Surat Terbuka Kepada Walikota Surabaya Terkait Evaluasi Kinerja Tim Ahli Cagar Budaya dan Dinas Terkait

  • Whatsapp
Benteng "cagar budaya" Kedung Cowek Surabaya

Assalamualaikum wr. wb. Ibu Risma yang terhormat, pertama perkenalkanlah nama saya Dimas Rizki Nugroho Adi, seorang warga Surabaya yang saat ini menuntut ilmu di AGH University of Science and Technology jurusan System Modelling dan Data Analysis Fakultas Eletronika, Automatika, Informatika dan Biomedik di Polandia. Surat ini bukan hanya sekedar ungkapan perasaan kekecewaan perorangan tapi juga mewakili beberapa rekan pelajar Indonesia disini yang mengikuti polemik berita terkait Benteng Kedung Cowek di kota Surabaya. Polemik ini sudah cukup gaduh di media sosial yang merupakan ruang publik dan telah membuat instansi maupun organisasi-organisasi besar diluar kota Surabaya memberikan komentarnya, mulai Tim Ahli Cagar Budaya tingkat Nasional, Tim Ahli Cagar Budaya Tingkat Propinsi , Badan Pelestari Cagar Budaya Trowulan hingga akademisi dari negara-negara lain mulai dosen ahli beton dari Malaysia hingga mantan Staf Budaya Kedutaan Belanda di Indonesia. Maka izinkanlah kami yang selama ini mengikuti berita dari layar laptop ini turut memberikan suara bu, uneg-uneg kegelisahan hati kami. Benteng Kedung Cowek sebagai satu-satunya bangunan di kota Surabaya yang masih dalam kondisi “tidak tersentuh” dengan bekas lubang tembakan pada dinding-dindingnya adalah sebuah aset yang harus diselamatkan. Bukan hanya sekedar dilabeli cagar budaya tapi narasi yang disampaikan pun hendaknya harus tepat. Akan kami tuliskan dalam beberapa poin berikut :

1. Terkait tayangan JTV hari Rabu 18 September 2019 yang menampilkan wawancara dengan Monique Soesman, seorang aktivis sejarah Belanda yang juga mantan staf budaya Kedutaan Belanda di Indonesia, label tayangan ini berjudul “Sejarawan Belanda Bicara Soal Polemik Benteng Kedung Cowek” dengan narasi dibacakan “sejarawan Belanda akan membantu menjernihkan polemik benteng Kedung Cowek…dst”. Sejujurnya nasionalisme kami terusik dengan narasi yang dibawakan JTV, tidakkah kita semua merasa demikian ? Ada kesan seakan kita ini lebih inferior dibandingkan mereka. Tetapi bagaimanapun masalah ini semua bersumber dari ketidak profesionalan Tim Ahli Cagar Budaya kota Surabaya itu sendiri. Bagaimana mungkin mengabaikan arsip surat kabar sejaman hingga malah memilih melakukan metode mengebor / core drilling pada situs?

2. Artikel Jawa Pos 11 September 2019. TACB diwakili Prof. Johan Silas mengatakan bahwa alasan menolak data-data primer dari penelitian Ady Setyawan yang menunjukkan bahwa benteng dibangun tahun 1900 adalah sejarah masuknya teknologi beton yang masuk kota Surabaya ditahun 1930. Pernyataan yang dikeluarkan Profesor dalam Tim Ahli ini sangat bertentangan dengan sumber arsip dilapangan yang sangat mudah kita akses melalui internet. Website delpher.nl dengan mudah memberikan bukti bahwa sejak tahun 1900 sudah berdiri pabrik semen di Surabaya, diikuti iklan-iklan beton bertulang yang sudah marak di surat kabar sejak awal 1900 an. Selain itu kita bisa melihat dari penanda gedung-gedung di kawasan Tunjungan dan kawasan Jembatan Merah yang berangka tahun pembuatan / anno dibawah 1930.

3. Artikel Jawa Pos 11 September 2019, masih Prof. Johan Silas yang mengatakan bahwa Benteng belum menjadi cagar budaya dan mempertanyakan : Undang -undang mana yang kami ( TACB kota Surabaya ) langgar ?

Perlu diketahui oleh TACB kota Surabaya bahwa berdasarkan Surat Keputusan bernomor 646/ 0195/ 436.6.14/2013 , situs Benteng Kedung Cowek telah ditetapkan sebagai bangunan diduga cagar budaya. Surat yang ditandatangani Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pada tanggal 10 Januari 2013 ini juga ditembuskan kepada delapan institusi, salah satunya adalah : Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya. Terkait etika profesi Arsitek dengan bangunan cagar budaya, Dr Ir Danang Priatmodjo, M.Arch ( Tim Ahli Cagar Budaya Nasional dan IAI ) menyebutkan bahwa profesi arsitek harus peka terhadap bangunan, struktur, situs dan kawasan cagar budaya, termasuk berstatus diduga cagar budaya. Hal ini disampaikan dalam seminar cagar budaya yang digagas direktorat cagar budaya dan permuseuman di Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 3-5 September 2019. Terkait Undang-undang yang dilanggar, jawaban atas pertanyaan Profesor Johan Silas adalah Pasal 31 UU no 11 tahun 2010 yang jelas jelas menyebut bahwa objek diduga cagar budaya harus diperlakukan sama seperti cagar budaya.

4. Artikel Jawa Pos tertanggal 10 September 2019 berjudul “Permasalahkan Pengeboran BKC ( Benteng Kedung Cowek )”, ada beberapa pihak yang berkomentar dalam artikel ini. Ady Setyawan selaku peneliti situs benteng mengatakan bahwa lubang bekas pengambilan sampel menurut prosedur core drilling yang benar harus segera ditutup. Hal ini untuk menghindari korosi yang akan merusak dinding benteng. Dalam hal ini kami sangat sepakat dengan pendapat Ady Setyawan, apalagi situs tepat berada ditepi pantai. Keberadaan TACB berfungsi untuk melindungi, menjaga dan merawat bangunan bersejarah. Berupaya bagaimana caranya agar situs atau bangunan dapat bertahan lebih lama. Tetapi fakta lapangan menunjukkan bahwa TACB justru melakukan tindakan yang kontra produktif, hingga surat ini kami tulis, kami belum mendengar berita bahwa lubang-lubang tersebut sudah ditutup kembali oleh TACB Kota Surabaya. Dalam artikel ini, Bapak Andi Said selaku Kepala BPCB Trowulan dan Ibu Endang Prasanti selaku Kabid Cagar Budaya dan Sejarah Disbudpar Jawa Timur turut berkomentar menyayangkan tindakan TACB Kota yang melakukan pengeboran, bukannya menganalisa data-data literatur. Bapak Andi Said lebih lanjut menjelaskan bahwa tugas pokok TACB terangkum dalam tiga hal : pemeringkatan, pengkajian dan klarifikasi data di lapangan. Setelah kami lakukan pengecekan pada situs kemendikbud.go.id, ternyata yang disampaikan Bapak Andi Said sudah tepat. Dalam hal ini TACB Kota Surabaya telah melakukan tindakan yang tidak prosedural dan diluar kewenangan mereka. Yang menjadi pertanyaan kami, berapa banyak bangunan berstatus cagar budaya di kota Surabaya yang ditetapkan dengan cara core drilling ? Lebih penting lagi : darimana dana yang digunakan untuk melakukan uji karbon melalui core drilling ? Jika sudah jelas tindakan ini diluar prosedur, bagaimana TACB Kota Surabaya mempertanggungjawabkan uang negara ?

5. Masih terkait artikel Jawa Pos tertanggal 10 September 2019 diatas, TACB menegaskan bahwa tidak mungkin seluruh kawasan benteng dijadikan cagar budaya. Ini menjadi kekhawatiran tersendiri pula bagi kami. Lantas nantinya seperti apa ? Toko Nam yang hanya disisakan satu sisi dindingnya? Atau malah berakhir tragis seperti rumah radio Bung Tomo? Bukankah bisa dilakukan penetapan sebagai kawasan cagar budaya? kawasan perkotaan seperti Darmo saja bisa ditetapkan sebagai sebuah kawasan cagar budaya. Besar harapan kami agar situs benteng yang menyimpan kisah kejuangan inipun mendapat status yang sama.

6. Mohon ijin ibu, kami berpendapat yang terpenting bukan hanya status benteng sebagai cagar budaya, tetapi narasi yang mengikutinya. Narasi ini tidak bisa disusun dari hasil lab beton, tetapi dari arsip-arsip yang telah dikumpulkan. Mulai cetak biru benteng, artikel-artikel surat kabar sejaman yang memberitakan awal mula dibangun, pro kontra yang mengiringi, besarnya dana yang dikeluarkan, pemasangan meriam pertama, uji tembak pertama, kasus-kasus spionase asing yang terjadi di Benteng Kedung Cowek hingga catatan sejarah para pejuang yang terlibat dalam pertempuran di Benteng tersebut. Jika semua data yang dikumpulkan Ady Setyawan selaku peneliti yang hasilnya juga telah dibukukan tersebut kurang dapat diterima TACB Kota, mohon dilibatkan pula para profesional diluar lingkaran TACB Kota Surabaya. Juga dinas terkait, mungkin Dinas Arsip atau Dinas lainnya. Hal ini semata demi menyusun kepingan sejarah kota kita tercinta : Surabaya.

Yang terhormat ibu kami Ir. Tri Risma Harini, mohon maaf jika pada akhirnya kami memutuskan untuk berkirim surat terbuka karena kami yang mengikuti perkembangan polemik benteng ini melihat dan menilai bahwa TACB Kota kurang komunikatif terhadap warganya. Kami asumsikan demikian dari surat terbuka Ady Setyawan yang berisi daftar pertanyaan kepada TACB Kota terutama terkait metodologi penelitian tidak mendapatkan respon. Juga pada artikel-artikel koran Jawa Pos yang kami ikuti, kami merasa TACB Kota Surabaya tidak pernah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang substansial. Padahal Perda Surabaya no 5 tahun 2005 Bab IV pasal 7 menuliskan: Setiap orang berhak atas informasi berkaitan dengan peran serta dalam pelestarian bangunan dan atau lingkungan cagar budaya. Permasalahan ini telah menjadi perhatian dan keprihatinan banyak pihak , lokal hingga internasional, menggelinding seperti bola salju liar dan tak tentu arah. Mohon ijin sekali lagi ibu, ibaratkan kami ini anak-anak yang ingin berkeluh kesah kepada ibunya. Mohon ijin sekali lagi karena kami berpendapat bahwa masalah ini hendaknya ibu tangani secara langsung untuk mencegah komentar negatif lebih jauh terkait bagaimana kota Surabaya memperlakukan bangunan-bangunan bersejarahnya. Demikian surat ini kami buat.

Hormat kami Ibu, mewakili mahasiswa Surabaya / Indonesia di Polandia

Wassalamualaikum wr wb
Dimas Adi

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *