JAKARTA, Beritalima.com– Setelah kebakaran melanda Kilang Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu, awal pekan ini, diperkirakan hal itu akan berdampak signifikan terhadapo jumlah produksi Bahan Bakar Minya (BBM) secara nasional.
Karena itu, papar politisi senior di Komisi membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptel) serta Lingkungan Hidup (LH), Dr H Mulyanto, Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus kerja keras melaksanakan recovery, meningkatkan kinerja untuk pengembangan dan pembangunan kilang BBM nasional.
Sebab selama ini, kata anggota Komisi VII DPR RI itu, pengembangan serta pembangunan kilang BBM ini masih sangat lamban. “Hampir 25 tahun sejak pengoperasian RU VII Kasim di Papua 1997, dengan kapasitas 10 ribu barel per hari (bph), praktis tidak ada lagi pembangunan kilang minyak baru.
Hari ini dari total 6 kilang yang ada (karena RU I Pangkalan Brandan ditutup operasi 2007) Pertamina mampu menghasilkan BBM 850 – 950 ribu bph, dimana kontribusi RU VI Balongan 16 persen dari total produksi kilang atau 125 ribu bph yang kemudian ditingkatkan menjadi 150 ribu bph.
Kita belum mengetahui persis apa pasca musibah ini, RU VI Balongan dapat mempertahankan tingkat produksinya. Bila tidak, kita kehilangan produksi bbm sejumlah 16 persen. “Kita berdoa, agar hal ini tidak terjadi,” kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu menanggapi insiden kebakaran kilang minyak Pertamina di Balongan.
Ditambahkan Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan ini, sebelumnya PT Pertamina sudah berencana mengembangkan kilang-kilang yang ada dan menambah 2 kilang baru, yakni Kilang Tuban dengan kapasitas terpasang 300 ribu bph dan Kilang Bontang.
Mulyanto menilai, bila rencana ini sukses PT Pertamina diperkirakan akan mengolah minyak 2.2 juta bph dan mampu mencapai swasembada BBM di 2023. “Namun, rencana ini serasa mimpi. Pembangunan Kilang Tuban terus molor. “Kilang Bontang dibatalkan karena kekurangan lahan dan terakhir terjadi musibah kebakaran di Kilang Balongan,” kata Mulyanto.
Dia memperkirakan, bakal terus terjadi peningkatan impor BBM akibat sedikitnya jumlah dan kapasitas kilang kita. Dampaknya defisit transaksi berjalan dari sektor migas akan melonjak. “Dengan kebutuhan BBM hari ini yang sebesar 1.6 juta barel, maka praktis kekurangannya sebesar 800 ribu bph dipenuhi dari impor,” jelas Mulyanto.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, BBM olahan mendominasi defisit transaksi migas nasional USD 12 milyar di 2019. Pada sisi lain, 2050 Kementerian ESDM memperkirakan kebutuhan BBM nasional mencapai 4 juta bph.
Karen itu, dapat difahami kalau impor BBM dan defisit transaksi berjalan dari sektor migas terus meroket dan membahayakan ketahanan energi nasional. “Pemerintah harus serius menangani pengembangan dan pembangunan kilang baru BBM ini. Semakin hari, soal ini bertambah kritis. Pemerintah tidak boleh menunda-nunda, kalah dari mafia impor minyak,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)