Soegondo: Tokoh Sumpah Pemuda Yang ‘TENGGELAM’

  • Whatsapp

beritalima.com – Nasib pria ini mungkin lebih moncer jijikaka tak menolak tawaran Presiden Soekarno. Lewat istrinya yang bertemu di istana saat mengantar kakaknya yang beristrikan Sekretaris Kabinet zaman itu, Soekarno sebenarnya nyata-nyata ingin memberi jabatan kepadanya. Selain ia tokoh, ia juga kawan satu kos. Tapi jawaban “yes” yang ditunggu Soekarno tak kunjung tiba. Menguaplah kesempatan emas itu.

Bukan itu saja peluang gemilang yang ditampik pria ini. Ada beberapa kali yang sengaja tak diterimanya. Setelah pernah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim pada masa RIS, di era Acting Presiden Assaat, ia justru memilih pensiun. Padahal usianya masih 46 tahun. Pasti bukan nasibnya selalu ‘terpinggirkan’ tapi karakternya memang demikianlah. Saya menilai ia pria low profile.

Sebut saja dalam peristiwa penting hari ini, Sumpah Pemuda. Seberapa banyak orang yang mengingat namanya? Padahal ialah pemuda 23 tahun yang didapuk menjadi Ketua Kongres Pemuda II yang menghasilkan janji para pemuda yang heroik itu. Dibanding Mohammad Yamin dan WR Soepratman, namanya belum juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional hingga hari ini. Tunggu presiden terpilih 2019?

Soegondo Djojopuspito, demikian nama lengkapnya. Ia boleh dibanggakan banyak orang di berbagai kota termasuk Surabaya. Sebab bersama Soekarno, ia pernah ‘ngenger’ di rumah HOS Cokroaminoto antara 1919-1922 di Peneleh itu. Selama itu, ia menempuh pendidikan MULO. Surabaya juga jadi tempatnya kembali pada 1936 saat bekerja sebagai wartawan lepas De Indische Courant Soerabaia.

Orang Yogyakarta juga boleh memiliki Soegondo. Sebab setelah lulus MULO, ia melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B (Sekolah Menengah Atas bagian B paspal) di Yogyakarta tahun 1922-1925. Di Kota Istimewa itu, ia mondok di rumah Ki Hadjar Dewantara di Lempoejangan Stationweg 28 (dulu Jl. Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada). Makamnya juga di Yogyakarta, di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata, bersama gurunya Ki Hadjar Dewantara.

Lebih-lebih orang Tuban yang layak menyanjungnya sebagai putra terbaik daerahnya. Sebab ia lahir di tanah wali itu, pada 22 Februari 1905. Bapaknya bernama Kromosardjono, seorang Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di Tuban. Sebelum diantar pamannya -yang mengangkatnya anak- ke Surabaya, suami penulis ternama Soewarsih ini menempuh pendidikan HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) tahun 1911-1918 di Tuban.

Ketika Sumpah Pemuda 90 tahun, sengaja saya menulis Soegondo karena betapa ia seharusnya punya tempat yang makin layak. Ia sebagian pria pencetus lahirnya bangsa Indonesia pada 1928 sebelum lahirnya negara Indonesia lewat Proklamasi pada 1945. Ya memang sih pemerintah sudah memberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia berupa Bintang Jasa Utama pada 1972. Lalu Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada 1992.

Patungnya juga bisa disaksikan di Museum Sumpah Pemuda Jakarta. Tapi pengunjung rupanya jarang berfoto di dekatnya. Foto-foto di berbagai laman sulit sekali saya temukan dengan angle Soegondo. Terakhir di Gedung Pertemuan Pemuda ada nama wisma yang diterakan dengan namanya. Gedung di Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) itu dibangun Kemenpora dan diresmikan Menpora pada 18 Juli 2012.

Dalam sejarah perintis kemerdekaan, Soegondo setara dengan jasa Soekarno, Muhammad Hatta, atau Syahrir dan HB IX yang merupakan teman dekatnya. Dalam Sumpah Pemuda apalagi, namanya sangat penting. Memang betul resolusi hasil kongres diformulasikan Muhammad Yamin lebih luwes dalam trilogi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Namun Soegondo lah yang memberi paraf pada secarik kertas untuk menyatakan setuju lalu diikuti anggota kongres yang lain.

Selain trilogi itu, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman boleh unjuk gigi. Siapa lagi yang memuluskan itu kalau tidak karena persetujuan Soegondo. Meski kongres Berlangsung ketat karena dijaga Polisi Hindia Bela Dalam, namun ketika WR Supratman berbisik meminta izin kepada sang ketua agar boleh memperdengarkan lagu ciptaannya, Soegondo menyilakannya dengan berani.

Setelah itu, nama Soegondo lebih sibuk sebagai pendidik. Menuruti Ki Hadjar Dewantara ia jadi guru di Perguruan Tamansiswa di Bandung sampai diangkat menjadi Kepala Sekolah pada 1932. Selain sukses ia juga pernah gagal mendirikan Sekolah Loka Siswa di Bogor. Itulah mengapa pada 1936 ia merantau pindah ke Semarang, dan mengajar di sekolah Tamansiswa di Kota Lumpia.

Menjelang Perang Dunia II 1940 Soegondo pindah ke Batavia mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi orang Belanda. Sebagai jurnalis, karirnya juga bagus karena dipercaya menjadi Direktur Kantor Berita Antara. Sementara Adam Malik -mantan wapres- cuma menjadi salah satu redaktur. Pascaitu, namanya tak lagi tersebut dalam banyak peristiwa.

Tapi bagi saya, wacana mengusulkannya menjadi Pahlawan Nasional yang pantas diterimanya tak boleh tenggelam. Terakhir Menpora Andi Mallarangeng getol mengusulkannya pada 2012. Tim bahkan sudah dibentuk. Satu-satunya putra dari tiga anaknya, Ir Sunaryo Joyopuspito M.Eng -guru piano dan biola- sudah menyerahkan semua berkas pengajuan itu lewat Kemenpora.

Apa karena si menteri sekarang masih dipenjara lantas sekarang upaya itu dilupakan? Bisa jadi begitu. Sebab belum tentu yang menggantinya juga berpikir serupa. Tabiat kita, jabatan ganti orang ya pasti ada yang mangkrak. Well, kalau ada tokoh bangsa ‘tenggelam’ dalam peristiwa besar sudah biasa lah itu. Masa kamu yang bukan apa-apa mudah baper kalau tak dianggap? Tiru saja Soegondo. Merdeka Bung!

*oleh Heti Palestina Yunani, jurnalis, dosen, pecinta seni

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *