Sengketa Anak Dan Nurani Hakim

  • Whatsapp

(Sekelumit Refleksi tentang Lembaga Hadhanah)

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PA Semarang Kelas I-A)

Dua orang mantan suami istri sedang bersengketa ‘hak asuh anak’ di depan hakim. Dari raut muka dan cara bertutur kata, terlihat keduanya masih saling menyimpan kebencian mendalam. Mereka pasti lupa, bahwa salah satu konsep perkawinan adalah kumpul dan pisah (cerai) harus dilakukan dengan cara yang baik ( imsakun bimakruf au tasrihun bi ihsan). Sang hakim tentu tidak juga tahu mengapa dua orang yang dulu dapat dipastikan pernah mengenyam manisnya madu-madu perkawinan itu, kini tampak begitu saling membenci satu sama lain. Sang hakim tidak tahu, karena waktu perceraian berlangsung dia bukan sebagai pemeriksa kasusnya. Akan tetapi, bagi hakim tentu tidak penting mengetahui latar belakang kebencian itu sehingga harus larur terbawa arus melupakan masalah pokok. Satu-satunya yang mendapat perhatian dengan penuh ialah bagaimana harus ‘menyikapi’ kasus sengketa anak–yang sebagaimana tertulis dalam gugatan mengenai anak belum mumayiz–yang sedang dihadapi.

Kisah tentang sengketa anak akibat perceraian, memang bukan pesoalan baru. Anak yang terlahir sebagai buah kasih sayang itu, tampaknya telah menjadi belahan jiwa abadi kedua belah pihak (ayah dan ibunya). Hubungan darah daging (genetik) tampaknya menimbulkan hubungan spesial seorang anak dengan kedua orang tua menyebabkan kelahirannya. Itulah sebabnya, mengapa sejak zaman sahabat pun sengketa demikian sudah pernah terjadi. Sebagai contoh, yang demikian pernah terjadi pada Umar bin Khattab, yaitu ketika beliau ‘berebut anak’ dengan mantan istrinya, Ummu Asim. Kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah pertama Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah ini, berawal dari tindakan paksa Umar bin Khatab mengambil anak kecil yang sedang bermain. Betapa sedih dan pilu hati sang ibu, ketika mengetahui anaknya diambil paksa oleh sang sahabat Nabi SAW ini. Dengan tangis terisak, oleh sang ibu, peristiwa itu pun dilaporkan kepada khalifah. Singkat cerita Abu Bakar pun kemudian berkata kepada Umar : “Belaian, pelukan, pangkuan, dan nafas ibunya lebih baik dari belaian, pelukan, pengkuan, dan nafas engkau, sampai anak itu remaja, di mana anak itu boleh memilih mau tinggal bersama engkau atau ibunya,” kata sang khalifah.

Dalam hukum moderen, hak asuh anak ini, manjadi salah satu tema pembahasan tersendiri. Wacananya dimulai dengan suatu pertanyaan yaitu: apakah pengasuhan anak– yang dalam terminologi fikih disebut hadhanah–itu menjadi hak kedua orang tua atau menjadi hak anak. Pertanyaan demikian secara eksplisit tampaknya belum mengemuka dalam diskursus hukum Islam klasik. Pertanyaan berikutnya, kasus yang dialami Umar di atas, harus dipakai sebagai dasar hukum atau hanya ‘insiden’ yang penerapannya dapat diimplementasikan sesuai konteks realitas yang ada. Perdebatan ulama mengenai urutan penerima hak hadhanah, tampaknya cukup mengindikasikan, bahwa tentang hak asuh anak, harus ikut ayah atau ibunya, harus dilihat secara kasuistik.

Menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan karena perceraian, anak yang belum mumayiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya. Ketentuan demikian tampaknya sering difahami ‘secara serampangan’ oleh kebanyakan orang tua (ayah ibu) dengan beranggapan, bahwa hadhanah anak adalah melekat menjadi hak ibu. Akibat kekeliruan pemahaman tersebut sering salah seorang dari kedua orangtua (ayah-ibu) memperebutkan hadhanah (hak asuh). Padahal, dalam masalah hadhanah sama sekali bukan hak masing-masing ayah atau ibu tetapi semata-mata sejauhmana kepentingan anak dapat terjamin. Dengan demikian, lembaga hadhanah sebenarnya merupakan hak anak, bukan hak kedua orang tua anak. Hak hadlanah baru menjadi hak ayah atau ibu setelah kepentingan anak ‘bisa dipastikan’ lebih terpenuhi, harus ikut ayahnya atau ibunya. Hal demikian telah mendapat elaborasi peraturan perndang-undangan modern seperti undang-undang perlindungan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yang pada pokoknya menempatkan “kepentingan terbaik anak” sebagai prioritas pengasuhan anak.

Memang terhadap anak yang belum mumayiz ibu mendapat prioritas utama. Hal ini disebabkan adanya sebuah asumsi, bahwa pada umumnya seorang anak yang belum mumayiz biasanya lebih dekat dengan ibu. Akan tetapi dalam konteks kehidupan sekarang yang demikian tentu tidak dapat diberlakukan terhadap semua kasus. Realitas menunjukkan, bahwa banyak anak yang karena kesibukan ibu dan/ atau karena alasan tertentu justru lebih nyaman ikut ayah dan keluarga ayahnya. Faktor lain, yang harus menjadi pertimbangan, seiring dengan perkembangan hukum keluarga yang salah satunya ditandai dengan capaian “kesetaraan gender” dengan segenap perubahan tata hubungan sosial yang menyertainya. Dalam kesetaraan gender ini pembagian kerja secara domestic sebuah keluarga, tidak lagi menempatkan perempuan harus di rumah dengan segenap konsekuensinya. Atau sebaliknya, tidak juga menempatkan laki-laki sebagai manusia superior dalam keluarga.

Dengan ilustrasi singkat di atas, seorang hakim ketika menghadapi kasus sengketa anak, tidak bisa hanya berfikir sekilas. Apalagi, hanya terpaku pada teks-teks mati sebuah aturan hukum. Malainkan, harus membuka cakrawala pikiran dengan melihat persoalan dari berbagai sisi. Bahkan, yang tidak kalah pentingnya, hakim perlu membuka cakrawala hati (nurani). Salah satu target kesediaan membuka cakrawala hati ini, agar dengan nurani yang dimilikinya, seorang hakim dapat membangun suasana kebatinan berupa empati. Empati dimaksud dalam konteks hadhanah ialah menempatkan kasus yang sedang dihadapi seolah juga menimpa atau dialami dalam kehidupan pribadinya. Meskipun anak harus ditetapkan di bawah hadhanah ibu atau ayahnya, tetapi mungkinkah sang anak harus berpisah secara ekstrim dari salah satu dari kedua orang tua yang tidak mendapat ‘hak’ hadhanah?

Sebagaimana disinggung di muka, anak merupakan anugerah Allah yang diciptakan sebagai buah kasih sayang ayah ibunya. Dengan keterciptaannya yang demikian, hubungan kasih sayang terhadap anak bagi kedua orang tua merupakan hubungan dalam ranah naluriah (gharizah) yang tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun. Dalam konteks ini, sangatlah tepat, jika Mahkamah Agung telah memberikan sebuah pedoman mengadili sengketa anak ini,yaitu dengan perintah tegas berupa “kewajiban bagi pemegang hak hadhanah untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada pihak ayah atau ibu yang ‘tidak beruntung’ mendapat hak hadhanah”. SEMA ini selain merupakan bentuk legitimasi, bahwa dalam lembaga hadhanah selain terdapat aspek hukum juga terdapat aspek non hukum (empati, moral, dan masalah psikis lainnya). Kedua aspek ini tentu patut menjadi concern hakim. Tampaknya, melihat lembaga hadhanah dari aspek hukum berupa aturan tertulis, tentu lebih gampang ketimbang melihatnya dari aspek non hukum. Yang pertama (aspek hukum) ada tolok ukurnya, tetapi yang kedua (non hukum) tidak ada.

Melihat persoalan hadhanah dari aspek non hukum, akan berpulang kepada sejauhmana intensitas pergulatan keilmuan dan kesediaan memperkaya diri dengan pengetahuan empiris. Pergulatan keilmuan dapat diperoleh dengan terus memperkaya diri dengan aneka ragam referensi. Sedangkan, kekayaan pengetahuan empiris dapat diperoleh dengan kesediaan berbaur dengan masyarakat, agar melihat langsung denyut nadi kehidupan masyarakat yang ada. Dengan pergulatan demikian diharapkan seorang hakim memiliki keluasan wawasan sehingga mampu melihat pesoalan dari berbagai sisi. Tanpa dua hal ini, sebanyak dan setinggi apa pun derajat akademik formal seorang hakim, mustahil dapat menghasilkan putusan ideal sesuai dengan tujuan hukum (keadilan, kepastian, dan kemanfaatan), yang tidak hanya manjadi dambaan dunia penegakan hukum tetapi juga masyarakat.

Dalam konteks hadlanah, di satu sisi, seorang hakim tetap harus mampu melihat persoalan secara kasuistis. Di sisi lain, ketepatan memberikan hak hadhanah tetap harus diambil. Dengan keluasan ilmu dan kekayaan pengalaman empiris hakim diharapkan dapat mencontoh “Pengadilan Sulaiman”, ketika dengan tepat, meskipun dengan cara yang kontroversial, dapat memutuskan memberikan bayi kepada ibu yang sebenarnya. Semoga menjadi bahan refleksi.
Wallau a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait