Oleh :
Rudi S Kamri
Kekhawatiran saya akhirnya terbukti bahwa kekuasaan itu ternyata membuat orang suka lupa diri. Lupa etika politik dan lupa kepatutan yang seharusnya. Terkadang orang lupa diri ini melupakan sejarah mengapa dia dipilih rakyat dan bagaimana seharusnya dia harus menjaga amanah rakyat. Pada saat dia sudah mutlak memegang kekuasaan, dia tidak lagi ingat untuk apa rakyat dulu memilih dirinya.
Dulu saya dan 85 juta rakyat Indonesia memilih figur Joko Widodo menjadi Presiden selama dua periode disamping meyakini kapabilitasnya yang bersih dan mumpuni juga karena melihat sosok Jokowi ini relatif dan tidak memberikan ruang kepada anak dan keluarga untuk memanfaatkan jabatan yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia.
Di mata saya Jokowi adalah harapan baru Indonesia. Setelah sekian puluh tahun negeri ini dikangkangi oleh politik oligarki, kehadiran Jokowi adalah angin segar dalam perpolitikan nasional. Pendek kata kita memilih Jokowi karena sosok Jokowi berbeda dengan Soeharto, SBY dan Megawati karena kami meyakini Jokowi tidak akan membangun politik dinasti.
Seiring waktu ternyata harapan saya selama ini ternyata memudar dan kemungkinan cenderung salah. Dengan memberikan restu kepada anak dan menantunya dalam berlaga di Pilkada Medan dan Solo, ternyata Jokowi tidak ada bedanya dengan keluarga dinasti lainnya seperti keluarga Yasin Limpo, keluarga Atut Chosiyah, keluarga Megawati, SBY dan keluarga Soeharto.
Niat Bobby Nasution atau Gibran Rakabuming untuk menjadi Walikota di Medan dan di Solo jelas tidak salah. Secara kalkulasi politik dan secara rasional nama besar Presiden Jokowi yang masih menjabat, pasti membuat mereka dengan mudah mendulang suara. Bicara hukum positif, tidak ada satupun UU dan peraturan yang dilanggar oleh Bobby dan Gibran. Tapi politik itu bukan sekedar hitam putih bukan ? Tapi aksen perpolitikan harus dibumbui dengan etika dan kepatutan sosial.
Dengan membiarkan dan bahkan merestui anak dan menantunya untuk berlaga di Pilkada saat dirinya masih menjabat Presiden, menurut saya Jokowi telah mengecilkan marwah dan kewibawaan dirinya. Jokowi telah membiarkan dirinya menjadi contoh yang tidak baik bagi keluarga lain di Indonesia untuk mengembangkan politik dinasti.
Salah satu faktor keberhasilan kepemimpinan itu adalah keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin jauh lebih efektif berimbas ke masyarakat dibandingkan sejuta kata-kata. Dan Jokowi telah menunjukkan, pada saat berkuasa, apa saja bisa kita lakukan demi kemaslahatan keluarga.
Lord Acton mengemukakan: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalah- gunakan. Dan Jokowi telah menunjukkan kepada kita bahwa apa yang dikatakan Lord Acton ternyata benar adanya.
Ya sudah, kita bisa apa ?
Seorang sahabat yang baik pasti tidak akan membiarkan sahabatnya berjalan ke arah yang salah. Ini yang sedang saya lakukan untuk Presiden Jokowi. Meskipun belum tentu beliau kenal dan mau menjadi sahabat saya. ??
Salam SATU Indonesia
04122019