JAKARTA,Beritalima.com|Mempertahankan disertasi berjudul Determinan Kejahatan Kerah Putih: Criminaloid dan Organizational criminogenic : Elaborasi Terhadap Kasus-Kasus Kejahatan Finansial di Indonesia, Supriyanto, S.H., S.I.K., M.Si. Kompol / Kasubbagmutjab Bagbinkar RO SDM Polda Metro Jaya, berhasil meraih gelar Doktor Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia.
Supriyanto berhasil meraih gelar doktor dengan predikat Cumlaude. Dr. Supriyanto berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 3,5 tahun, dengan IPK 3,72 pada sidang secara online dan Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia., Rabu (5/1/2022) pukul 13.-14.30 WIB .
Sidang akademik dipimpin oleh Prof. Drs. Adrianus E Meliala, PhD; Prof. Dr. Semiarto Aji; Prof. Dr. Topo Santoso; Prof. Dr. Indriyanto Seno; Prof. Dr. Marcus Priyo; Dr. Dra. Ni Made Martini; Dr. Vinita Susanti; Dr. Iqrak Sulhin.
Determinan pendorong pelaku kejahatan finansial tersebut diantaranya ialah faktor sosio – ekonomi, yang mengacu kepada nature of industry.
“Gambaran nature of industry di antaranya ialah menawarkan kemudahan, memberikan harga murah serta keuntungan yang berlimpah dalam waktu yang singkat; sedangkan affinity frauds, merujuk pada eksploitasi isu agama yang dapat menarik minat karakteristik masyarakat Indonesia,” ujar DR. Supriyanto, S.H., S.I.K., M.Si. Kompol / Kasubbagmutjab Bagbinkar RO SDM Polda Metro Jaya.
Determinan lainnya, ialah karakteristik sosio-ekonomi korban di Indonesia. Serta terdapat juga kondisi penegakan hukum dan politik yang cenderung koruptif, sehingga dari sisi individu pelaku dan korporasi akan menjadikan kondisi tersebut sebagai jalan yang menetralisir serta “melegitimasi” perilaku menyimpang mereka.
Dua Kasus
Kasus pertama, diketahui bahwa idealnya FT memberangkatkan jamaah dengan biaya sebesar 17.000.000, dan untuk menutup kekurangan memberangkatkan jamaah umrah promo diambil dari uang jamaah promo yang telah membayar lunas tahun berikutnya.
“Kemudian apabila FT tidak bisa memberangkatkan jamaah umrah promo dengan uang yang dibayarkan atau disetorkan ke rekening FT, maka FT menggunakan uang jamaah umrah promo yang telah dibayarkan tahun berikutnya,” tambahnya.
Kasus kedua, bermula saat Koperasi MP menipu ribuan nasabahnya yang berinvestasi. Para korban dijanjikan keuntungan di atas 10 % terhadap para nasabah, dari mulai level anggota hingga tingkatan Leader, Gold, dan Diamond. Setiap Leader dijanjikan keuntungan sebesar 20 persen dari investasi nasabah, namun harus berinvestasi awal sebesar Rp 500.000.000 – Rp 2.000.000.000.
“Setiap modal yang disimpan akan mendapatkan keuntungan sebesar 10 % dari uang yang disetorkan dan simpanan tidak hilang dan bila jatuh tempo modal dikembalikan. Namun, yang terjadi para korban hanya sebagian yang diberikan keuntungan dan setelah jatuh tempo para korban tidak dapat menarik dana simpanannya,” tuturnya.
Baik kasus FT dan Koperasi MP telah memenuhi 6 aspek criminaloid yaitu:
1. Tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu seperti egoisme yang tinggi ;
2. Para pelakunya telah menerapkan teknik netralisasi yaitu denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility;
3. Pengendalian diri yang rendah dan rasionalisasi yang tinggi terhadap kejahatan sehingga memberikan keyakinan dalam melakukan kejahatan;
4. Pengakuan palsu atas sosok yang terpengaruh budaya hedonisme dan alternative hedonism;
5. Rendahnya sensitivitas moral dan kecerdasan, dalam hal ini berkaitan dengan moral force yang terkait dengan attachment; involvement; commitment; dan belief;
6. Status sosial dan budaya yang sifatnya overconfidence and over-appreciation for self- authority.
Peneliti telah membuktikan bahwa criminaloid telah berkontribusi dalam kejahatan korporasi, khusus pada kejahatan finansial penggelapan. Dinamika dalam criminaloid diantaranya ketiadaan karakteristik fisik dan psikologis; keraguan dalam bertindak; mudahnya memberikan pengakuan; sensitivitas moral; kecerdasan dan status sosial serta budaya.
“Terkait hal tersebut pun, peneliti telah menemukan bahwa konteks pekerjaan/profesi yang digunakan merujuk pada pelanggaran yang terjadi selama kegiatan kerja berlangsung dan berkaitan dengan pekerjaan. Maka dari itu, kejahatan tersebut dilakukan dengan menciptakan dan memanfaatkan kesempatan melalui legitimasi pekerjaan,” sampainya.
Kondisi ini yang mendorong dinamika organizational criminogenic dalam kejahatan korporasi tumbuh subur dan sulit diterka. Dinamika dalam organizational criminogenic antara lain adalah orientasi profit, keberlangsungan bisnis, pencapaian target, loyalitas kelompok, persepsi bisnis, dan distribusi tanggung jawab pimpinan korporasi.
Lebih jauh, peneliti menemukan bahwa fokus dalam organizational criminogenic adalah celah dalam proses korporasi, aspek pengawasan, yang bertemu dengan dorongan motivasi keuntungan pribadi.
“Dalam kasus kejahatan finansial FT dan Koperasi MP, peneliti menemukan kebaruan bahwa penyebab terjadinya kejahatan, tidak ada satu determinan yang paling dominan, namun penyebabnya justru karena aspek criminaloid dan organizational criminogenic yang berkelindan dalam satu kasus yang sama, serta kehadiran determinan lainnya yang menghubungkan criminaloid dan organizational criminogenic, sehingga menimbulkan kejahatan, yaitu aspek situational criminogenic,” jelasnya.
Peneliti melihat bahwa motivasi melakukan kejahatan finansial adalah keuntungan. Di mana motivasi memperoleh keuntungan hadir di dalam pribadi individu yang memiliki kecenderungan criminaloid serta hadirnya tempat, berupa sebuah perusahaan, sebagai wadah untuk mengumpulkan keuntungan yang memiliki kecenderungan organizational criminogenic.
“Ketika dua aspek tersebut terdapat dalam satu wadah yang sama, yang kemudian berkelindan dengan determinan situational criminogenic, seperti nature of industry, affinity frauds, serta karakteristik sosio-ekonomi Indonesia, maka muncullah korban-korban dari First Travel dan Koperasi Pandawa,” imbuhnya.
Hasilnya, pada aspek criminaloid didapati pelaku memiliki kecenderungan untuk mudah memberikan pengakuan, memiliki status sosial dan budaya tertentu, sensitivitas moral, memiliki kecerdasan, serta keterampilan, namun ragu dalam bertindak. Sedangkan, untuk aspek organizational criminogenic, didapati pelaku berada pada lingkungan dengan ambisi keuntungan, memiliki persepsi bisnis tertentu, bersikap loyal terhadap kelompoknya serta sumber daya manusia yang cenderung homogen.
Melalui hasil penelitian ini, ditemukan bahwa kejahatan finansial dapat terjadi karena dua aspek kejahatan yaitu criminaloid dan organizational criminogenic bertemu dengan situasi (situational criminogenic) yang mendukung terjadinya kejahatan finansial.
“Temuan dalam disertasi ini diharapkan mampu membantu aparat penegak humum baik Kepolisian atau otoritas keuangan, tidak hanya melihat kejahatan finansial dari satu sisi saja, namun melihat dari sisi yang kompleks dalam kejahatan korporasi, sebagaimana yang menjadi hasil penelitian ini. Kemudian, pemerintah juga dapat mempertimbangkan dinamika situational criminogenic sebagai faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya kejahatan korporasi,” tutupnya. (n)