BANYUWANGI, beritalima.com – Sidang kasus demo berlogo palu arit, di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, dengan terdakwa Hari Budiawan alias Budi Pego, kembali digelar, Rabu (20/9/2017). Puluhan massa anti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarga terdakwa kembali mendatangi Pengadilan Negeri (PN) setempat.
Bahkan, guna menghindari bentrok fisik antar dua kelompok massa, dua jalur Jalan A Yani, depan PN Banyuwangi, diblokade petugas. Pagar kawat berduri dibentangkan menutup kedua akses jalan. Puluhan Polisi juga terus berjaga, menyebar mulai dari ruang sidang hingga lokasi blokade.
Tak pelak, pusat Kota Banyuwangi, pun berubah menjadi mencekam.
Menghindari chaos selama jalannya sidang, petugas melakukan pembatasan massa yang masuk keruangan. Sisanya, diminta menunggu secara terpisah dibatas blokade kawat berduri.
Massa keluarga terduga Koordinator demo bergambar mirip lambang PKI, berada disisi utara. Sedang kelompok anti PKI, yang terdiri dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Forum Peduli Umat Indonesia (FPUI), Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Suara Blambangan (Forsuba), berkumpul disebelah selatan.
“Kehadiran kami disini sebagai bentuk dukungan terhadap Pengadilan, kami mendesak penegakan supremasi hukum kasus demo yang mengibarkan logo organisasi terlarang ini,” tegas Ketua FPUI, Kiai Hanan.
Dalam sidang, Kuasa Hukum terdakwa, Abdul Wahid Habibullah, melakukan eksepsi terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurutnya, Budi Pego belum bisa disebut menyebarkan ajaran Komunisme, Marxisme atau Leninisme, seperti yang tertera dalam pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Karena hanya dilakukan secara pasif, tanpa adanya ajakan.
“Kami keberatan terhadap dakwaan dari JPU, sehingga apabila dakwaan tersebut tidak disampaikan secara jelas, cermat dan lengkap maka sesuai dengan ketentuan hukum, dakwaan tersebut batal demi hukum,” katanya.
Tim konsorsium advokat Walhi, LBH Surabaya, Kontras dan For Banyuwangi, ini juga menyebut bahwa sesuai Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Budi Pego memiliki hak imunitas. Karena dia dinilai sebagai pelestari lingkungan yang sedang menolak keberadaan tambang.
Disitu Kuasa Hukum juga menyampaikan permohonan penangguhan penahanan, dengan alasan Budi Pego adalah tulang punggung keluarga.
Sementara itu, JPU, Budi Cahyono SH MH, menegaskan bahwa dakwaan yang diberikan pada Budi Pego, telah sesuai prosedur dan tidak ada kaitannya dengan aktivitas tolak tambang. Melainkan murni tindakan kejahatan yang dapat mengancam dan mengganggu keamanan negara.
“Membuat spanduk, memasang dan mengibarkan sekira pukul 13.30 WIB, pada 4 April 2017 di Kecamatan Pesanggaran. ‘Ayo gambar palu arit ae’ (Jaksa menirukan ajakan), sebelum (Budi Pego) melakukan pawai bergambar sama dengan logo PKI,” jelasnya.
Usai penyampaian eksepsi dan jawaban Jaksa, Ketua Majelis Hakim Putu Endru Sonata SH, menunda persidangan hingga 27 September 2017 mendatang.
Usai persidangan, suasana mencekam masih melanda Kota Banyuwangi. Terlebih rombongan keluarga terdakwa yang bergeser ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 2B Banyuwangi, tempat Budi Pego ditahan, juga diikuti oleh massa anti PKI.
“Kami disini bukan menghalangi keluarga terdakwa, tapi kami tidak ingin ada pemaksaan prosedur dalam pembesukan, jika harus sekian orang ya harus sekian orang,” ucap Ketua Pemuda Pancasila Banyuwangi, Eko Suryono S Sos.
Kepada wartawan dia juga menepis pernyataan Kuasa Hukum, yang menyebut Budi Pego adalah seorang aktivis lingkungan. Pasalnya, rekam jejak terdakwa justru menunjukkan bahwa dia dulu merupakan mitra dari PT Indo Multi Niaga (IMN), perusahaan tambang emas besar yang pernah beroperasi di Banyuwangi.
“Disini kita hanya mengingatkan kepada masyarakat luas, jangan sampai salah memberikan dukungan,” ungkap Eko.
Untuk itu, dia berharap para aktivis, LSM dan pegiat lingkungan mau sedikit membuka mata serta mencoba mencari tahu fakta sebenarnya di Tumpang Pitu. Bukan justru membabi buta dalam melakukan pembelaan. Menurutnya, fakta rekam jejak Budi Pego yang merupakan mantan mitra perusahaan pertambangan harusnya memunculkan kecurigaan terhadap motif sebenarnya.
“Kenapa dia tidak dari dulu saja menolak pertambangan saat masih ada IMN, kenapa baru sekarang?,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, antusiasme massa anti PKI dalam mengawal persidangan kasus demo berlogo palu arit di Kecamatan Pesanggaran, ini bukan tanpa alasan. Berkaitan dengan Laten Komunis, Banyuwangi, memang memiliki sejarah kelam. 60 orang lebih kader GP Ansor telah menjadi korban kekejaman PKI pada 18 Oktober 1965 di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring. (Abi)