JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi IV DPR RI dari Dapil IV Provinsi Jawa Barat, drh Slamet menentang kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No: P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.
Dalam pasal 19 peraturan itu disebutkan pembangunan food estate dapat dilakukan di kawasan hutan lindung. “Permen itu harus dicabut demi hukum, sebab secara terang-terangan melanggar ketentuan perundangan,” kata Slamet kepada Beritalima.com, Kamis (19/11).
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut merujuk UU No: 41/1999 tentang Kehutanan dimana pasal 26 menyatakan, pemanfaatan hutan lindung hanya berupa pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
Slamet mengingatkan, Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar belajar dari sejarah kelam rusaknya hutan. Kerusakan hutan yang meluas akan sulit untuk dipulihkan seperti sedia kala.
Padahal, Negara Indonesia ini mesti mengembalikan Pekerjaan Rumah mengembalikan lahan area hutan yang rusak menjadi kritis yang hingga kini belom selesai pekerjaannya.
“Pembukaan lahan Gambut (PLG) 1,4 juta hektar untuk pertanian pada dasawarsa 1990an harusnya jadi pembelajaran berharga buat kita akan rusaknya ekosistem dan hutan. Lebih spesifik, Hutan Papua adalah paru-paru dunia yang tersisa serta habitat mega bio diversity Indonesia. Apa kita kembali mau merusaknya ?, tentu semua pihak warga dunia termasuk Indonesia pasti menjawab tidak,” urai Slamet.
Anggota DPR RI asal Sukabumi ini juga mempertanyakan pihak yang diuntungkan secara ekonomi dari program pertanian skala besar ini. Ia mengingatkan agar kepentingan petani dan masyarakat sekitar hutan dalam program ini akan sirna semua. “Jangan sampai food estate ini hanya bentuk kolaborasi negara dan investasi,” ketus dia.
Slamet juga menyinggung pentingnya perhutanan sosial. Hingga saat ini, pengelolaan perhutanan sosial masih belum merata dilakukan pada sepanjang area pinggiran hutan Indonesia. Masih banyak yang pelu dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang memunculkan simbiosis mutualisme dimana rakyat sekitar hutan terberdayakan dan meningkat taraf ekonomi kehidupannya, di saat bersamaan, pemerintah terbantu melestarikan hutan tanpa mengeluarkan biaya SDM yang sangat besar untuk menjaganya.
“Seharusnya pemerintah mengakselerasi program perhutanan sosial yang saat ini berjalan lamban realisasinya. Sehingga akses rakyat terhadap hutan menjadi besar dan petani masyarakat hutan semakin sejahtera,” demikian drh Slamet. (akhir)