Oleh :
Rudi S Kamri
Merdeka artinya bebas dari penindasan, bebas dari tekanan, bebas dari tuntutan dan bebas memilih serta bebas untuk menentukan. Manusia merdeka artinya manusia yang “feel free”, merasa bebas meskipun tetap dalam koridor tata nilai. Atau dalam bahasa kerennya, bebas yang bertanggungjawab.
Kebebasan sebagai manusia merdeka dalam pengertian di atas, sudahkah dimiliki oleh Presiden Joko Widodo saat menentukan komposisi dan personalia kabinet Indonesia kerja jilid 2?
Secara teori ketatanegaraan bahwa seorang Presiden yang terpilih secara konstitusional mempunyai hak prerogatif untuk menentukan semua pembantunya. Namun secara faktual kita semua tahu bahwa kemerdekaan Presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya banyak menemui hambatan dan rintangan.
Dalam sistem kepartaian yang berlaku dimana pencalonannya seorang Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan oleh partai politik, membuat elite partai-partai politik pengusung maupun pendukung merasa punya saham dalam terpilihnya seorang Presiden atau Wapres. Secara politik dan administrasi ketatanegaraan memang benar mereka punya andil besar namun secara realita yakinkah mesin partai telah bekerja maksimal untuk kemenangan calon yang diusung ? Saya sama sekali tidak yakin.
Namun tetap saja mereka merasa punya hak untuk mendapatkan jatah kursi di kabinet. Bahkan seorang ketua umum partai secara tidak tahu malu menyek- menyek di muka umum minta jatah kursi bagi partainya ditambah dibandingkan periode lalu. Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu partai, tapi hampir semua pimpinan partai koalisi bersikap sama dengan langgam yang berbeda. Mereka kompak melakoni drama dua muka. Di sisi muka mereka membangun narasi seolah konstitusional, tapi di belakang mereka menekan Presiden agar mengakomodasi keinginannya. Belum lagi dari pimpinan organisasi relawan yang merasa berkeringat dalam Pilpres.
Jadi sebetulnya saya sangat paham, sulit bagi Presiden Jokowi dalam situasi dan kondisi seperti ini untuk mampu bersikap merdeka sepenuhnya dalam menggunakan hak prerogatifnya. Hanya sebagai rakyat jelata, saya tetap berharap Presiden Jokowi bisa semaksimal mungkin menggunakan kemerdekaan hatinya untuk menentukan orang yang akan menjadi ‘The Jokowi’s Dream Team’.
Rakyat menginginkan Presiden Jokowi merdeka untuk menentukan orang-orang yang akan membantu menggerakkan roda pembangunan di negeri ini. Dan seharusnya Presiden Jokowi percaya diri karena apapun keputusannya, pasti rakyat akan mendukung sepenuhnya. Karena pada dasarnya, rakyatlah yang memilih Jokowi menjadi Presiden, bukan partai-partai atau kelompok manapun.
Saya sangat yakin Presiden Jokowi belajar dari pengalaman periode yang lalu untuk tidak mudah bongkar pasang kabinetnya di tengah jalan. Karena itu akan menghabiskan energi yang tidak perlu. Saya juga meyakini Presiden telah melakukan evaluasi terhadap kinerja para pembantunya pada periode sebelumnya. Sehingga Presiden bisa lebih cermat dalam memilih para pembantunya.
Sebagai contoh kecil salah satunya tentang posisi strategis Kepala Intelijen Negara. Semua kegaduhan yang terjadi di negeri ini salah satunya disebabkan oleh aksi deteksi dini dari intelijen negara yang tidak bekerja dengan baik. Dan satu hal yang penting, seyogyanya seorang Kepala Intelijen Negara bukan figur yang suka narsis tampil di publik, tapi figur yang suka bekerja dalam senyap. Karena sejatinya intelijen adalah roh politik yang berjalan-jalan dalam kegelapan untuk menciptakan terang. Bukan sebaliknya.
Tapi apapun dinamikanya, saya berharap Presiden Jokowi tetap yang mampu memegang kendali atas kemerdekaan hatinya. Keberanian Presiden Jokowi untuk melakukan hal itu khususnya dalam hal penyusunan kabinet, akan berdampak pada efektivitas kerja 5 tahun ke depan. Presiden Jokowi harus yakin koalisi rakyat Indonesia akan solid mendukung Presiden dalam menghadapi gempuran ketidakpuasan dari koalisi partai apabila itu terjadi.
Tidak usah takut pada partai Pak.
Dalam beberapa tahun ke depan kami akan menyiapkan partai untuk Bapak.
Tunggu saja tanggal mainnya. Merdeka !!!
Salam SATU Indonesia
17102019