Sejarah mencatat, banyak peristiwa di bulan Ramadan yang bisa diambil hikmah, mulai dari kisah heroik jihad melawan kaum kafir saat ibadah puasa, maupun kepergian orang-orang mulia yang terjadi pada bulan suci. Di antara kisah duka tentang kepergian panutan kaum muslim adalah kepergian Siti Khadijah, Fatimah, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib.
Kepergian Siti Khadijah menjadi peristiwa yang sangat memukul Rasulullah SAW mengingat beliau adalah sosok perempuan yang sangat istimewa dalam menjaga kesetiaan sebagai istri. Siti Khadijah jugalah yang merupakan saksi keadaan Rasulullah SAW sesaat setelah menerima wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril di Gua Hira’.
Saat itu, Nabi Muhammad melakukan i’tikaf di Gua Hira’. Sayyidah Khadijah dengan sigap mempersiapkan perbekalan yang akan Nabi bawa selama i’tikaf nanti. Berangkatlah Nabi ke Gua Hira dengan membawa beberapa perbekalan yang telah Sayyidah Khadijah siapkan. Keberangkatan Sayyidina Muhammad saat berusia 40 tahun tersebut, menjadi awal pertemuan dengan Malaikat Jibril. Malaikat pembawa wahyu menampakkan wujud asli dihadapan beliau dan menyampaikan wahyu pertama, yaitu surat Al-Alaq ayat 1-5. Sayyidina Muhammad kemudian membaca surat yang berawal dari kata : Iqro’, yang berarti :”Bacalah”.
Setelah pertemuan pada 17 Ramadlan tersebut, Rasulullah segera pulang ke rumah dan masih menyisakan keadaan ketakutan dan panik. Sayyidah Khadijah-lah menyambutnya dan menanangkan beliau. “Selimutkanlah aku, selimutkanlah aku,” ucap Rasulullah ketika itu, sembari menceritakan kejadian yang baru saja dilaluinya.
Sikap tenang dan bijak ditampakkan oleh Sayyidah Khadijah untuk menghilangkan ketakutan dan kepanikan suami tercintanya. Sayyidah Khadijah mengatakan kepada Rasulullah, “Demi Allah, Allah tidak akan pernah mempermalukanmu Rasul. Sesungguhnya engkau selalu menjalin silaturrahim, menolong orang yang lemah, memberi bantuan terhadap orang yang membutuhkan, melayani tamu dengan baik, dan selalu membela kebenaran.” (HR. Bukhari).
Mendengar cerita yang telah Sayyidina Muhammad sampaikan, kepedulian dan kecerdasan ditampakkan oleh Khadijah dengan mengajak suaminya bertanya kepada paman Khadijah yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani Ahlil Kitab. Maka Waraqah bin Naufal pun berkata: “Itu adalah Annaamusul Akbar (Malaikat) yang pernah turun kepada Nabi Musa (as.). Dan berarti sekarang engkau (Sayyidina Muhammad) telah diangkat sebagai Rasul (utusan Allah SWT).”
Demikianlah saat-saat terbesar bagi kita semua (terkhusus Umat Islam), yaitu telah diangkat Rasul akhir zaman, dan betapa besar peran seorang istri Rasulullah SAW yang memberikan ketenangan pada peristiwa terbesar di dunia ini. Tugas seorang istri memang selalu mendampingi suami di manapun dan kapan pun. Begitu juga Sayyidah Khadijah dengan Rasulullah SAW.
Walaupun kehidupan Rasulullah SAW tak pernah lepas dari kesulitan dan cobaan, Sayyidah Khadijah tidak pernah meninggalkan Rasulullah SAW. Ia selalu mendampingi dan menemani Rasulullah SAW dalam segala kondisi. Tak hanya itu, begitupun juga sebaliknya, kesetiaan dan keromantisan Rasulullah terhadap Khadijah selalu menjadi sorotan umat muslim selama beliau hidup berdampingan. Terlebih, perbedaan usia dan materi antara Rasulullah dan Khadijah bukanlah menjadi halangan bagi keduanya untuk menjalani kehidupan pernikahan yang bahagia serta penuh dengan rahmat Allah SWT.
Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah yang sholehah dan sangat setia kepada suaminya. Khadijah tidak merasa keberatan menginfakkan semua hartanya yang melimpah ruah untuk membantu nabi dalam kepentingan dakwahnya. Bahkan, hartanya sampai habis tak tersisa demi perjuangan sang suami mendakwahkan agama Islam. Sayyidah Khadijah tidak pernah sekalipun menghalangi Nabi Muhammad dalam berdakwah, bahkan ia selalu mendukungnya dalam segala kondisi.
Subhanallah, maha suci Allah SWT telah menghadirkan cinta dan kasih dalam bingkai pernikahan, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis:
اِنَّ لِلزَّوْجِ مِنَ الْمَرْأَةِ لَشُعْبَةَ مَا هِيَ لِشَيْئٍ (رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya bagi suami ada cinta kasih dari sang istri (yang sangat besar) yang tidak bagi sesuatu (yang lain).” (HR. Ibnu Majah, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 2380).
Kisah penuh ketulusan cinta antara Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah kemudian terhenti tatkala ibu dari Sayyidah Fatimah tersebut wafat pada 11 Ramadan (sebelum Hijriyah, yaitu tahun ke 10 setelah kenabian). Peristiwa ini menjadi penentu duka cita Rasulullah SAW karena dalam satu tahun, bukan hanya Khadijah yang wafat, paman yang juga sangat dicintai Rasulullah, Abi Thalib, juga wafat. Kepergian keduanya menjadi penanda tahun duka cita, Amul Huzni.
Keutamaan sosok Khadijah bahkan dijelaskan sebagai wanita paling baik pada masanya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 3626, dijelaskan sabda Rasulullah SAW:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: حسبُك مِن نساء العالَمين أربعٌ: مريم بنت عمران، وآسية امرأة فرعون، وخديجة بنت خويلد، وفاطمة بنت محم
Rasulullah SAW bersabda: ”Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat orang. Mereka adalah Maryam binti Imran, Asiyah binti Muzahim istri Firaun, Khadijah, dan Fatimah. (HR Ahmad).
Akhir kata, meneladani secara sempurna dan sepenuhnya atas kebaikan Sayyidah Khadijah tentu sebuah keniscayaan. Namun ikhtiar untuk meneladani segala kebaikan, kesalehan dan kedewasaan Siti Khadijah dalam menyikapi apapun yang dihadapi, setidaknya bisa diharapkan sebagai ladang amal kita semasa hidup.