JAKARTA, Beritalima.com– Pemilihan presiden-wakil presiden (capres-cawapres) 2014 dan 2019 serta DKI gubernur Jakarta 2017 membuat anak bangsa terbelah.
Hal itu tentu saja berisko terjadinya perang fisik sesama anak bangsa sehingga mengancam keuntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, ke depan perlu dipikirkan jabatan presiden-wakil presiden dan jabatan kepala daerah hanya untuk satu periode.
Artinya, UU 1945 perlu direvisi karena pasal 7 menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) MPR RI, Syaifullah Tamliha beberapa hari lalu kepada awak media mengatakan, pihaknya pernah mewacanakan atau pemikiran internal agar masa jabatan presiden ke depan diperpanjang misalnya delapan tahun.
Setelah itu, yang bersangkutan tidak boleh lagi menacalonkan kembali pada periode berikutnya. “Ada pemikiran di internal kami bagaimana pemilihan presiden ini jabatannya tidak lagi 2 kali, tapi sekali. Hanya saja waktunya ditambah seperti delapan tahun,” ungkap Syaifullah.
Karena menurut wakil rakyat dari Kalimantan Selatan ini, masa jabatan presiden lima tahun dan boleh kembali dipilih untuk periode kedua, tidak bisa berjalan efektif dalam menjalankan program kerja yang dibuat.
Sebab, dua tahun sebelum pemilihan presiden (pilpres), Presiden sudah disibukkan persiapan pilpres berikutnya. Sudah berdebat apakah PT 20 persen atau kah tidak, berdebat panjang.
Padahal Jokowi baru berkuasa 3 tahun, programnya belum jalan semua.
“Maksudnya bukan membela Jokowi, tetapi kalau diberikan kesempatan delapan tahun, dia menuntaskan pekerjaannya sehingga tidak ada lagi tudingan-tudingan yang yang tidak-tidak seperti saat ini. Mungkin itu isinya, bagaimana presiden akan datang setelah 8 tahun itu,” ungkap anggota Komisi I DPR RI ini.
Dengan masa jabatan presiden delapan tahun, kata Syaifullah, juga bisa menghemat uang negara yang digunakan untuk pilpres. “Kalau lima tahun seperti sekarang, uang negara dan bangsa ini disibukkan untuk urusan calon presiden dan anggota DPR saja. Kalau begitu, kapan lagi membangun bangsa dan negara sebesar Indonesia ini,” jelas dia.
Begitu juga dengan pemilihan legislatif. Syaifullah mencontohkan di AS yang demokrasinya jauh lebih dahulu dibandingkan Indonesia. Di negara Paman Sam tidak semua anggota DPR diganti dalam pileg. Ada 20 persen yang tinggal atau tidak dipilih lagi. Hanya 80 persen saja yang dipilih baru.
Menurut dia, dengan masa jabatan presiden lima tahun dan pemilihan ulang semua anggota DPR, juga mempengaruhi proses legislasi. Jika pembahasan RUU tidak tuntas dalam satu periode, pada periode berikut pembahasannya harus dimulai dari nol lagi.
“Seperti RUU Penyiaran. Saya sudah 2 kali di Komisi I , RUU Penyiaran tarik ulur antara Baleg dan Komisi I dan kita berharap itu disahkan. Tetapi kalau tak disahkan sekarang diajukan lagi dari pemerintah yang harus dimulai dari zero lagi dan bukan otomatis dilanjutkan,” demikian Syaifullah Tamliha. (akhir)