JAKARTA, Beritalima.com– Semula Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang menjadi pencetak tenaga kerja yang siap terjun ke lapangan. Namun, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) lulusan SMK justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia.
Data BPS 2017 menyebutkan, 11,41 persen angka pengangguran berasal dari lulusan SMK. Tingginya pengangguran dari lulusan SMK itu dipertanyakan di kalangan para wakil rakyat di Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, pemuda, olah raga, kebudayaan, parawisata dan ekonomi kreatif ini.
“Lulusan SMK yang digadang-gadang langsung bekerja, malah nganggur. Kami pun berdialog dengan berbagai stakeholder, ada ketidaksesuaian antara jumlah lulusan SMK dengan permintaan pasar tenaga kerja,” ungkap Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Sutan Adil Hendra dalam keterangan tertulis yang diterima Beritalima.com, Selasa (13/11).
Laki-laki kelahiran Sumatera Utara, 2 Agustus 1968 tersebut menjelaskan, sebenarnya kebutuhan akan tenaga kerja banyak. Hanya saja tenaga kerja yang tersedia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha.
Soalnya, kata wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jambi tersebut, pembangunan SMK di berbagai daerah tak diikuti tata kelola baik, seperti laboratorium tidak up to date sehingga kurang mendukung keahlian yang dibutuhkan dunia kerja.
Politisi partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini mencontohkan, bengkel untuk siswa jurusan otomotif, servis masih utak atik karburator. “Padahal motor zaman sekarang sudah ngak pakaikarburator. Kenyataan ini memang mau tidak mau dihadapi para calon pekerja,” kata Sutan.
Menurut Sutan, hal tersebut bukan lagi soal ketimpangan demand dan supply, tetapi sudah kepada persoalan input. Pertama, input siswa SMK. Selama ini SMK memiliki passing grade lebih rendah dari Sekolah Menengah Atas (SMA).
Sutan memberikan contoh, perbandingan passing grade antara SMK dan SMA dari hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2016. Di Jakarta, passing grade untuk SMA 79,11 sedangkan SMK 66,17. Di Semarang, passing grade untuk SMA 58,63 sedangkan SMK hanya 24,50.
Kedua, lanjut Sutan, input guru. Kini, jumlah SMK di seluruh Indonesia sekitar 13.710 sekolah, tapi guru produktif hanya 22 persen. Guru produktif tersebut guru yang mengajar mata pelajaran jurusan. Sedangkan 78 persen terkait mata pelajaran lain seperti agama, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.
Tak hanya jumlah, lanjut dia, persoalan guru itu juga terkait kompetensi. Ada kemungkinan guru tersebut memang mengampu mata pelajaran produktif, tetapi latar belakang pendidikan dia tidak sesuai.
Kemungkinan lainnya, lanjut Sutan, latar belakang guru itu mendukung, tapi sang guru tak tersebut pernah terjun ke lapangan. Padahal sekolah kejuruan menuntut anak untuk terlibat aktif bukan duduk, mendengarkan dan menulis.
“Semua masalah tersebut perlu kita pikirkan jalan keluarnya, bagaimana meningkatkan daya saing lulusan SMK Tanah Air sehingga mereka terserap lapangan kerja,” demikian Sutan Adil Hendra. (akhir)