(Sekelumit Refleksi Seputar Ultra Petita)
Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Midun bukan nama sebenarnya mungkin harus menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali ketika membaca “putusan hakim tinggi” yang baru saja ia terima. Upaya hukum yang ia lakukan dengan maksud mendapat keadilan ternyata berbuah kepahitan sekaligus mengherankannya. Mengapa? Berikut alurnya:
Dari semula ia tidak setuju dengan perceraian yang diinginkan istrinya. Perempuan yang dulu dipersunting dan telah melahirkan beberapa putera itu, tampak sangat kecewa kepadanya. Tampaknya ia merasakan perubahan mencolok tentang kepribadian suaminya. Perilaku suami yang dulu sangat baik dan tanggungjawab itu kini dirasakan sangat menyebalkan. Selain tidak mampu memberikan nafkah cukup dia juga sering ‘keluyuran malam’. Yang lebih, menyakitkan, dia juga sering melakuan kekerasan. Biasanya hal itu terjadi ketika istrinya minta uang saat-saat tertentu, seperti ketika musim ada hajatan, baik oleh tetangga atau keluarga di kampung.
Terhadap dakwaan istrinya, yang hanya minta cerai, itu Midun memang tidak banyak bisa membantah. Pada saat demikian, sebagai suami, sebenarnya Midun juga sudah merasa bukan tipikal lelaki ideal buat istrinya. Tanpa harus mendapat konseling dari Komnas Perempuan, sebagai lelaki sudah merasa terlalu banyak kesalahan terhadap istrinya. Hanya saja dia tetap tidak mau bercerai dengan alasan apa pun. Entah apa alasannya sehingga dia tetap bersikeras mempertahankan rumah tangganya. Karena telah mempunyai anak-anak, karena masih sangat cinta kepada istrinya, merasa tidak mempunyai lagi tempat bergantung, atau karena alasan lain, hanya dia yang tahu. Singkat cerita kesalahan apa pun yang dia perbuat dia rela istrinya mintanya melakukan apapun, asal jangan minta cerai.
Di pengadilan, dalam persidangan yang selalu ia hadiri, sidang pun digelar oleh Hakim sesuai tahapan. Karena suami sangat keberatan bercerai, demi keutuhan rumah tangga tahapan-tahapan sidang itu oleh Hakim ditempuh dengan durasi sedikit lamban. Pak Hakim rupanya ingin melihat bahtera rumah tangga Midun dan istri tercintanya, yang kini sedang sewot itu, tidak terdampar di Palau Karang atau bahkan karam ke dasar lautan. Pak Hakim rupanya juga tahu, hal ini ditempuh bukan karena sengaja melawan arus. Yaitu, sengaja melawan asas umum peradilan: sederhana, cepat, dan biaya ringan. Akan tetapi hal ini sengaja dilakukan oleh Hakim memang untuk menegakkan salah satu prinsip perkawinan yang termuat dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: “Prinsip Memepersulit Terjadinya Percaraian.” Mengapa prinsip ini perlu dipertahakan karena banyak fakta menunjukkan, bahwa sebuah perceraian suami istri mempunyai konsekuensi yang tidak kecil. Apalagi keduanya sudah mempunyai anak. Mungkin kedua orang tuanya dengan perceraian itu, ‘penderitaan’nya dalam berumah tangga sementara berakhir, Akan tetapi, bagi anak perceraian kedua orang tuanya sangat mungkin menjadi awal problem bagi masa depannya.
Tampaknya pada akhirnya Hakim tidak bisa berbuat banyak. Istri Midun dari awal sampai akhir tetap bersikeras bercerai. Tahapan mediasi, kegiatan Hakim membujuknya agar rukun seperti angin lalu. Bahkan, seperti yang diketahui Midun sendiri dalam persidangan istrinya selalu mengeluarkan sikap dan kata kebencian Ketika Hakim bermaksud membujuknya agar mau kembali ke pangkuan Midun, ketika hakim memberikan kesempatan untuk berbicara di sesi kesimpulan lagi-lagi dengan rona kebencian mengatakan: “Pokoknya cerai!” Dengan berat hati Hakim pun, setelah melalui musyawarah Majelis, meloloskan gugatan dengan mengabulkan gugatannya. Putusan itu pun diakhiri dengan kalimat baku yang selalu diucapkan hakim setelah memutus perkara, yaitu pemberian kesempatan untuk menempuh “upaya hukum”, apabila tidak terima dengan putusan yang sudah dijatuhkan hakim tingkat pertama.
Banding
Mendengar putusan cerai sang hakim, Midun memang tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Penjelasan hakim yang memberinya peluang untuk menempuh upaya hukum digunakan sebaik-baiknya. Harapan memperolah keadilan dari Pengadilan yang lebih tinggi menjadi target impiannya, yang pada pokoknya agar pengadilan tinggi dapat membatalkan putusan tingkat pertama sehingga status perkawinannya dengan istrinya tidak berubah. Kembali rukun dengan istri dan anak-anaknya menjadi impian saat-saat berada dalam penantian turunnya putusan hakim banding mengenai perkaranya. Tetapi apakah kemudian putusan banding sesuai denan ekspektasinya?
Untuk kedua kalinya Midun kecewa, bahkan kali ini ia boleh dibilang amat sangat kecewa. Mengapa? Putusan banding tidak hanya menguatkan putusan tingkat pertama, tetapi ada diktum tambahan di luar dugaan. Selain tetap mendukung perceraian seperti pengadilan tingkat pertama, terdapat diktum penetapan hak hadhanah dan penghukuman terhadap Midun dengan mewajibkannya untuk membayar biaya hadhanah bagi anak-anak yang diasuh istrinya. Putusan ini bagi Midun dirasa aneh dan menyakitkan. Disebut aneh sebab dari semula istrinya hanya minta cerai. Istrinya tidak mempersoalkan pengasuhan anak karena anak-anak secara de facto memang sudah ikut dirinya. Boro-boro minta nafkah anak, untuk nafkah istri saja selama ini Midun sudah kuwalahan. Putusan itu menyakitkan karena bagi Midun bercerai saja sudah berat, mengapa justru kemudian harus dihukum oleh pengadilan tinggi untuk menaggung biaya nafkah anak yang sejak semula tidak menjadi perkara yang dipersoalkan istrinya.
Hakim banding rupanya melihat dalam keluarga Midun terdapat anak yang belum cukup umur. Pancaperceraian anak yang tidak berdosa itu harus jelas statusnya. Dia tidak boleh tidak ada yang bertaggung jawab sebagai pengurusnya. Untuk itu perlu ditetapkan siapa pengasuhnya. Tidak sampai di sini, anak itu sudah ada yang mengasuhnya. Anak itu tentu perlu biaya demi kelangsungan hidupnya, sekaligus sebagai jaminan masa depannya. Pertaanyaannya, siapa yang harus dibebani memikul biaya. Rupanya Hakim banding menemukan Pasal Kompilasi Hukum Islam, bahwa biaya hadhanah ditanggung oleh bekas suami. Dengan putusan demikian mungkin hakim banding berpretensi bahwa kalau Midun dan istrinya harus cerai, harus jelas pula nasib anak-anaknya.
Lain jalan pikiran Hakim banding lain pula jalan pikiran Midun. Bagi Midun putusan hakim banding tersebut di samping aneh dan menyakitkan mungkin juga dirasakan angat dhalim. Pikiran Midun pun samapai pada satu kesimpulan: “putusn tidak adil”.
Sambil terus meratap Dia pun bergumam: “Ah sudah jatuh tertimpa tangga.”
Ultra Petita
Narasi di atas hanya sekelimut tentang ihwal ultra petita yang dalam praktik sering menimbulkan silang pendapat antar para ahli hukum, termasuk para hakim. Padahal, dalam hukum perdata dengan asas hakim bersifat pasif, ultra petita sangat dilarang.
Yang dimaksud dengan asas hakim pasif, bahwa hakim hanya boleh menggali, memutuskan apa yang diminta pihak sebagaaiman tertuang dalam petitum gugatan. Larangan ultra petita ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
Norma seperti di atas, sebenarnya secara umum sudah diketahui oleh para hakim. Bahkan, boleh dibilang pengetahuan mengenai hal itu merupakan ilmu dasar yang wajib diketahui oleh setiap hakim. Akan tetapi, meskipun para hakim tahu bahwa ultra petita dilarang, cakupan mengenai ultra petita memang dapat menimbulkan perdebatan. Sama halnya, setiap hakim gugatan yang kabur harus dinyatakan tidak dapat diterima. Akan tetapi, setiap hakim bisa berbeda pendapat ketika menghadapi kasus: apakah gugatan yang sedang dihadapi dapat dikualifikasikan sebagai gugatan kabur. Dalam tradisi fikih sering kita mendapat doktrin agar dalam mengerjakan salat mengikuti rasulullah SAW. Akan tetapi, apabila ada orang salat mengikuti salah seorang sahabat nabi, berarti tidak mengikuti cara rasulullah SAW. Padahal, cara salat sahabat juga tidak lepas dari tuntutan rasulullah SAW.
Dalam kasus di atas, hakim banding pasti juga sudah tahu larangan ultra petita, tetapi pasti beliau beranggapan, bahwa tindakannya menetapkan hadhanah berikut penghukuman kepada suami untuk menanggung biaya hadhanah menurutnya bukan dianggap sebagai ultra petita. Alasan hakim banding bisa karena dua hal. Pertama, dalam gugatan selalu ada petitum: Jika hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Diktum yang dibuat mengenai penetapan hadhanah dan biayanya, menurut Majelis masih dalam ranah petitum subside tersebut. Kedua, selama ini banyak kritik terhadap kinerja hakim, bahwa hakim hanya sebagai corong undang-undang. Akibatnya, putusan yang dijatuhkan hanya memberikan keadilan prosedural dan bukan substansial. Penetapan hak hadhanah dan biayanya mungkin dimaksudkan untuk menepis cibiran tersebut. Bahkan, dengan latar pendidikan dengan strata tinggi, tindakannya mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai hakim progresif.
SEMA Nomor 3 Tahun 2015
Terlepas dari perbedaan pendapat hakim tingkat pertama dan hakim banding sebagaimana dalam narasi di atas, tidak berselang lama, memang terbit SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tentang pemberlakuan rumusan rapat pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan Rumusan Hukum Kamar Agama melarang putusan ultra petita sekalipun dalam hal penetapan hak hadhonah. Normanya mengatur secara tegas “Penetapan hak Hadhonah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut”.
Dengan demikian, SEMA di atas jelas memberikan batasan sekaligus ketegasan cakupan ultra petita yang berkaitan dengan kasus perceraian kaitannya dengan eksistensi anak di bawah umur. Kita tentu tetap menanti terbitnya SEMA-SEMA berikutnya. Kehadirannya menjadi sangat urgen, sebab SEMA-SEMA tersebut bagi hakim bawahan sangat dibutuhkan guna mengikis disparitas pemahaman hukum acara, yang di satu sisi “harus diterapkan secara rigid” dan, di sisi lain, dalam beberapa hal masih menimbulkan silang pendapat antar para hakim, karena memang masih memungkinkan penafsiran (interpretable). Semoga.