JAKARTA, Beritalima.com– Draft revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Ada beberapa perubahan mengenai pemilu dibanding UU sebelumnya, salah satunya UU No: 7/2017.
Dalam draft yang bakal dibahas wakil rakyat itu ada beberapa poin penting perubahan diusulkan, misalnya pelaksanaan pemilu nasional yang digelar 2024, eks HTI dilarang sebagai pemili, capres dan caleg minimal lulusan Perguruan Tinggi, capres wajib anggota parpol, sanksi mahar capres, ambang Parliamentary Threshold menjadi 5 persen, ambang batas tingkat DPRD dan wacana menggunakan E-voting.
Wacana RUU Pemilu ini menuai pro dan kontra masyarakat, pengamat, akademi, politisi bahkan tokoh-tokoh organisasi kemasyarakatan. Melalui keterangan tertulisnya, Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin juga ikut memberikan opini terhadap usulan perubahan tersebut.
“Kehidupan demokrasi kita harus bergerak ke arah kemajuan. Kehidupan politik harus mampu bertransformasi menuju demokrasi substansial. Dan, RUU Pemilu yang akan dibahas bukan akhir dari perbaikan demokrasi kita, tapi harus jadi landasan awal (starting point) yang tepat,” kata Sultan.
Senator muda dari Provinsi Bengkulu ini menambahkan, regulasi yang dihadirkan harus mampu meminimalisir serta menghadirkan konsekuensi hukum bagi praktek-praktek buruk dalam pemilu (mahar, money politic, abouse of power, isu identitas, keberpihakan penyelenggara, politik dinasti dan lai-lain) yang sudah pasti menciderai demokrasi.
Untuk demokrasi yang baik ada persyaratan harus dipenuhi negara, yaitu adanya kebebasan berserikat dan menyampaikan pikiran, akuntabilitas publik, transparansi, prinsip mayoritas, pemilu teratur.
“Dan, persamaan kedudukan untuk semua warga negara, partisipasi yang terbuka untuk semua rakyat, tumbuhnya civil society, siklus pergantian kepemimpinan, penyelesaian konflik secara damai, menjunjung perbedaan, peradilan bebas dan mandiri, adanya kebebasan pers. Dan, ruh RUU Pemilu saat ini sudah kearah sana,” tambah dia.
Dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Sabtu (30/1), Sultan juga menyoroti khusus mengenai poin kenaikan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) dari empat menjadi lima persen.
Menurut Sultan, hal itu salah satu kebutuhan dalam kepemiluan. Untuk membentuk sistem presidensial yang kuat dibutuhkan dukungan parlemen yang dapat menjadi ‘mitra kritis’ agar pemerintahan dapat berjalan efektif.
“Saat ini pemerintah menunjukkan upaya menata kembali sistem pemilu kita agar menghasilkan partai politik minimal dalam kuantitas, tapi optimal dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Idealnya mungkin cukup dengan 5-7 partai politik.”
Sultan menilai, hampir semua parpol di Indonesia masih memiliki (platform arah program) yang sama dan tidak jauh berbeda. “Justru dengan keinginan revisi UU ini tidak berubah tiap 5 tahun dan bisa digunakan 15 hingga 25 tahun ke depan, bila perlu ambang batas bisa dinaikkan bukan hanya lima persen, tapi 7-9 persen, dan ini adalah opsi yang tepat.”
Selain menaikkan ambang batas, yang perlu menjadi pertimbangan pemikiran kita bersama adalah memastikan parlemen tetap kuat menjalani peran legislatif ditengah dominasi koalisi pemerintah nantinya yang berefek pada penguatan demokrasi kita.
“Jadi sebenarnya perbaikan kedepan bukan hanya terbatas pada prosedural tekhnis semata (jumlah kursi di parlemen), namun yang lebih penting bagaimana memastikan kualitas hasil Pemilu dengan mendorong parpol untuk berbenah serius dalam mempersiapkan sistem ditubuhnya agar terjadi regenerasi kepemimpinan nasional yang bertekad mewujudkan misi kebangsaan kita bersama,” demikian Sultan Bacjtiar Najamudin. (akhir)