SURABAYA – beritalima.com, Pengadilan Negeri Malang Kota menggalar sidang laniutan perkara dugaan pelecehan seksual di sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI), Rabu (5/7/2022). Dalam sidang kali ini, hadir Psikolog Anak, Prof. Dr. H. Seto Mulyadi, S.Psi., M.Si., Psikolog sebagai saksi ahli.
Diketahui, Kak Seto sudah 40 tahun bergelut di bidang psikologi anak, dia juga menjabat sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Salah satu pertanyaan yang dingat Kak Seto adalah ketika dirinya dimintai menjelaskan perbedaan antara LPAI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Anak.
Dijelaskan Kak Seto, LPAI pertama kali dibentuk pada tahun 1997, setelah presiden Soeharto pada tahun 1990 merativikasi konvensi tentang hak anak yang dicanangkan PBB.
“Ketua LPAI waktu itu adalah Menteri Sosial Prof.Dr Sjarifudin Baharsjah. Saat itu para aktivis peduli anak dikumpulkan. Saya juga hadir. Akhirnya saya ketiban pulung menjadi ketua umum. Pada tahun 1998, kami pakai nama populer karena sudah ada Komnas HAM dan Komnas Perempuan, maka kami pakai Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA,” jelasnya di PN Malang Kota.
Namun ungkap Kak Seto berdasarkan hasil pertemuan Forum Nasional Biasa Perlindungan Anak tahun 2016, penamaan dan penyebutan Komnas PA sudah tidak digunakan lagi.
“Penamaan organisasi kembali nama awal tahun 1997, yaitu Lembaga Perlindungan Anak Indonesia disingkat LPAI. LPAI sama sekali tidak mengakui keberadaan organisasi Komnas PA karena penamaannya sudah disepakati kembali ke LPAI. Selain itu, sejarah dan kronologis organisasi kami adalah satu kesatuan informasi yang utuh sebagai informasi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus LPAI baik periode 2016-2021, 2021-2026 serta periode selanjutnya,” ungkap Kak Seto.
Sementara Ditho Sitompul, kuasa hukum terdakwa JE mengatakan, dalam persidangan tadi pihaknya menghadirkan Kak Seto untuk menunjukkan hal-hal yang sudah terungkap dalam persidangan selama ini.
“Sebab bagi kami, ada hal-hal yang tidak bisa membuktikan bahwa klien kami sebagai pelaku seperti yang diisukan selama ini,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Dalam sidang tersebut, papar Ditho pihaknya sempat menanyakan kepada Kak Seto apakah dengan satu data atau data tunggal dari pihak korban saja dapat dijadikan sebagai satu alat bukti.
Dijawab Kak Seto, bahwa data tunggal tidaklah lengkap tanpa didukung data pembanding. Misalnya diperiksa juga orang-orang di sekitaran korban. Bahkan pelaku juga diperiksa kondisi psikologinya.
“Psikologi forensik yang lalu juga mengakui bahwa data itu memang tidak lengkap. Bahkan dia juga meminta kepada penyidik agar memeriksa pelaku. Namun tidak di ijinkan,” paparnya.
Menurut Ditho, Kak Seto tadi juga membawa misi bahwa lembaga perlindungan anak yang dipimpinnya saja yang memiliki legal standing. Diluar lembaga itu tidak memiliki dasar hukum yang tepat.
Sementara terkait adanya aktivis-aktivis lainya yang bilangnya membela anak. Menurut Kak Seto patut dipertanyakan untuk apa. Kak Seto tadi menerangkan jangan sampai keinginan untuk membela anak, malahan menjatuhkan si anak itu sendiri.
“Membela anak itu boleh-boleh saja dan kita tidak pernah melarangnya. Namun jangan sampai membela anak dengan cara-cara yang tidak beretika dan berestetika yang akhirnya menjatuhkan si anak itu sendiri. Itu pesan yang ingin disampaikan oleh Kak Seto,” lanjutnya.
Kak Seto juga secara eksplisit mengetahui SPI sejak lama. Pada saat Arist Merdeka Sirait menjadi ketua LPAI, munasnya diadakan di SPI.
Kak Seto juga mengikuti perkembangan SPI dan melihat sekolah ini berstandar internasional. Menurut Kak Seto anak-anak di SPI sudah terlindungi.
Makanya Kak Seto meyakini, bila ada sesuatu terjadi di SPI, mestinya sudah sejak lama ada. Bukan baru terjadi belasan tahun kemudian.
Kak Seto juga mengenal korban. Dilihat kesehariannya sebagai sosok yang ceria, optimis serta memiliki kecerdasan.
Sewaktu tahun 2015 Kak Seto datang ke SPI tidak ada isu-isu (pelecehan seksual) seperti ini.
“Dia bilang saya dekat dengan anak-anak, saya dialog tapi tidak pernah ada isu-isu itu. Kalau memang ini ada, sejak dulu dong. Kalau isu baru muncul puluhan tahun kemudian itu namanya menjebak. Misalnya kita diludahi sama seseorang, saat itu juga pasti kita akan melawannya. Bukan puluhan tahun kemudian baru bilang saya puluhan tahun yang lalu diludahi sama dia” pungkas advokat Ditho Sitompul. (Han)