Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH
RAMAI pemberitaan dan pergunjingan, bahkan perdebatan di saat pandemi Covid-19. Pekan ini ada yang unik, pro-kontra terjadi di Kota Surabaya, Jawa Timur. Satu lagi di mancanegara. Italia. Kedua berita itu sempat menjadi tranding topic dan polemik di mediamassa, juga di media sosial.
Masalah di Surabaya “sepele”, tetapi karena ada bara di dalam sekam antara dua petinggi Kota Surabaya dengan Provinsi Jawa Timur, maka penyebutan warna zona hitam yang ditujukan terhadap wilayah Kota Surabaya, membuat “pertengkaran”.
Penyebutan itu terkait dengan wilayah yang terpapar virus corona atau Covid-19. Kota Surabaya merupakan satu kesatuan bersama Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik dengan sebutan Surabaya Raya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, di mancanegara juga terjadi polemik yang cukup viral. Dari kabar berantai melalui WA (WhatsApp) disebutkan bahwa Italia berani melanggar aturan WHO. Larangan melakukan otopsi terhadap jenazah pasien Covid-19 sengaja dilanggar. Setelah jenazah diotopsi, ternyata penyebab kematiannya bukan virus, tetapi bakteri. Tetapi benarkah? Masih diperdebatkan.
Oke! Kita kembali dulu ke Surabaya, menjenguk kasus warna hitam dan merah di Covid-19. Kisahnya, tatkala Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur Dr.Joni Wahyuhadi, Kamis pekan lalu mengatakan, bahwa Surabaya masuk “zona hitam”. Warna hitam itu, menunjukkan kasus Covid-19 di daerah tersebut lebih dari 1.025 kasus.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang mendengar pernyataan itu, sertamerta bereaksi. “Tidak ada istilah zona hitam, dalam pembagian wilayah terpapar kasus virus corona”, ujarnya. Pernyataan Risma itu, langsung dipertegas oleh Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Muhammad Fikser.
Pria asal Papua yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Pemkot Surabaya itu mempertanyakan penyebutan Surabaya sebagai zona hitam Covid-19 mengacu pada banyaknya kasus positif.
Sesuai tahapan protokol masyarakat produktif dan aman Covid-19 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hanya ada empat warna dalam peta persebaran Covid-19, yaitu: hijau, kuning, oranye dan merah.
Warna hijau ada pada level 1 atau aman. Artinya, risiko penyebaran virus ada, tapi tidak ada kasus positif.
Warna kuning ada pada level 2 yang berarti risiko ringan. Penyebaran terkendali tetapi ada kemungkinan transmisi lokal.
Warna oranye pada level 3 atau risiko sedang. Artinya, risiko tinggi dan penyebaran virus berpotensi tidak terkendali.
Warna merah level 4 atau risiko tinggi, yang berarti penyebaran virus tidak terkendali.
Rupanya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, merasa perlu angkat bicara terhadap pernyataan “stafnya” Dr.Joni Wahyuhadi. Menurut Khofifah, memang Surabaya bukan zona hitam, tetapi “merah tua” atau “merah pekat”, kilahnya.
Pembelaan yang dilakukan Khofifah inipun, belum cukup. Fikser malah semakin tegas membantah. Tidak ada sebutan merah tua, pekat dan hitam dalam tahapan protokol tersebut. Meski demikian Fikser enggan berpolemik soal penyebutan Surabaya sebagai zona hitam atau merah tua, maupun merah pekat.
“Kami tidak mengurus warna, kami serius dan fokus dalam penanganan pemutusan mata rantai covid,” kata Fikser di Balai Kota Surabaya, Kamis, 4 Juni 2020. Menurutnya, pekerjaan menanggulangi wabah corona ini tak hanya dilakukan oleh Pemkot Surabaya, tetapi juga didukung oleh banyak elemen lain, mulai pemerintah pusat, BNPB, BIN, Kemenkes dan TNI-Polri.
Saat ini, di Kota Surabaya berlangsung tahap penanganan rapid test massal dan swab. “Kalau soal warna zona hitam, tanyakan pada yang memberi warna saja,” kata Fikser.
Baik, sekarang kita perlu membahas celotehan dari Italia yang menyatakan Covid-19 bukan virus, tetapi bakteri.
Dari pesan berantai yang menyebut dokter di Italia menemukan bahwa penyebab kematian pada pasien Covid-19 adalah bakteri, bukan virus. Menurut narasi di grup WA itu, hal ini menyebabkan penggumpalan darah yang disebut koagulasi intravaskular diseminata (DIC) atau trombosis sehingga bisa disembuhkan dengan antibiotik, anti-inflamasi, dan antikoagulan.
Wah, apapun yang diperdebatkan para ahli, itu urusan mereka, Tetapi ingat, dampaknya kepada kita-kita ini. Untuk itu, mari kita lihat kamus kesehatan, apa itu virus dan apa pula yang disebut bakteri.
Infeksi virus dan bakteri memang berbeda, tetapi gejala yang timbul akibat kedua infeksi tersebut terkadang begitu mirip. Meski begitu, ada dua hal utama yang bisa membedakan antara virus dan bakteri.
Dari ukuran. Virus merupakan mikroba yang ukurannya sangat kecil. Mereka hidup dan berkembang biak dengan cara menempel pada sel inangnya. Ketika masuk ke dalam tubuh, virus yang jahat akan menyerang sel-sel tubuh inangnya, dan terus berkembang biak.
Menurut peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, virus itu antara hidup dan mati, sedangkan bakteri adalah makhluk hidup. Bakteri punya ukuran yang lebih besar daripada virus. Bakteri juga bisa dilihat dengan mikroskop cahaya. Lain ceritanya dengan virus. Untuk melihat virus perlu membutuhkan mikroskop yang lebih canggih, seperti mikroskop elektron.
Kesimpulannya, virus bersifat parasit karena tidak bisa bereplikasi sendiri. Selain itu, virus juga tidak bisa hidup di luar sel inangnya dalam waktu yang lama. Singkat kata, virus harus mencari inang untuk bisa bertahan hidup.
Berkaitan dengan virus mati setelah inangnya mati, perlu dijelaskan kepada keluarga keluarga, tentang tatacara pemakaman jenazah pasien terpapar virus corona.
Menurut Kepala Departeman Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSU Dr.Sutomo Surabaya, pemakaman jenazah posistif corona bisa dimakamkan di Pemakaman Umum. Jadi, tidak harus diasingkan. Asal tatacara dan perlakuannya sejak meninggal dunia hingga pemakamannya ditangani oleh “petugas khusus” sesuai dengan protokol Covid-19.
Bagaimana menurut anda? Ada yang menyatakan berita dari dari Italia itu hoax atau bohong. Ada pula yang menyebut, beritanya “benar” tetapi komentar dan pengembangan berita itu yang tidak benar.
Nah, karena kita yang membaca dan punya cakrawala pandang yang mungkin berbeda, tentu dapat mengejawantahkan segala jenis informasi dari berbagai bentuk komunikasi di zaman “now” ini.
Di samping itu, mari kita simak berbagai sajian berita, karya tulis, artikel, penelitian, pendapat dan mungkin kesimpulan tentang Covid-19 ini dari akun-akun yang terbentang luas di dunia “Nyai Maya bersama Mbah Google”. (**)