SURABAYA, beritalika.com – Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2021. Tentu sangat membanggakan. Namun, ini bukan kali pertama Indonesia tampil di pentas Piala Dunia. Sebab, sebelumnya Tim Merah Putih juga pernah berlaga di Piala Dunia Junior 1979 di Jepang.
Salah satu pemain yang menjadi pelaku sejarah adalah Subangkit, mantan pemain Persebaya dan Timnas Indonesia yang kini menjadi arsitek Gresik United (GU) di kompetisi Liga 3 Jawa Timur.
“Meskipun di Jepang pada tahun 1979 itu Piala Dunia Junior, tetapi titelnya kan tetap Piala Dunia,” kata Subangkit ketika ditemui di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya, 18 Juni 2020.
Saat itu Subangkit hadir di GBT menyaksikan laga persahabatan antara Persebaya Old Star vs SIWO PWI Jatim dalam rangka peringatan HUT ke-93 Persebaya yang berakhir imbang 3-3.
Menurut Subangkit, peristiwa bersejarah itu menjadi kenangan yang takkan pernah terlupakan bagi dirinya. Sebab di Piala Dunia Junior 1979 itu dia bisa merasakan bermain langsung dengan Diego Armando Maradona, pemain Argentina yang kemudian menjadi mega bintang sepakbola dunia. Bahkan, pemain bernomor punggung 10 yang mengantarkan Argentina juara Piala Dunia 1986 di Meksiko itu sampai sekarang namanya masih melegenda.
Kehebatan Diego Maradono bahkan disejajarkan dengan legenda sepakbola top dunia sebelumnya, Pele, yang mengantarkan Brasil tiga kali juara Piala Dunia sepakbola, yaitu pada 1958 di Swedia, 1962 di Chili, dan 1970 di Meksiko.
Namun, Maradona masih mengalahkan ketenaran “Kaisar” Franz Beckenbauer yang membawa Jerman Barat juara Piala Dunia 1974. Juga Johan Cruyff, legenda sepakbola asal “Negeri Kincir” Belanda.
“Maradona memang luar biasa. Ketika tampil di Piala Dunia Junior 1974, saya sendiri kerepotan mengawal. Skill-nya sangat menonjol dan kalau sudan bawa bola sulit direbut,” tutur Subangkit yang kala itu kebetulan menempati posisi sama dengan Maradona, yakni gelandang.
“Karena sama-sama di gelandang, saya sering terlibat duel dengannya. Tapi, Maradona sulit dipegang, dia sangat lincah dan cepat,” sambung pria kelahiran Pandaan, Pasuruan 60 tahun silam tersebut.
Di Piala Dunia Junior 1979 itu, Indonesia yang berada satu grup dengan Argentina, Yugoslavia dan Polandia akhirnya menjadi juru kunci grup karena tidak pernah menang dalam tiga kali laga di babak penyisihan. Argentina sendiri akhirnya tampil sebagai juara. Sejak itu prestasi Maradona semakin melambung. Namanya kian terkenal dan dibicarakan banyak orang di dunia.
“Indonesia sebenarnya tidak lolos ke Piala Dunia Junior 1979. Posisi Indonesia saat itu, kalau saya tidak salah menggantikan Korea Utara yang mengundurkan diri,” terang Subangkit.
Meski tidak pernah menang, secara pribadi Subangkit merasa bangga karena pernah main di pentas Piala Dunia Junior. Banyak pelajaran yang didapatkan. Karena itu ia berharap di Piala Dunia U-20 pada 2021 nanti Indonesia bisa berprestasi lebih bagus lagi. “Apalagi kali ini kita jadi tuan rumah,” harap ayah tiga putri yang juga punya hobi olahraga bulutangkis ini.
Subangkit lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 29 November 1959. Sebelum jadi pelatih, sebagai pemain ia pernah membela beberapa klub seperti Persekap Kota Pasuruan, Assyabaab Surabaya, klub Galatama Jaka Utama Lampung, Niac Mitra Surabaya, dan terakhir membela bendera Persebaya.
Bahkan, Subangkit ikut andil saat Persebaya tampil sebagai juara kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1987/1988, kemudian runner up 1989/1990, dan juara III 1991/1992.
Tidak hanya itu. Sebagai pemain, Subangkit juga beberapa kali memperkuat skuad Merah Putih senior. Diantaranya Timnas Pra Piala Dunia (PPD) tahun 1981-1982 dan beberapa turnamen di luar negeri, seperti Presiden Cup di Seoul Korea Selatan, Merdeka Games di Kuala Lumpur Malaysia Merlion Cup di Singapura dan masih banyak lagi.
“Waktu di Timnas PSSI PPD 1981-1982 dan beberapa turnamen itu saya bermain bersama pemain-pemain yang lebih senior seperti Ronny Pattinasarani, Rully Nere, Simson Rumah Pasal dan Risdianto,” tutur Subangkit, mengenang masa lalunya ketika masi membela Timnas.
Namun, Subangkit juga mengaku tidak bisa melupakan peristiwa tahun 1985 ketika membela Niac Mitra dalam laga away lawan PSM Ujungpandang. Pasalnya, dalam pertandingan itu ia mengalami patah tulang kaki kiri lantaran disleding Hafid Ali, pemain belakang PSM. Akibatnya, ia harus istirahat selama setahun tidak main bola.
Pulih dari cidera, Subangkit lantas gabung klub Suryanaga dan dipanggil masuk skuad Persebaya mulai1986 sampai gantung sepatu tahun 1992. Setelah itu ia beralih profesi menjadi pelatih.
Beberapa klub yang pernah ditangani antara lain Persekabpas Pasuruan, Persema Malang, Persela Lamongan, Persebaya Surabaya, Persiwa Wamena, Mitra Kukar, Sriwijaya FC, PSIS Semarang, Persiku Kudus dan kini dipercaya menukangi “Laskar Joko Samudro” Gresik United (GU) di kompetisi Liga 3 Jawa Timur 2020. (pin)