Sidang Ditunda, Ahok Menangis Baca Eksepsi

  • Whatsapp

Jakarta, beritalimacom— Sidang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terkait kasus penistaan agama akan dilanjutkan pada Selasa (20/12), pekan depan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menyampaikan tanggapan nota keberatan penasehat hukum Ahok.  

“Kami minta waktu satu minggu untuk menanggapi nota pemberatan, pada Selasa 20 Desember 2016,” kata JPU kepada majelis hakim, di Gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2016).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto meminta tanggapan terdakwa dan penasehat hukumnya. Salah satu penasehat hukum Ahok meminta agar sidang berikutnya tidak dilakukan pada hari Selasa. Alasannya, dia memiliki agenda rutin pada hari tersebut.

“Kami telah mendengar dan bermusyawarah atas permintaan saudara. Namun, penasehat memiliki tim, tidak apa-apa jika saudara izin tidak mengikuti sidang,” kata Dwiarso. Artinya, sidang tetap dilakukan pada Selasa (13/12).

Sementara itu di depan hakim Dwiyarso Budi Santiarto, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok membacakan eksepsi pembelaan, menghadapi dakwaan penodaan agama.

Dakwaan tersebut didasarkan atas ucapan Ahok pada sambutan di Kepulauan Seribu, 27 September 2016 lampau. Ahok, disebut jaksa, sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan Pilgub DKI 2017 dan mengaitkan dengan surat Al Maidah ayat 51. 

Menyambut dakwaan itu, eksepsi kemudian dibacakan Ahok, yang juga sempat menangis dalam pembacaan eksepsi tersebut.
Berikut adalah eksepsi Ahok selengkapnya:

Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati, Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan, yang diberikan kepada Saya.

Berkaitan dengan persoalan yang terjadi saat ini, dimana saya diajukan di hadapan sidang, jelas apa yang saya utarakan di Kepulauan Seribu, bukan dimaksudkan untuk menafsirkan Surat Al-Maidah 51 apalagi berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk menghina para Ulama. Namun ucapan itu, saya maksudkan, untuk para oknum politisi, yang memanfaatkan Surat Al-Maidah 51, secara tidak benar karena tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada.

Ada pandangan yang mengatakan, bahwa hanya orang tersebut dan Tuhan lah, yang mengetahui apa yang menjadi niat pada saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu. Dalam kesempatan ini di dalam sidang yang sangat Mulia ini, saya ingin menjelaskan apa yang
menjadi niat saya pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu tersebut.

Dalam hal ini, bisa jadi tutur bahasa saya, yang bisa memberikan persepsi, atau tafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang saya niatkan, atau dengan apa yang saya maksudkan pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu. Majelis Hakim yang saya muliakan. Ijinkan saya untuk membacakan salah satu Sub-judul dari buku saya, yang berjudul “Berlindung Dibalik ayat suci” ditulis pada tahun 2008.
Saya harap dengan membaca tulisan di buku tersebut, niat saya yang sesungguhnya bisa dipahami dengan lebih jelas, isinya sebagai berikut,

saya kutip :
Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai
mengikuti Pemilu, kampanye pemilihan Bupati, bahkan sampai Gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan
untuk memecah belah rakyat, dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh
kolonialisme”.

Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elit, karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program, dan integritas pribadinya.
Mereka berusaha berlindung dibalik ayat-ayat suci itu, agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya.
Dari oknum elit yang berlindung dibalik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Almaidah 51. Isinya, melarang rakyat,
menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan, jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman.

Padahal, setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang
ingin membunuh Nabi besar Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di tempat itu. Jadi,
jelas, bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI, kepala pemerintahan, bukanlah kepala agama/Imam
kepala. Bagaimana dengan oknum elit yang berlindung, dibalik ayat suci agama Kristen? Mereka menggunakan ayat disurat Galatia 6:10. 

Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada
kawan-kawan kita seiman. Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang
beragama Hindu, atau yang beragama Budha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya, pasti, jangan memilih yang beragama lain
atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang ras nya lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku, agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau
najis, atau binatang!

Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan
hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya, sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-
siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi. Apalagi di Papua.
Hal yang sama, seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang. 

Kondisi inilah yang memicu kita, tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang
buruk, dari yang terburuk, karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja.
Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang sesama manusia). Demikian kutipan dari buku yang saya tulis tersebut.
Majelis Hakim yang saya muliakan. Dalam kehidupan pribadi, saya banyak berinteraksi dengan teman-
teman saya yang beragama Islam, termasuk dengan keluarga angkat saya Almarhum Haji Andi Baso Amier yang merupakan keluarga muslim
yang taat. Selain belajar dari keluarga angkat saya, saya juga belajar dari guru-guru saya, yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD Negeri, sampai dengan kelas 3 SMP Negeri. sehingga sejak kecil sampai saat sekarang, saya tahu harus menghormati Ayat-Ayat suci Alquran.

Jadi saya tidak habis pikir, mengapa saya bisa dituduh sebagai penista Agama Islam. Saya lahir dari pasangan keluarga non-muslim, Bapak Indra Tjahaja Purnama dan Ibu Buniarti Ningsih (Tjoeng Kim Nam dan Bun Nen Caw), tetapi saya juga diangkat sebagai anak, oleh keluarga Islam asal Bugis, bernama Bapak Haji Andi Baso Amier , dan Ibu Hajjah Misribu binti Acca. Ayah angkat saya, Andi Baso Amier adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970, beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, Almarhum Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Jusuf.

Ayah saya dengan ayah angkat saya, bersumpah untuk menjadi saudara sampai akhir hayatnya. Kecintaan kedua orangtua angkat saya kepada saya, sangat berbekas, pada diri saya, sampai dengan hari ini. Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya, dibayar
oleh kakak angkat saya, Haji Analta Amir. Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih, apabila saya tidak
menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkat saya yang Islamnya sangat taat.

Saya sangat sedih, saya dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan saya menista orang tua angkat dan
saudara-saudara angkat saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan juga sangat sayang kepada saya. Itu sebabnya ketika Ibu angkat saya
meninggal, saya ikut seperti anak kandung, mengantar dan mengangkat keranda beliau, dari ambulans sampai ke pinggir liang lahat, tempat peristirahatan terakhirnya, di Taman Pemakaman umum Karet Bivak. Sampai sekarang, saya rutin berziarah ke makam Ibu angkat, di Karet Bivak. Bahkan saya tidak mengenakan sepatu atau sendal saat berziarah, untuk menghargai keyakinan dan tradisi orang tua dan saudara angkat saya itu.

Yang membuat saya juga selalu mengingat almarhumah Ibu angkat saya, adalah peristiwa, pada saat saya maju, sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Pada hari pencoblosan, walaupun Ibu angkat saya, sedang sakit berat dalam perjalanan ke rumah sakit, dengan menggunakan mobil kakak angkat saya Haji Analta, ibu angkat saya, sengaja, meminta mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih saya. Padahal kondisinya sudah begitu kritis.

Dari tempat pemungutan suara, barulah beliau langsung, menuju ke rumah sakit, untuk perawatan lebih lanjut di ICU.
Setelah dirawat selama 6 (enam) hari, Ibu berdoa dan berkata kepada saya dan masih terus saya ingat dan masih akan saya ingat, kata
beliau: “SAYA TIDAK RELA MATI, SEBELUM KAMU MENJADI GUBERNUR. ANAKKU, JADILAH GUBERNUR YANG MELAYANI RAKYAT KECIL.”

Ternyata Tuhan mengabulkan doa Ibu angkat saya. Beliau berpulang tanggal 16 Oktober 2014, setelah ada kepastian Bapak Jokowi menjadi Presiden, dan saya juga sudah dipastikan menjadi Gubernur, menggantikan Bapak Jokowi. Pesan dari Ibu angkat saya selalu saya camkan , dalam menjalankan tugas saya, sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Majelis Hakim yang saya muliakan.

Sebelum menjadi pejabat, secara pribadi, saya sudah sering menyumbang untuk pembangunan mesjid di Belitung Timur, dan kebiasaan ini, tetap saya teruskan saat saya menjabat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Belitung Timur, dan kemudian sebagai Bupati Belitung
Timur. Saya sudah menerapkan banyak program membangun Masjid, Mushollah dan Surau, dan bahkan merencanakan membangun
Pesantren, dengan beberapa Kyai dari Jawa Timur. Saya pun menyisihkan penghasilan saya, sejak menjadi pejabat publik minimal

2,5% untuk disedekahkan yang di dalam Islam, dikenal sebagai pembayaran Zakat, termasuk menyerahkan hewan Qurban atau bantuan daging di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saya juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan, termasuk untuk menggaji guru-guru mengaji, dan menghajikan Penjaga Masjid/Musholla (Marbot atau Muadzin) dan Penjaga Makam.

Hal-hal yang telah saya lakukan di Belitung Timur, saat menjabat sebagai Bupati, saya teruskan ketika tidak menjadi Bupati lagi, sampai
menjadi anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Bangka Belitung, sebagai Wakil Gubernur dan juga, sebagai Gubernur DKI Jakarta saat
ini pun tetap saya lakukan.

Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya juga membuat banyak kebijakan, diantaranya kebijakan agar di bulan Suci Ramadhan, para
PNS dan honorer, bisa pulang lebih awal, dari aturan lama jam 15.00 WIB saya ubah menjadi jam 14.00 WIB, agar umat Muslim dapat
berbuka puasa bersama keluarga di rumah, sholat magrib berjamaah, dan bisa tarawih bersama keluarganya. Saya juga ingin melihat Balaikota mempunyai Masjid yang megah untuk PNS, sehingga bisa melaksanakan ibadahnya, ketika bekerja di Balaikota. Karena itu, Pemda membangun Masjid Fatahillah di Balaikota. 

Di semua rumah susun (rusun) yang dibangun PEMDA, juga dibangun Masjid. Bahkan di Daan Mogot, salah satu rusun yang terbesar, kami
telah membangun Masjid besar, dengan bangunan seluas 20.000 m2, agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rusun
Daan Mogot. Kami jadikan masjid tersebut sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta.
Kami akan terus, membangun Masjid Raya/besar, di setiap rusun, kami akan terus membantu perluasan Masjid yang ada, dengan cara PEMDA
akan membeli lahan yang ada di sekitar Masjid, sebagaimana beberapa

kali telah saya sampaikan dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam maupun Pengurus Dewan Masjid Indonesia di Balaikota.
Para Marbot dan penjaga makam juga PEMDA Umrohkan. Kami juga membuat kebijakan bagi PNS, menjadi pendamping Haji kloter DKI
Jakarta. Saya berharap bisa melaksanakan amanah orang tua dan orang tua angkat saya untuk melanjutkan tugas saya sebagai Gubernur di periode yang akan datang, sehingga cita-cita saya untuk memakmurkan umat Islam di Jakarta dapat terwujud.

Majelis Hakim yang saya muliakan.
Saya berani mencalonkan diri sebagai Gubernur, sesuai dengan amanah yang saya terima dari almarhum Gus Dur, bahwa Gubernur itu
bukan pemimpin tetapi pembantu atau pelayan masyarakat. Itu sebabnya, dalam pidato saya setelah pidato almarhum Gus Dur pada
tahun 2007, saya juga mengatakan bahwa menjadi calon Gubernur, sebetulnya saya melamar untuk menjadi pembantu atau pelayan rakyat.
Apalagi, saya melihat adanya fakta, bahwa ada cukup banyak partai berbasis Islam, seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Solo juga mendukung calon Gubernur, Bupati, Walikota non-Islam di daerahnya.

Untuk itu, saya mohon ijin kepada Majelis Hakim, untuk memutar video Gus Dur yang meminta masyarakat memilih Ahok sebagai Gubernur
saat Pilkada Bangka Belitung tahun 2007, yang berdurasi sekitar 9
(Sembilan) menit.
Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya ini hasil didikan orang tua saya, orang tua angkat saya, Ulama Islam di lingkungan saya, termasuk Ulama Besar yang sangat saya hormati, yaitu Almarhum Kyai Haji Abdurahman Wahid.

Yang selalu berpesan, menjadi pejabat publik sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat. Sebagai pribadi yang tumbuh besar di lingkungan umat Islam, tidaklah mungkin saya mempunyai niat untuk melakukan penistaan Agama Islam dan menghina para Ulama, karena sama saja, saya tidak menghargai, orang-orang yang saya hormati dan saya sangat sayangi.

Majelis Hakim yang saya muliakan. Apa yang saya sampaikan di atas, adalah kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Dan saya juga berharap penjelasan saya ini, bisa membuktikan tidak ada niat saya, untuk melakukan penistaan terhadap
Umat Islam, dan penghinaan terhadap para Ulama. Atas dasar hal tersebut, bersama ini saya mohon, agar Majelis Hakim yang Mulia,
dapat mempertimbangkan Nota Keberatan saya ini, dan selanjutnya memutuskan, menyatakan dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum
tidak dapat diterima, atau batal demi hukum. sehingga saya dapat kembali, melayani warga Jakarta dan membangun kota Jakarta.
Majelis Hakim yang Mulia, terima kasih atas perhatiannya. Kepada Jaksa Penuntut Umum, serta Penasehat Hukum, saya juga ucapkan
terima kasih.

Jakarta, 13 Desember 2016
Hormat saya, 
Basuki Tjahaja Purnama

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *