Stop Jadikan Korban Penipuan Sebagai ATM Berjalan

  • Whatsapp

Dr. Lia Istifhama, SHI., MEI.
Aktivis, Advokat

Bukan hal baru saat kita dengar kisah penipuan yang menjadikan masyarakat biasa, sebagai korban. Ketidakpahaman atas hukum menjadikan mereka sasaran empuk bagi para pencari mangsa, yaitu mereka yang mendapatkan ‘pasif income’ dengan cara menjadikan orang lain sebagai ‘ATM berjalan’.

Memang terkesan hal yang umum terjadi di tengah masyarakat. Namun apakah kejahatan tersebut harus selalu dibiarkan dan dianggap fakta yang tidak menarik untuk dikaji bersama?

Disebabkan, para korban penipuan, mereka adalah yang rata-rata kemudian dijadikan sebagai pihak tergugat oleh para penipunya.

‘Semuanya seragam’, bahwa rata-rata digugatnya para korban karena dianggap telah berbuat kesalahan dan pelanggaran hukum alias wanprestasi.

Mereka yang sejatinya korban lantas kemudian digugat. Bahkan dalam faktanya, tidak sedikit yang kemudian memang dipersalahkan akibat bukti-bukti yang melemahkan posisi mereka.

Lantas, apakah korban selalu dapat dipersalahkan hanya karena ketidaktahuan mereka atas hukum?

Memang ada sebuah adagium yang menerangkan bahwa ketidaktahuan atas peristiwa atau fakta dibenarkan, tapi tidak untuk ketidaktahuan atas hukum. ‘Ignorantia excusatur non juris sed facti’, ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan, tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum.

Tidak bisa tidak, bahwa secara logika, memang seharusnya setiap pihak yang terlibat sebuah perikatan, memahami adanya hukum yang berlaku dari setiap pelanggaran hak dan kewajiban. Namun bagaimana jika memang mereka tidak mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dalam sebuah peristiwa?

Disebabkan masyarakat biasa yang terlibat dalam perikatan tersebut, hanya memahami maksud tujuan perikatan, yaitu mendapatkan bantuan pinjaman. Dan tidak sedikit yang ternyata tidak memiliki kemampuan utuh dalam membaca sebuah tulisan, disebabkan faktor usia ataupun Pendidikan rendah yang menjadi kendala kemampuan aspek kognitifnya.

Hal ini menjadi menarik dikaji, disebabkan tidak sedikit masyarakat yang kemudian kehilangan hak-haknya, yaitu aset berharga akibat diminta oleh pihak pemodal sebagai jaminan atas utangnya.

Dan semakin menarik, tatkala dalam faktanya, korban tersebut tidak mendapatkan nominal utang sesuai kesepakatan, bahkan secara ekstrim, tidak sedikit korban yang tidak mendapatkan dana tersebut, namun dibuktikan secara tertulis telah menerima pinjaman.

Unik, aneh, dan tidak bisa diterima oleh logika, namun itulah potret nyata yang terjadi di tengah masyarakat. Dan kita pun kemudian terhenti pada sebuah kesimpulan yang harus kita yakini. Bahwa ‘Summum ius summa injuria, summa lex, summa crux’, hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya. Dan di sisi berikutnya, bahwa ‘Justitiae non est neganda, non differenda’, keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.

‘Keadilan itu ada, meski harus melalui perjuangan yang tidak mudah’. Dan pasti akan terhenti kebiasaan kejahatan yang selalu merugikan wong cilik. Karena wong cilik atau masyarakat biasa yang menjadi korban penipuan tersebut, bukanlah ATM berjalan bagi para pelaku kejahatan.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait