SURABAYA, beritalima.com|
Banyaknya isu perceraian dan perselingkuhan yang muncul di dunia maya membuat pembuatan perjanjian pra-nikah menjadi hal yang santer dibicarakan. Hal ini juga ditanggapi oleh Prof Dr Agus Yudha Hernoko SH MH, Guru Besar bidang Hukum Perdata Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair).
Perlu pertimbangan Calon Pasangan
Perjanjian menyangkut pernikahan dianggap Prof Yudha sebagai hal yang perlu dipertimbangkan masak-masak oleh calon pasangan suami istri, dengan segala konsekuensi hukum.
“Ini bukan masalah selera atau suka-suka, tetapi merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum,” tegasnya pada Rabu (10/5/2023).
Keberadaan perjanjian ini kerap dianggap sebagai bentuk keraguan antara pasangan. Namun, guru besar FH itu berpendapat bahwa sejatinya perjanjian menyangkut perkawinan merupakan pilihan yang didasarkan oleh konsekuensi masing-masing.
“Kalau alasan kepercayaan atau keraguan yang dijadikan dasar dibuatnya perjanjian perkawinan, maka hakikat perkawinan yang dilandasi dimensi hukum, moral, serta agama menjadi absurd dan bias,” sebut dosen kelahiran Madiun tersebut.
Praktik yang Kurang Tepat
Prof Yudha juga menyoroti adanya praktik yang kurang tepat dalam pemahaman perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dan perjanjian selama perkawinan (post nuptial agreement).
“Perlu diluruskan, sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif dan tidak bias oleh fakta empiris yang kurang memperhatikan ketepatan konteks aturan hukum yang melingkupinya,” jelasnya.
Pada dasarnya, kedua perjanjian itu mengatur segala sesuatu serta akibat hukumnya kepada harta benda perkawinan. Serta, dapat juga memasukkan poin-poin lain sepanjang tidak bertentangan dengan substansi UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 29.
Hal-hal yang Dapat Diatur
Dalam UU Perkawinan, terdapat ayat yang menyatakan adanya ruang gerak terhadap pengaturan harta benda sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
“Frasa inilah yang membuka ruang untuk dibuatnya perjanjian perkawinan, yang pada praktiknya kemudian digeneralisir dengan istilah perjanjian pra nikah. Kemudian untuk menindaklanjuti maksud para pihak tersebut maka diatur lebih lanjut dalam Bab 5 Perjanjian Perkawinan,” jelasnya.
Sesuai Amandemen Putusan MK, vide Pasal 29 (1), Prof Yudha menjelaskan bahwa perjanjian ini dapat dilakukan sebelum, pada saat, atau selama perkawinan berlangsung. Sementara formalitasnya dapat dibuktikan melalui perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, yang kemudian isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga terkait.
“Surat dengan tulisan tangan, meterai dan tanda tangan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, dan itu sekedar mengikat para pihak. Bahkan, tulisan mengenai janji tidak akan selingkuh itu menjadi hal yang menggelikan bagi ahli hukum, karena hakikat perkawinan ialah ikatan lahir batin pria dan wanita sebagai suami istri dalam membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga tanpa ada surat tersebut maka komitmen akan kesetiaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga bersifat mutlak,” pungkasnya. (Yul)