JAKARTA, Beritalima.com– Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Prof Dr Sudarsono menyayangkan penyusunan Statuta UI tak cermat. PP 75/2021 tersebut berpotensi cacat materil.
Sudarsono yang juga anggota Dewan Guru Besar (DGB) UI itu memberi contoh Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021. Mencermati rumusan Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021. Dia menyayangkan ketidak telitian dalam penyusunan Statuta UI.
Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021: “Lektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi berhak mengangkat dan/atau memutuskan jenjang jabatan akademik, termasuk jabatan fungsional peneliti, fungsional rektor kepala dan guru besar berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi dan pengalaman yang dimiliki”.
Apabila Pasal ini dimaksudkan sebagai pelimpahan kewenangan dari Menteri kepada Rektor dalam mengangkat pejabat fungsional UI, tentu ini sangat bagus dan diapresiasi. Karena hal ini mungkin yang pertama kali Rektor PTN BH mendapat pelimpahan kewenangan seperti ini.
Sayang sekali, rumusan pasalnya sangat bermasalah, khusunya terkait dengan frasa “mengangkat dan/atau memutuskan”, yang dinilainya mengandung kelemahan mendasar dari sudut pandang hukum administrasi.
Bila Pasal 41 ayat (5) itu dimaksudkan untuk mengatur kewenangan Rektor terkait promosi pejabat fungsional UI, paket pengaturannya juga harus termasuk demosi, mestinya juga mutasi dan pemberhentian.
Frasa “mengangkat” dalam Pasal 41 ayat (5) tentu hanya terkait dengan promosi. Pertanyaannya, di mana Pasal yang mengatur tentang demosi? Apakah kata ‘memutuskan’ itu yang dimaksud sebagai kewenangan demosi? Atau mungkin ‘memutuskan’ itu dimaksudkan sebagai pemberhentian? Jelas, rumusan ini sangat membingungkan.
Memang, kata Sudarsono, tindakan Rektor sebagai pejabat administrasi, saat melakukan promosi pejabat fungsional UI dengan cara ‘mengangkat’ pastilah dibarengi dengan tindakan ‘memutuskan’, dengan produk hukum berupa ‘Surat Keputusan” yang memiliki kapasitas beschikking, bukan regelling.
Kalau frasa ‘mengangkat dan memutuskan’, masih dapat dimengerti tindakan hukumnya, yaitu saat Rektor akan melakukan promosi, misalnya seorang dosen dari jabatan Lektor Kepala menjadi Guru Besar.
Sebaliknya, frasa ‘mengangkat atau memutuskan” itu rumusan yang sangatbermasalah. “Saya kira Rektor UI juga akan bingung membayangkan seperti apa bentuk tindakan hukum ‘mengangkat atau memutuskan’ itu? Kalau kedua kata itu dipisahpun, antara “mengangkat” dengan “memutuskan”, juga sangat bermasalah, lucu dan tidak masuk akal. Inilah contohnya betapa PP 75/2021 disusun dengan cara yang tidak cermat.
Masalah lain yang sangat serius dalam Pasal 41 ayat (5) PP 75/2021 ini adalah tidak adanya pengaturan tentang demosi. Menjadi kewenangan siapa demosi itu dalam PP 75/2021 tidak jelas. Bila kelak timbul sengketa demosi, misalnya antara seorang dosen dengan pimpinan Departemen, Fakultas atau pimpinan UI, kemudian dibawa ke PTUN, pertanyaannya: hakim TUN dan para pihak yang berperkara akan bekerja berdasarkan pasal mana?
Sudarsono sangat menyayangkan para perancang Statuta UI tidak bekerja dengan cermat, sehingga menimbulkan cacat materiil PP 75/2021.
Dewan Guru Besar UI Akui Kaget Tiba-Tiba Ada Salinan PP 75/2021 yang Diterbitkan Presiden
Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) menyatakan, perubahan Statuta UI yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2021 cacat materil.
Sementara itu, Ketua DGB UI Prof Harkristuti Harkrisnowo seperti diberitakan Koraninonesia.id menjelaskan, awalnya tiga orang wakil guru besar telah mengikuti proses penyusunan RPP Statuta UI sampai terakhir kali pada rapat 30 September 2020 di Kemendikbudristek.
Lalu 19 Juli 2021, DGB UI tiba-tiba menerima salinan PP 75/2021 yang sudah diterbitkan Presiden Jokowi. “Setelah diamati, DGB UI berkesimpulan, penerbitan itu tanpa mengikuti proses pembahasan RPP baik di internal UI bersama 3 organ lainnya, yaitu Rektor, MWA, dan SA, maupun rapat-rapat di Kemenristekdikti, di Kemenkumham dan di Sekretariat Negara, antara bulan Oktober 2020 sampai terbitnya PP Juli 2021,” kata Tuti dalam keterangannya, Selasa (27/7)).
Dijelaskan, penerbitan PP 75/2021 oleh Jokowi ini telah menyimpang dari prosedur dan tidak memenuhi asas keterbukaan dalam penyusunannya, sebagaimana diatur dalam UU/12/2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
DGB yang terdiri dari 43 profesor ini mencatat ada 8 masalah dalam revisi Statuta UI ini, salah satunya aturan rektor boleh rangkap jabatan di BUMN/BUMD/Swasta selain direksi adalah salah dan tidak ada di dalam pembahasan RPP.
“Berdasarkan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah sebagaimana tersebut, DGB UI dalam rapat pleno 23 Juli 2021 telah memutuskan bahwa PP 75/2021 mengandung cacat materil,” tegas dia.
Karena itu, DGB UI meminta demi menjaga martabat UI, Presiden Jokowi harus mencabut Revisi Statuta UI dalam PP 75/2021 ini dan kembali menggunakan Statuta UI yang lama dalam PP 68/2013. Rangkap jabatan Rektor UI Ari Kuncoro belakangan menjadi polemik sebab dianggap mahasiswa dan Ombudsman RI melanggar Pasal 35 huruf c Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tentang Statuta UI.
Alih-alih mendengarkan masukan mahasiswa dan Ombudsman, Presiden Jokowi justru mengubah pasal Statuta UI tersebut; Rektor UI boleh rangkap jabatan di BUMN asal bukan jabatan direksi melalui PP No. 75 tahun 2021. Seperti diketahui, Rektor UI Ari Kuncoro memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama BUMN PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) tbk. (akhir)