(Bagian ke-2)
Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Perkawinan memang sebuah ikatan biasa melainkan ikatan kuat. Kompilasi Hukum Islam sebagai fikih ala Indonesia memberikan stigma terhadap ikatan perkawinan ini sebagai “mitsaqan ghilidhan”. Predikat tersebut ternyata mempunyai keistemawaan. Sebab, istilah mitsaqan gholidhan Allah SWT lah yang memberikannya. Dalam Surat An-Nisak tegas-tegas Allah menyebut ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalidhan. Dan, ternyata dalam Al Quran yang 30 juz itu, Allah hanya menggunakan istilah tersebut hanya di tiga kali, yaitu pertama dalam Surat An-Nisak ayat 41 (ikatan perjanjian/ akad perkawinan), kedua, Surat An-Nisak ayat 154 (ikatan perjanjian dengan kaum Nabi Musa); dan ketiga, Surat al Ahzab ayat 7 (ikatan perjanjian Allah dengan para rasul-Nya).
Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa akad yang sangat kuat dari ikatan perkawinan ini ternyata adakalanya tidak mudah untuk dipertahankan. Sampai kepada titik tertentu suami istri ada yang dengan terpaksa harus mengakhiri ikatan perkawinan dengan perceraian. Allah memang tidak akan membebani manusia di luar kemampuannya. Termasuk, membebani suami istri harus tetap bersatu mempertahankan ikatan perkawinan, meskipun rumah tangga sudah dirasakan seperti neraka oleh salah satu atau kedua belah pihak sekaligus. Dengan demikian akibat yang bisa langsung dirasakan dalam perceraian adalah saumi istri tersebut bisa keluar dari ruang pengap rumah tangga, akibat perkawinan yang jauh dari impian mereka masing-masing.
Bagi anak pun hidup bersama kedua orang tua dalam satu rumah tangga yang sudah berantakan juga juga akan berakibat kurang baik. Bayangkan saja jika anak harus bersama kedua orang tua seperti kasus yang dimuat dalam Tribunnow.com (07/06/2021), yaitu mengenai seorang ayah yang digerebeg oleh polisi karena berselingkuh dengan perempuan lain. Ibunya yang sudah setahun tidak dinafkahi–dan sering menerima kekerasan (KDRT) dari suami—itu, tampaknya sangat geram dan melaporkan ‘suami bengal’ yang juga oknum PNS itu ke kepolisian setempat. Karena terdapat aspek KDRT,laporan itu pun kemudian ditindak lanjuti setelah laporan-laporan sebelumnya hanya berujung ke mediasi.
Dalam kondisi demikian, bagi anak memang dilematis. Jika orang tua tetap dalam ikatan perkawinan, dia harus hidup dalam suasana keluarga yang tidak kondusif. Jika orang tua harus bercerai, kepada siapa dia kemudian harus ikut. Bagi anak yang masih terbiasa ikut ibunya, tentu relatif tidak mengandung masalah. Tetapi, bagi anak yang sudah menginjak remaja bisanya mempunyai dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia akan memilih ikut ibunya dengan alasan kasihan. Sebagaimana yang ia lihat sehari-hari, dia tidak tega meninggalkan dan membiarkan ibu yang selama ini didholimi oleh sang ayah. Sedangkan bagi anak tertentu, khususnya yang berpotensi nakal tentu bisa bersikap lain. Dia lebih memilih ikut ayah karena ayah kebih memberikan ruang terbuka bagi kenakalannya. Kedudukan ayah sebagai tulang punggung ekonomi dirasakan lebih nyaman bagi anak tersebut karena lebih menjanjikan kehidupan hedonis. Alasan pragmatis lainnya adalah karena ikut ibu sering mendapat omelan yang sering tanpa batas ketika bermain game online, sedangkan ikut ayah lebih leluasa dalam kehidupan bebas. Dia tidak sadar, bahwa alasan pilihan yang salah tersebut merupakan awal kehancuran masa depannya.
Sekali lagi, itu baru ilustrasi kisah seorang anak harus ikut ibu yang baik dan ayah yang tidak baik. Dalam kasus sehari-hari bisa berlaku sebaliknya, yaitu justru ibu yang berperangai tidak baik tetapi justru ayah yang berperangai baik. Pada intinya, kesalahan anak melakukan pilihan, harus ikut ayah atau ibu, bagi anak yang sudah remaja, biasanya akan sangat ikut menentukan masa depan anak yang bersangkutan.
Mantan istri dan mantan suami dan sering menadapatkan fasilitas pendampingan hukum dari para lawyer tampaknya sering mengabaikan aspek-aspek penting bagi anak tersebut. Mereka sering memperebutkan buah hati bukan atas dasar kepentingan terbaik bagi anak. Tetapi, kepentingan nafsu terbaik bagi ego masing-masing. Rasionalitas mereka sering terbaikan akibat nafsu angkara. Nafsu angkara ini tumbuh subur terutama bersamaan ketika kemelut rumah tangga dimulai dan masing-masing berusaha saling mencari kambing hitam yang menjadi pemicunya. Masing-masing saling membuat klaim, bahwa dirinyalah yang benar dan pihak lain salah. Kalau kasus mereka sampai ke pengadilan, mereka saling membela diri bahwa dirinyalah yang benar. Mareka lupa, bahwa dalam kasus perceraian, pengadilan sangat menghindari stigmatisasi kesalahan kepada salah satu pihak, baik kepada suami maupun istri. Para hakim, hanya melihat sejauh mana kemungkinan pasangan suami istri masih bisa dirukunkan atau tidak.
Akibat, klaim merasa benar,setelah suami istri tersebut benar-benar cerai, biasanya masing-masing (suami-istri) saling membuat peringatan bagi anak-anaknya. Kata suami:”Jangan ikut ibumu karena ibumu jahat.” Dan sebaliknya, istri pun berkata: “Jangan ikut ayahmu karena ayahmu jahat.” Para pengacara dalam kasus demikian, memang diminta untuk membuka nurani keadilannya. Dia dituntut untuk menegakkan keadilan substantif ( demi kepentingan terbaik bagi anak ) ketimbang hanya menegakkan keadilan prosedural yang ujungnya hanya menuju kepentingan kemenangan kliennya. Maraknya kasus eksekusi anak di beberapa wilayah hukum pengadilan agama menunjukkan, bahwa egoisme kedua orang tua masih tinggi. Dalam perkara-perkara tersebut, beberapa di antaranya memakai jasa lawyer. Kita memang patut berbaik sangka, bahwa para lawyer sudah tahu dan sangat paham, bahwa dalam kasus perebutan hak asuh, kepentingan anak harus menjadi tujuan penegakan hukum. Hanya saja para pihak materiil/ prinsipal, sebagai orang awam hukum, sering mengedepankan emosi daripada empati. Sebagai contoh, eksekusi anak oleh Pengadilan Agama Ngawi (iNewsJatim.id,15 April 2021). “Aku ingin sama ayah”, begitu tangis histeris sang anak dengan kedua tangan sambil menggelayut memegangi paha sang ayah, ketika jurusita atas permohonan sang Ibu melekukan eksekusi terhadap anak berinisial ZR. Meski petugas juga mendatangkan pemohon (ibu ZR), upaya panitera tetap gagal. Sebab, bocah lebih kurang umur 5 tahun tersebut justru semakin depresi dan ketakutan. Kedatangan puluhan petugas gabungan TNI-Polri serta Dinas Perlindungan Anak yang mengawal pelaksanaan eksekusi membuat ZR kabur keluar rumah. Akibatnya, proses penjemputan ZR pun semakin alot.
Nurani kita tentu miris menyaksikan pemandangan demikian. Kitapun bisa berandai-andai, alangkah indahnya jika dalam kondisi demikian ibu tersebut mengurungkan niatnya. Mengapa? Ketika dalam suasanya demikian, pemohon eksekusilah yang mempunyai ‘kekuasaan’ tertinggi. Dia bisa saja seketika menghentikan eksekusi yang dilakukan petugas. Petugas–pasti dengan caranya, tanpa melanggar tertib beracara–akan ‘menghentikannya’. Akan tetapi, sekali lagi, dalam suasana demikian emosi dan harga diri biasanya menjadi taruhan satu-satunya pemohon eksekusi. Para para lawyer pun sering dibuat tidak berdaya menyikapi klien yang sedang sampai ke puncak amarah yang menyentuh harga diri tersebut. Atas nama profesi, para lawyer itu pun akhirnya tetap melakukan tugasnya sekali pun dengan hati teriiris, yang mungkin setara dengan nurani hakim ketika hatinya dilanda kepiluan karena harus menjatuhkan putusan atas perkara yang bernuansa dilematis. Selamatkan anak kita!