Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Moto yang diucapkan oleh orang Jawa “tempo doeloe” itu kalau dibahasaindonesiakan berarti “makan tidak makan yang penting berkumpul” atau kalau dibahasakan dengan kalimat lain bisa juga berarti “biar pun tidak makan yang penting bersama”. Untuk konteks sekarang kalimat ini banyak dicibir karena berkonotasi negatif, seperti malas, ekslusif, dan hanya berorientasi kepada kelompok. Akan tetapi, mengapa kalimat itu menjadi semacam semboyan yang sangat terkenal pada masyarakat suku Jawa? Bahkan, mengapa pula kalimat yang sering menjadi salah satu nasihat penting para “sesepuh” itu, kini seolah telah menjadi “petuah” turun temurun lintas zaman? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika masyarakat kini ada kecenderungan sudah tidak lagi peduli dengan ‘kalimat bijak’ itu.
Di era modern ini konon petuah “Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul” itu tidak relevan lagi. Faktanya kini banyak orang cenderung hidup secara individualistis. Kepedulian terhadap keluarga semakin luntur. Jangankan terhadap orang yang dulu oleh leluhurnya dianggap keluarga, terhadap keluarga leluhurnya sendiri saja orang sekarang semakin kurang hangat atau bahkan kurang peduli. Apabila mereka mendapat kesulitan jangankan membantu bersimpati pun kadang lupa. Kebiasaan saling berkunjung yang dulu dilakukan saat lebaran kini semakin sulit dilakukan. Kalaupun berkunjung paling hanya memilih yang selevel atau yang memang terjangkau dan karena keluarga tersebut kebetulan dilewati setelah selesai berkunjung dari teman kantor atau teman bisnis. Kehangatan bertemu dengan kerabat digeser dengan pertemuan dengan rekan bisnis dan sejumlah relasi yang dianggap elit lainnya. Sebagian generasi sekarang juga ada yang cenderung tidak ambil pusing terhadap keluarga jauh dan oleh karenanya tidak bisa bertemu. Yang penting diri dan keluarga sendiri hidup sejahtera. Pada saat yang sama ada yang karena tuntutan ekonomi, seseorang harus meratau meninggalkan keluarga. Kesempatan pulang kampung berkumpul dengan keluarga besar pun menjadi sulit dan mahal. Dalam konteks demikian, semboyan “mangan ora mangan sing penting kumpul “ kini pun seolah berubah menjadi “kumpul ora kumpul sing penting mangan” (meskipun tidak kumpul yang penting bisa makan).
Pandangan minor kebanyakan orang tentang falasah Jawa itu juga pernah ditulis oleh Andreas Winata. Menurutnya, papatah “mangan ora mangan sing penting kumpul” sering diartikan sangat dangkal dan dianggap tidak moderen alias kuno dan sudah tidak sesuai dengan masa kini. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang hanya mengartikan bahwa kumpul menjadi kebutuhan utama dibandingkan makan. Padahal, kenyataannya bahwa makanlah yang lebih penting daripada hanya sekedar kumpul. Karena pandangan keliru tersebut banyak yang sudah menganggap ungkapan ini sudah tidak relevan lagi, apalagi saat ini sudah zaman internet dan didukung dengan kecanggihan teknologi sudah mampu mendekatkan satu dengan yang lain sehingga untuk berkumpul itu sudah tidak perlu lagi. Menurutnya ungkapan “mangan ora mangan sing penting kumpul” sebenarnya tidak serta merta muncul begitu saja tanpa arti. Ada situasi dan dinamika yang terjadi di tengah-tengah keluarga atau masyarakat kita sehingga ungkapan ini muncul. (Kompasiana, 9 September 2012)
Kalimat tersebut kalau disimak ternyata mengandung falsafah hidup yang mendalam. Prinsip persatuan, kebersamaan, senasib sepenanggungan adalah sebagian makna yang terkandung dari kalimat yang kadang dicibiri oleh generasi yang mengklaim sok modern. Dengan petuah itu, hubungan kekeluargaan orang dulu demikian hangat. Orang dulu akan merasa kehilangan jika ada salah seorang saudara tidak berada di tengah-tengah keluarga. Kerinduan itu semakin terasa jika kebetulan keluarga sedang menggelar hajatan, seperti selamatan atau hajat sunatan atau pernikahan. Ketika berpisah, orang dulu akan selalu mencari saudaranya atau orang yang dianggap seperti saudara. Mereka tidak segan-segan merogoh saku atau menjual sebagian hasil panen kedelai atau padinya sekedar mencari anggota keluarga yang lama berpisah atau menghilang tersebut. Naik sepeda puluhan kilometer dengan sepeda “onthel” pun rela mereka lakukan sekedar ingin menjumpai sanak famili yang lama tidak bisa ditemui.
Filosofi makna petuah tersebut juga pernah ditulis Evan Tandywijaya dalam artikel yang dimuat dalam “Jurnal Ilmu Budaya” (Volume 8, Nomor 2, 2020). Menurutnya filosofi Jawa kuno ini ingin menunjukkan sisi lain yang dimiliki masyarakat Jawa, yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain. Selagi masyarakat lain mengejar pendapatan dan kekayaan untuk memuaskan hidup mereka, masyarakat Jawa lebih memilih untuk menerapkan nilai kebersamaan dan relasi interpersonal di atas segalanya. Hal ini membuat masyarakat Jawa bersifat lebih egaliter, demokratis, dan inklusif.
Dengan demikian, ajaran “mangan ora mangan sing penting kumpul” telah menanamkan jiwa kebersamaan. Selanjutnya, tradisi kebersamaan yang terpateri dalam jiwa kemudian menjadikan orang Jawa, ketika di rantau, bisa lebih mudah bergaul dengan siapa saja kapan pun dan di mana pun. Bahkan, kemudahan bergaul tersebut, sering mengabaikan sekat-sekat primordial. Pada saat yang sama juga tidak bisa melupakan ikatan kepada keluarga/ leluhur di kampung halaman. Tradisi mudik lebaran yang sering tidak bisa dicerna akal sehat, menjadi salah satu bukti mengenai hal ini.
Dari sisi politik kebangsaan, ungkapan tersebut sebenarnya mengandung spirit persatuan dan kesatuan. Sebagai rakyat dari sebuah negara besar dengan berbagai suku bangsa yang ada, persatuan dan kesatuan ini tentu sangat penting. Persatuan demikian tidak mungkin terbentuk jika masing-masing individu tidak mempunyai ketahanan mental yang kuat. Ketahanan mental dimaksud ialah ketahanan dari godaan dan “ iming-iming musuh” yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan. Pada zaman kolonial dulu semangat seperti ini sangat penting untuk menangkal politik pecah belah (devide et impera) penjajah. Politik pecah belah ini selalu dinamai sebagai kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaaan dengan cara mmecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.
Terlepas dari pro dan kontra pemaknaannya, kedua semboyan tersebut yang jelas dalam konteks kehidupan sekarang, harus kita tempatkan pada konteksnya masing-masing. Narasinya dapat kita ubah sesuai konteksnya, yaitu bahwa mengejar kesejahteraan semaksimal mungkin, tidaklah dilarang. Akat tetapi, saat mengejar kepentingan pribadi jangan sampai melupakan akar kita. Tidak melupakan akar berarti tidak lupa dari mana kita berasal. Ketika ingat dari mana kita berasal pada saat itulah tumbuh tanggang jawab tetap menjaga persatuan dan kekompakan dengan kesadaran tetap menjalin ikatan dengan masyarakat asal karena adanya persamaan leluhur. Semangat demikian perlu kita tanamkan dalam perilaku dan jiwa dengan suatu semngat berefleksi: apalah artinya sebuah capaian tinggi sebuah kehidupan kalau harus tercabut dari relasi komunikasi dengan para leluhur. Bukankah salah satu ciri bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa menghargai para leluhur. Jargon “jasmerah” (jangan melupakan sejarah) sejatinya, salah satunya juga dimaksudkan dalam konteks demikian.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com