Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Di salah satu grup WA terjadi perdebatan sedikit sirius mengenai larangan istri selama masa iddah. Pro kontra ini terjadi ketika sekelompok teman tampak selalu mengingatkan agar teman perempuan (salah seorang anggota group) yang baru saja ditimpa musibah, karena ditinggal wafat suaminya, itu tidak keluar rumah (sama sekali) dengan alasan “masih dalam masa iddah”. Dengan maksud ikut berempati, lalu muncul pula pembelaan dari beberapa orang teman yang menganggap, bahwa saran itu sangat tidak adil dan kejam serta membuatnya justru terus larut dalam kesedihan. Sebab, di samping di rumah sendirian, dia tentu perlu keluar rumah sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya atau ke rumah teman sesama perempuan sekedar mengusir kesepian di rumah.
Untuk merespon hal tersebut, sengaja penulis kutipkan pendapat fikih yang ditulis oleh As Sayid Sabiq seorang Ulama kontemporer Al Azhar Mesir, dalam Kitab Fiqhus Sunnah dan pendapat fikih Indonesia sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam.
As Sayid Sabiq membahas masalah tersebut dengan judul “ Ikhtilaful Fuqaha fi Khurujil Mar’ati fil Iddati (Beberapa Pandangan Ulama Fikih berkaitan dengan Perempuan yang Keluar Rumah saat Menialani Masa lddah)” yang uraiannya sebagai berikut:
Ulama fikih berbeda pendapat berkaitan dengan hukum perempuan yang keluar rumah selama masih dalam masa ‘iddah. Menurut mazhab Hanafi, perempuan yang ditalak raj’i dan ditalak ba’in tidak boleh keluar dari rumahnya, baik di siang hari maupun di malam hari. Sedangkan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, dia boleh keluar rumah pada waktu siang hari dan pada awal malam. Tapi dia tidak diperbolehkan menginap di rumah orang lain selain di rumahnya sendiri.
Menurut mazhab Hanafi, perbedaan antara dua permasalahan tersebut adalah perempuan yang ditalak masih dalam tanggungan nafkah suaminya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh keluar rumah, sebagaimana istri pada umumnya. Berbeda dengan perempuan yang ditinggalkan mati oleh suaminya, maka dia sudah tidak mendapat nafkah lagi. Oleh sebab itu, dia mesti keluar pada waktu siang hari untuk memenuhi kebutuhannya.
Mazhab Hanafi berpandangan, perempuan yang ditalak wajib menjalani masa ‘iddah di rumah yang menjadi tempat tinggalnya ketika terjadi perceraian. Menurut mereka, jika warisan yang diterima perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau dia diusir keluar oleh ahli waris yang lain, maka dia boleh keluar dari rumah yang ditinggalinya, karena hal yang sedemikian merupakan ‘uzur. Pada dasarnya, memilih tinggal di rumah mendiang suaminya merupakan suatu ibadah dan ibadah boleh ditinggalkan jika ada uzur atau alasan tertentu. Jika istri tidak sanggup mernbayar sewa rumah yang menjadi tempat tinggalnya karena mahal, maka dia boleh pindah ke rumah lain yang lebih murah harga sewanya. Pendapat yang mereka kemukakan menunjukkan, bahwa sewa rumah tersebut menjadi tanggungan perempuan yang ditinggal mati suaminya. Tinggal di rumah mendiang suaminya tidak lagi diwajibkan jika tidak mampu membayar sewanya. Oleh sebab itu, mereka menegaskan, bahwa jika perempuan yang suaminya meninggal dunia memperoleh pembagian harta waris yang memadai, dia mesti tetap tinggal di rumah mendiang suaminya.
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak lagi memperoleh hak tempat tinggal, baik dia sedang hamil atau pun tidak, tapi dia wajib tetap tinggal di rumah tempat suaminya meninggal dunia, baik di siang hari maupun malam hari. Hal itu jika rumah yang ditempatinya merupakan warisan yang diterimanya. Tapi, jika rumah yang dulunya ditempati bersama suaminya tidak menjadi bagiannya sebagai harta warisan suaminya, maka dia harus menyewanya.
Mazhab Hanbali membolehkan keluar rumah pada waktu siang hari, baik dia menjalani masa ‘iddah karena ditalak atau karena suaminya meninggal dunia. Ibnu Qudamah berkata, “Perempuan yang menjalani masa ‘iddah diperbolehkan keluar untuk mencari sesuatu demi memenuhi kebutuhannya, baik masa ‘iddah yang disebabkan talak atau karena suaminya meninggal dunia.”
Jabir berkata, “Bibiku dari pihak ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu dia keluar rumah untuk memotong kurma miliknya. Ketika itu, dia ditemui seorang laki-laki dan melarangnya melakukan apa yang sedang dilakukannya. Lantas dia menceritakan apa yang terjadi kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian bersabda, “Keluarlah untuk memotong kurma milikmu, barangkali engkau ingin bersedekah dengan kurma itu atau berbuat amal kebaikan” (HR Nasai dan Abu Daud). Mujahid berkata, “Beberapa sahabat syahid pada saat perang Uhud. Kemudian, istri mereka menemui Rasulullah SAW. seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami merasa takut tinggal sendirian di malam hari, apakah kami diperbolehkan bermalam di tempat salah seorang di antara kami dan jika pada pagi hari, kami segera pulang ke rumah kami?’ Rasulullah saw. menjawab, “Engkau boleh berbincang-bincang di rumah dengan salah seorang di antara kalian. Jika kamu sudah mengantuk dan hendak tidur, hendaknya kembali pulang ke rumahnya.”
Di Indonesia tentang perempuan masa iddah ini, meskipun tidak secara detail juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Setidaknya ada tiga pasal yang berkenaan dengan iddah istri, yaitu:
– Pasal 150 yang berkenaan dengan hak suami. Menurut pasal ini selama masa iddah ini bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya. Akan tetapi, hak rujuk ini harus tetap melihat jenis talaknya. Menurut Pasal 118 KHI hanya talak raj’i yaitu talak kesatu dan kedua saja yang memberikan hak suami untuk merujuk bekas istri. Akan tetapi menurut KHI meskipun rujuk menjadi hak suami akan tetapi bekas suami tidak bisa begitu saja merujuk istrinya, sebab bekas istri bisa saja keberatan atas ajakan rujuk suaminya. Itulah sebabnya, menurut Pasal 167 rujuk harus dilakukan melalui Kantor Urusan Agama setempat dengan membawa salinan penetapan Pengadilan Agama tentang telah terjadinya talak antar suami istri. Dan, di hadapan PPN ini, menurut Pasal 164, jika istri tidak mau dirujuk bekas suaminya, dapat mengajukan keberatan dengan disaksikan 2 orang saksi.
– Pasal 151 yang berkenaan kewajiban dan larangan selama masa iddah. Istri yang dalam masa idah, wajib menjaga dirinya, dilarang menerima pinangan, dan tidak menikah dengan pria lain. Khusus istri yang ditanggal mati suaminya, menurut Pasal 170 ayat (1) KHI, wajib melaksanakan berkabung selama masa iddah, yaitu selama 4 bulan 10 hari, sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
– Pasal 152, yang berkenaan dengan hak istri selama masa iddah. Istri yang dalam masa iddah berhak mendapatkan nafkah dari suaminya, kecuali bila ia nusyuz.
Semoga menjadi tambahan wawasan ilmu bagi kita semua. Wallahu a’lam.