuju Bulukumba daerah tercinta. Jalanan yang berkelok-kelok serta jarak yang begitu lumayan jauh, membuat sebagian teman-teman ingin memutar balik arah kendaraan mereka menuju Makassar.
Tak terasa perjalanan kami sudah 3 jam lebih, artinya garis finis sudah berada didepan mata. Karena waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan Makassar Bulukumba biasanya hanya 5 jam perjalanan dengan kecepatan normal.

Sampai di kota Bulukumba, saya mendapatkan kabar bahwa kami harus menginap di rumah keluarga Syahrul Akram (salah satu anggota kelompok kami) yang sudah melakukan perjalanan terlebih dahulu bersama keluarganya yang beralamat di desa Tibona Kec. Bulukumpa Kab. Bulukumba.
Kesejukan udara yang disuguhkan bumi Panrita Lopi ikut mewarnai perjalanan kami menuju Desa Tibona. Ada hal menarik yang tidak mau aku ceritakan kesemua orang ketika perjalanan kami berada di desa Bonto Manai Kec. Bulukumpa Kab. Bulukumba. Saat itu, saya yang diharapkan mampu bertindak sebagai penunjuk jalan ternyata tidak tau jalan menuju Desa Tibona. Raut wajah kekecewaan dari teman-teman begitu terpancarkan ketika aku menghentikan kendaraan lalu mengatakan kepada mereka “kita tersesat”.

Di bawah sinar lampu jalan yang terang, saya dan teman-teman terus berdiskusi bagaimana perjalanan kami bisa dilanjutkan tanpa salah arah. 20 menit kemudian , akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan strategi kita akan menanyakan kepada masyarakat “dimana desa Tibona?”. Alhasil pukul 11.00 kami tiba di desa Tibona Kec. Bulukumpa Kab. Bulukumba.
Rasa lelah yang kami rasakan akhirnya terbalaskan dengan suguhan makanan yang disediakan oleh keluarga Syahrul.

Disela-sela jam istirahat, saya jelaskan kepada teman-teman bahwa memang saya orang Bulukumba tapi saya tidak pernah ke desa Tibona daerah dimana keluarga Syahrul tinggal. Setelah saya jelaskan, respon teman-teman ternyata jauh dari perkiraanku. Awalnya aku berfikir mereka akan marah dan kecewa karena saya tidak bisa diandalkan. Justru mereka ketawa terbahak-bahak sambil mengucapkan “Ahmadi.. tersesat di kampung sendiri guys…!!! hhh..!!”.
Arah jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Mataku tidak bisa terpejamkan. Mungkin karena terlalu capek atau karena trauma dengan bullyan teman-teman.
Tak sengaja saya berjalan keteras rumah dengan harapan untuk menenangkan diri sebelum istirahat. Diteras rumah, saya melihat seorang pemuda yang sedang duduk terdiam dan sesekali dia menghadap kelangit.

Aku mencoba menghampirinya dan menanyakan kenapa dia terlihat galau dan merana seperti Zainuddin dalam film “tenggelamnya kapal Vander Wick”. Yang sesaat ditinggal nikah karena kekasihnya (Hayati) dijodohkan oleh orang tuanya. Tanpa basa basi, saya lansung duduk di samping kirinya dan menanyakan nama dan latar belakang pendidikannya.
Namanya Khaerul Ibrahim dia ternyata seorang Mahasiswa jurusan Hukum di UINAM tempat dimana aku menimba ilmu setiap hari. Tempat dimana saya bertemu dengan jurusan fotografi yang membawaku ke desa Tibona.

nyanyian burung hantu yang mengiringi diskusi kami di tengah malam saat itu menjadi pelengkap suasana obrolanku dengan Khaerul Ibrahim.
Orangnya ramah, tak banyak basa basi dan sederhana. Semua yang dia ucapkan cukup membuat saya tercengang. bagaimana tidak, setelah kutanyakan kenapa dia menyendiri Jawabannya cukup mengejutkan. Dengan wajah yang begitu berseri-seri dia menjawab “saya menyendiri ka bukan karena putus cinta ka tapi karena berhasil ka jadi anggota DPRD”. Selepas ucapan itu rasa ngantuk ku langsung menghilang. Entah saya karena malu dengan persepsiku sendiri tentang orang itu, atau karena keberhasilannya menjadi anggota DPRD Kab. Bulukumba dengan usia yang masih 21 tahun dan statusnya masih mahasiswa.

Hampir sejam obrolan kami sudah berlangsung. Namun, saya tidak bosan untuk terus menggali informasi dari seorang politikus muda yang satu ini.
Dalam benakku, kok bisa iyah jadi anggota DPRD dengan pengalaman yang cukup minim dan Usia yang masih terbilang sangat muda. Dan lebih hebatnya lagi dia mengalahkan Incumbent dengan selisih suara yang cukup jauh.

Tak terasa pembicaraan kami berada di pembahasan terakhir. Diskusi saya tutup dengan pertanyaan mengenai strategi komunikasi politik yang beliau gunakan dalam memenangkan pertarungan caleg DPRD Dapil 3 Kab. Bulukumba. Jawaban yang cukup membuat saya kagum adalah ketika iya memegang pundak saya lalu berkata “dek apa yang kamu tanam hari ini pasti akan kamu petik dikemudian hari.

Berbuat baiklah kepada semua orang siapa pun itu tanpa pandang bulu. Saya berhasil jadi anggota DPRD bukan karena saya melakukan serangan fajar tapi karena kebaikan yang saya lakukan dan keluarga saya dari dulu. Makanya masyarakat mengamanahkannya kepada saya. Teman-teman relawan begitu bersemangat dalam berkampanye. Sampe-sampe banyak relawan yang di berikan opini bahwa saya tidak mungkin lolos menjadi anggota DPRD. Karena saya melawan petahana yang sekaligus ketua partai PDIP perjuangan. Mereka selalu menyuarakan kalimat kamu tidak bisa dilantik meskipun suara yang saya peroleh lebih banyak dari dia. Hal inilah yang terus membuat saya begitu bersemangat untuk tetap maju. Alhasil suara yang saya peroleh 1.900 lebih yang sebenarnya jauh dari target yang semula diperkirakan 4.000 suara namun hanya 1.900 suara yang sah akibat serangan Fajar yang mereka lakukan.”

Sebelum saya memejamkan mata untuk istirahat, ada satu poin yang bisa saya petik dari hasil diskusi tadi . yaitu ternyata masih ada politikus muda yang mengamalkan nilai-nilai kejujuran dalam mengikuti pertarungan memperebutkan kursi anggota DPRD. Dan itu di daerah saya di kab. Bulukumba.
Pukul 4.00 Wita kami dibangunkan suara rekaman mesjid di desa Tibona. Pertanda waktu shalat subuh mulai masuk daerah tersebut. Kicauan ayam jantan yang berkokok dan dinginnya udara di Bulukumba menjadi pelengkap kusyuknya shalat subuh berjamaah kami.
Pukul 8 pagi waktu setempat kami bersiap untuk hunting pertama dan lokasi hunting kami yaitu pantai Mandaria.

Sampai di pantai Mandaria, kami langsung Memotret pemandangan yang begitu menabjubkan. Di bawah terik matahari yang cukup menyengat tubuh, kami berpencar memotret indahnya pantai Mandaria.
Spot yang paling menarik perhatian kami di tempat ini yaitu pembuatan kapal Pinisi di pinggir pantai yang dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan peralatan canggih seperti di negara-negara eropa pada umunya. Inilah yang membuat kapal Pinisi menjadi warisan dunia oleh UNISCO.
Pasir putih yang menghiasi pantai Mandaria menjadi hiasan tersendiri objek wisata yang satu ini. Keramahan penduduk di sekitar pantai membuat kami semakin betah untuk memotret pantai Mandaria.
Pukul 01.00 Wita, kami melanjutkan perjalanan menuju pantai Apparalang. Siapa yang tidak mengenal pantai Apparalang. Objek wisata yang satu ini terletak di desa Ara Kec. Dati Tiro.
Para pengunjung yang hadir adalah anak remaja, Dewasa bahkan oarang yang sudah lanjut usia. Keunikan pantai yang satu ini adalah pemandangannya yang begitu memikat hati para pecinta traveling.

Tempat ini cocok bagi mereka yang ingin bersantai di sore hari bersama teman, keluarga, dan yang paling baik adalah bersama pacar. Nah, tunggu apalagi nih guys jangan pernah mengaku seorang traveling kalau belum berkunjung ke Apparalang.
ciri khas pantai yang satu ini yaitu pengunjung bisa berpose diatas batu karang yang besar dan hempasan ombak yang datang secara tiba-tiba menerpa tubuh para pengunjung. Uniknya lagi, pantai Apparalang adalah daerah yang semula hanya bebatuan karang yang besar dan tebing kini dipoles oleh pemerintah setempat menjadi objek wisata yang begitu indah dan menabjubkan.
Belum puas dengan pantai Mandariya dan Apparalang, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan menuju pantai Marumasa.

Kab. Bulukumba memang dikenal dengan salah satu daerah objek wisata terbesar di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia. Salah satu objek wisata yang banyak di gemari oleh pecinta Traveling lokal adalah pantai Marumasa. Pantai Marumasa berada tak jauh dari pantai Apparallang dan Mandariya. Ciri khas dari pantai ini adalah pasir putih yang menjadi pemolek indahnya pemandangan pantai Marumasa. Tak henti hentinya kami terus mencari posisi untuk memotret pantai Marumasa. Dengan bermodalkan 5.000 rupiah sebagai uang parkir, para pengunjung sudah bisa menikmati indahnya hamparan pasir putih seperti tepung tapioka. Keunikan objek wisata yang satu ini sungguh berbeda dengan pantai Apparalang dan Mandaria. Hal yang paling menonjol yaitu pengunjung bisa bermain bola pantai dan bisa berenang lansung dipinggir pantai Marumasa. Jadi, selain menikmati pemandangan, kami juga menikmati serunya bermain air di pantai ini.

Arah jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Kami dan teman-teman memutuskan untuk kembali ke rumah di dusun Sumalaya desa Lembanna Kec. Kajang Kab. Bulukumba. Setelah sebelumnya kami sudah memutuskan untuk menginap di Kajang pada hunting kedua Minggu 5 Mei 2019.
Untuk pertama kalinya teman- teman menginjakkan kaki ke tanah leluhurku Kajang. Kajang dikenal dengan tatanan kehidupan yang masih berpegang teguh pada tradisi dan budaya mereka. Hal inilah yang membuat teman-teman begitu penasaran dengan suku Kajang. Prinsip hidup yang sederhana adalah kepercayaan yang terus dilestarikan oleh mereka. Uniknya lagi mereka hidup tanpa menggunakan peralatan canggih modern. Tanpa listrik tanpa kendaraan bahkan sandal sekalipun.
Pukul 4.00 saya dan teman-bersiap menuju lokasi objek wisata suku Adat Ammatoa. Setelah shalat subuh berjamaah, kami lansung mempersiapkan barang yang dibutuhkan seperti baju hitam, Kamera dan tentunya air minum sebagai bekal perjalanan menuju rumah pemangku adat Ammatoa. Yang harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Pukul 08.30 Wita kami berangkat dengan hati yang cukup gembira bercampur cemas. Bagaimana tidak, persepsi teman-teman saya selama ini menganggap suku Kajang suka menyantet atau mencelakai orang lain dengan Doti atau baca-bacanya. Mereka menganggap suku masyarakat Kajang keras dan tidak punya etika.
Setelah kami perjalanan selama 30 menit. Akhirnya kami sampai di desa Tana Toa kec. Kajang tempat dimana suku adat Kajang bermukim.

Untuk memasuki kawasan rumah adat Ammatoa kami harus menempuh perjalanan 2 kilo meter dengan berjalan kaki. Keluhan dan teriakan rasa capek menjadi bumbu-bumbu keseruan perjalanan kami kerumah pemangku adat Ammatoa.
Pukul 11.00 Wita, kami sampai dirumah Ammatoa. Sebelum teman-teman saya naik kerumah Ammatoa, saya sendiri yang pertama naik dengan mengucapkan salam. Kepada Bohe Amma (nama panggilan kepala suku Kajang).

Dengan wajah dan senyum yang ramah, istri Bohe Amma mempersilahkan saya dan teman-teman untuk naik kerumahnya. Sesampainya diatas saya memperkenalkan diri dan teman-teman serta menyampaikan maksud dan tujuan kunjungan kami.
Hal pertama yang saya tanyakan kepada Bohe Amma adalah pandangannya tentang banyaknya bencana alam yang akhir-akhir ini melanda daerah Indonesia. Dengan nada yang begitu menyejukkan hati Bohe Amma menjelaskan bahwa “gempaya, banjiria, na sunamiya. Rie i gara-gara lohe mi tau rilinoa tala jujuru. Iya mi intu pa’bisa na kampongga punna lohe mi tau anggaukan nu nalarangga agama”. Artinya “gempa, banjir dan sunami terjadi ketika banyak manusia yang sudah tidak jujur dan banyak berbuat dosa. Dan itulah yang membersihkan kampung sebagai peringatan”.

Diskusi kami berjalan dengan baik selama satu jam banyak yang kami tanyakan termasuk apakah agama yang dianut penduduk suku Kajang. Jawaban yang di berikan oleh Ammatoa begitu mengejutkan ketika ia mengatakan bahwa mereka beragama Islam dan melaksanakan puasa ramadhan pada tanggal 6 Mei 2019.

Mereka menyembah Allah Swt tetapi dengan sebutan Turiek A’rakna atau yang maha berkehendak.
Pukul 12.00 Wita kami meninggalkan rumah adat Ammatoa. Sebelum beranjak untuk pulang, ada momen yang begitu mengharukan. Seperti kebiasaan kami sebagai seorang mahasiswa, kami meninggalkan rumah dengan mencium tangan orang tua. Hal ini kami juga lakukan hal yang sama kepada Ammatoa dan istrinya.

Tanpa disadari istri Ammatoa mencium kami satu persatu dengan kelembutan yang membuat kami semakin tersentuh dengan momen perpisahan itu.
Bahkan salah satu dari kami menangis terharu dengan perlakukan istri Ammatoa. Saat ditanya kenapa kamu menangis? Yaumil menjawab saya mengingat almarhum nenek saya yang sering mencium saya seperti itu. Dia menyayangi saya layaknya seperti nenek saya sendiri.
Ada satu hal yang membuat saya begitu bahagia setelah berkunjung ke Ammatoa. Yaitu saya sudah meyakinkan kepada teman-teman saya bahwa persepsi mereka tentang suku Kajang tempat saya lahir ternyata selama ini salah. Selama ini mereka menganggap suku Kajang adalah suku yang Kejam karena Dotinya dan berbahaya karena aturan adatnya yang tidak baik.

Dan saya sudah tunjukkan kepada teman-teman bahwa masyarakat adat Kajang ramah, baik diajak berkomunikasi serta tata krama yang mereka miliki dan tatanan kehidupan yang baik dan terus setia mempertahankannya.

Berkunjung ke daerah Bulukumba tidak lengkap rasanya kalau kita tidak menikmati berbagai lokasi objek wisata pantai dan wisata budaya. Bulukumba sejak dulu dikenal sebagai daerah sejuta pesona alam di bumi Panrita Lopi. Gulungan ombak hamparan pasir putih serta kelestarian budaya yang masih terus di pertahankan menjadi sebuah identitas tersendiri bagi kabupaten Bulukumba atau bumi Panrita Lopi.

jadi tunggu apa lagi untuk teman-teman yang masih penasaran dengan Bulukumba. Yuk.. ke Bulukumba !!!
Penulis :
Ahmadi (mahasiswa KPI A UINAM)

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *