SURABAYA, Beritalima.com| Sosok Sukarno menjadi daya tarik tersendiri bagi Inisiator Komunitas Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo. Menurutnya, Bapak Pemersatu Bangsa itu lekat dengan Kota Surabaya, khususnya dengan kawasan Peneleh yang menjadi saksi bisu lahirnya Presiden Republik Indonesia (RI) Pertama.
Dalam Sarasehan Kebangsaan, Memperingati Hari Lahir Bung Karno bertajuk “Warisi Apinya, Jangan Abunya” yang digelar di Gedung Merah Putih, Kompleks Balai Pemuda itu, Kuncarsono menjelaskan, kelekatan Presiden RI ke-1 itu dengan Kota Pahlawan, berdasarkan buku berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Mulanya, berawal dari kedua orang tua Sukarno yakni, Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai yang menjalin hubungan sebagai seorang sepasang kekasih hingga akhirnya menikah pada tahun 1897.
“Saat itu, Sukemi (Sosrodihardjo) dan Srimben (Ida Ayu Nyoman Rai) bertemu di Singaraja, Bali. Ketika itu, Sukemi menjadi seorang guru PNS yang ditugaskan di sana, kemudian saling kenal dan suka,” kata Kuncar sapaan akrab Kuncarsono, Sabtu (11/6/2022).
Benih-benih cinta itu muncul, karena indekos Sukemi dengan Puri Agung Singaraja atau kediaman Srimben kala itu jaraknya yang tidak begitu jauh, bahkan sejalur dengan tempat ayah Sukarno itu pergi dan pulang mengajar. Meskipun ada rasa saling suka hubungan keduanya tidak mendapatkan restu karena, Srimben adalah keturunan ningrat kerajaan Singaraja.
“Karena Srimben adalah keturunan ningrat tinggi, sedangkan Sukemi bukan dari keluarga ningrat, sehingga ditolak oleh keluarga pujaan hatinya. Pada saat itu lah ia (Sukemi), tetap mengajak Srimben menikah,” papar Kuncar.
Setelah menikah, Sukemi dan Srimben pun dikaruniai anak pertama pada 29 Maret 1898. Anak pertama berjenis kelamin perempuan itu mereka beri nama Sukarmini. Setelah itu, di tahun 1899, keluarga kecil ini pindah dari Bali ke Surabaya, seiring adanya surat pindah tugas dari kementerian pendidikan kalau itu.
Setelah pindah dari Bali ke Surabaya, Sukemi mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) sekolah Belanda untuk bumiputera di Jalan Sulung, atau sekarang SDN Alun – Alun Contong I, Surabaya. Selang setahun kemudian, pada 6 Juni 1901, Srimben melahirkan anak keduanya, Kusno (Sukarno).
“Tak berselang lama, setelah usia Kusno enam bulan, tepatnya 28 Desember 1901, bapaknya dimutasi lagi, ke Jombang, Ploso. Karena pada saat itu gaji PNS tidak terlalu tinggi, pada akhirnya Sukarno cilik dititipkan ke rumah kakeknya di Tulungagung dari tahun 1904 – 1906,” ujar Kuncar.
Saat sarasehan, Kuncar juga menjelaskan, di tanggal 23 November 1907, Sukarno ikut pindah lagi bersama ayahnya, kemudian menetap lama di Mojokerto pada 22 Januari 1909. Setelah itu, Sukarno kecil sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya, sedangkan bapaknya pindah tugas lagi ke HBS Blitar.
“Nah, cerita Blitar sebenarnya diawali dari sini. Jadi bapaknya dari dari Mojokerto pindah ke Blitar, kemudian kontrak di sebuah rumah kecil, lantas ketika libur sekolah, Sukarno muda pulang ke Blitar untuk bertemu orang tuanya. Jadi seolah-olah Bung Karno pada waktu itu mudik ke Blitar, padahal awal mulanya itu karena Bapaknya dimutasi,” urainya.
Di tengah perjalanan Sukarno muda saat mengenyam pendidikan di HBS Surabaya, ada secuil kisah menarik yang dijalaninya. Saat itu di usianya yang baru menginjak ke 15 tahun, Sukarno rela berjauhan dari keluarganya dan memilih untuk merantau ke Kota Pahlawan. Saat itu ia, tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto.
Saat mengenyam pendidikan, Sukarno muda tinggal bersama 30 pemuda lainnya di indekos milik HOS Tjokroaminoto yang terletak di Jalan Peneleh Gang VII No. 29 – 31, Surabaya. “Jadi yang tinggal di situ indekos Tjokroaminoto) gratis, tapi syaratnya harus makan di rumah itu. Karena waktu itu Sukarno makannya sedikit, sehari dua bahkan sekali, maka dia tinggalnya di indekos paling belakang, sekarang menjadi sekolah SD Muhammadiyah,” jelas Kuncar.
Bukan hanya tinggal di indekos, sebagai seorang yang kaya akan rasa ingin tahu, Sukarno muda sering kali ikut nimbrung bersama pendiri Sarekat Islam (SI) itu, ketika mempraktikkan pidato atau diskusi soal politik. Bahkan, saat itu Sukarno sempat menjadi wartawan tulis media yang dimiliki oleh Tjokoroaminoto.
“Di usianya yang masih 15 tahun, Sukarno itu pembaca ulung, makannya di kalau menulis itu runtun. Di bertemu banyak orang yang usianya jauh di atasnya. Yang paling keren, pertama kali Sukarno mengenal Islam itu di rumah HOS Tjokroaminoto,” ungkapnya.
Di usianya yang menginjak ke 20 tahun, Sukarno remaja baru mengenal yang namanya cinta. Kala itu ia menyatakan cintanya kepada Utari, anak pertama HOS Tjokroaminoto. Saat itu, waktu sore hari menyatakan cintanya di atas Jembatan Peneleh, sembari menghadap ke selatan.
Kemudian pada usia ke 21 tahun, Sukarno mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Bandung. Selang satu tahun kemudian, Sukarno mendengar kabar kalau istri Tjokroaminoto wafat pada tahun 1921. Setelah menerima telegram dari Surabaya, ia pun memutuskan untuk cuti selama tujuh bulan.
Saat itu Tjokroaminoto merasa tiada harapan lagi, tanpa istrinya, tokoh politik itu akhirnya sempat ling-lung. Karena Tjokroaminoto sudah tidak lagi punya penghasilan dari hasil usaha istrinya. Pada saat Sukarno tinggal di Surabaya itu pula, ia melangsungkan pernikahan dengan Utari.
Bukan hanya menikah dengan Utari, ketika dia cuti kuliah selama tujuh bulan, akan tetapi ia juga sempat bekerja sebagai pegawai tidak tetap di Stasiun Semut (Surabaya Kota) untuk membantu keuangan Tjokroaminoto sekaligus menghidupi biaya sehari-harinya bersama sang istri.
“Jadi ini yang nggak banyak diungkap pertama kali Sukarno menikah di Surabaya, tentu ia bekerja susah payah di Stasiun Semut. Itu ada catatannya juga di sebuah buku di Jepang, ditulis bahwa Bung Karno bekerja sebagai outsourcing,” pungkasnya. (*)