JAKARTA, Beritalima.com– Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang meminta pekerjaan pembangunan Hunian Tetap (Huntap) untuk korban gempa, tsunami dan likuefasi di Palu, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu harus selesai 2020 serta lahan Hak Guna Bangunan (HGB) yang habis masa kontraknya akan diambil alih negara dapat menjadi momok dan kekhawatiran investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Itu dikatakan Ketua Umum Forum Anti Korupsi & Advokasi Pertanahan (Fakta) H Anhar Nasution kepada Beritalima.com di Jakarta, Kamis (10/10). “Saya nilai pernyataan Pak JK itu menjadi momok buat investor yang berniat menanamkan modalnya di Indonesia.”
Seperti diberitakan, selain meminta pembangunan Huntap harus selesai 2020, JK juga mengatakan,lahan Hak Guna Bangunan (HGB) yang habis kontrak akan diambil alih oleh negara untuk pembangunan huntap.
“Pekerjaan Hutap harus selesai 2020 dan HGB yang habis kontraknya seperti di wilayah huntap Tondo tidak akan diperpanjang. Akan diambil alih negara untuk menjadi pembangunan huntap,” kata JK di kantor Gubernur Sulteng, Senin (7/10).
Dijelaskan JK, luas lahan yang sudah selesai sekitar 105 hektare dari kebutuhan 228 hektare untuk dua lokasi pembangunan huntap di Palu.
“Permasalahan yang belum terselesaikan selama proses penanganan pascabencana harus dituntaskan, seperti lahan yang berstatus HGB dipastikan untuk membangun Huntap dan fasilitas pendukungnya.”
Sepintas, kata Anhar pernyataan ini memang memberi semangat kepada Pemerintah Daerah setempat untuk terus bekerja dalam rangka mengejar target penyiapan Huntap buat korban gempa, tsunami dan likuifaksi.
Namun, bila disimak lebih dalam, ucapan JK itu bakal menjadi momok dan kekhawatiran para investor yang berniat untuk menanam modal di Indonesia maupun yang sudah terlanjur menanamkan modalnya di negeri ini.
Soalnya, ucapan JK bisa saja membuat investor atau calon investor itu menilai tidak ada kepastian hukum di Indonesia terhadap lahan (tanah) yang mereka gunakan atau bakal digunakan dalam membangun usaha.
Bila berpatokan kepada ucapan Wapres, dapat dibayangkan lemahnya kepastian hukum di republik ini. HGB sudah berakhir masa berlakunya tidak bisa diambil begitu saja oleh Negara, apalagi JK menyebutkan ‘kontrak’.
Dikatakan Anhar, HGB atau HGU yang telah habis masa berlakunya dan bakal digunakan untuk kepentingan Negara ada Undang-Undang yang mengatur.
UU No: 20/1961 tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya harus dilakukan melalui proses hukum sampai pengadilan jika pemilik atau pemegang HGB maupun HGU atas tanah itu berkeberatan diambil hak atas tanah miliknya.
“Bila diambil negara juga ada uang ganti rugi yang harus diberikan kepada pemegang HGB atau HGU. Dan, itu diatur dalam UU No: 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah beserta Peraturan Pelaksanaannya,” jelas anggota DPR RI 2004-2009 ini.
UU juga menyebutkan bahwa setiap tanah masyarakat yang diambil buat kepentingan umum atau pembangunan akan mendapatkan hak ganti rugi yang diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu, termasuk tanaman diatasnya walau sebatang pohon singkong. “Begitulah aturan perundangan yang berlaku di negri ini untuk tegaknya keadilan.”
Mengacu kepada kasus pengadaan tanah di Palu buat korban gempa
tsunami dan likuifaksi sampai saat ini berjalan lancar. Dari informasi yang dudapat masyarakat maupun pengusaha ikhlas menyumbangkan sebagian tanah mereka.
Karena itu, Anhar mengingatkan jangan sampai ada pihak-pihal yang memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dengan memberikan masukan kepada Wapres seolah-olah ada pihak-pihak yang menghambat.
“Seyogyanya Wapres juga banyak mendapat masukan dari kementrian ATR/BPN tentang situasi pengadaan lahan di daerah-daerah di seluruh indonesia khususnya di Kota Palu.
Soalnya, bukan tidak mungkin ucapan Wapres seperti soal tanah HGB dan HGU dimanfaatkan atau disalah gunakan oknum-oknum yang berusaha mengambil kesempatan dan keuntungan pribadi atau kelompok.
Salah satu contoh dengan bersemangatnya Wali Kota Palu mengatakan bahwa Wapres sudah menyuruh ambil dan beliau bilang ‘perkara belakangan’. “Bahkan Wali Kota Palu, Hidayat mengatakan, kalau masih dihalangi kita sikat seperti diberitakan Harian Metro Palu beberapa waktu lalu,” kata Anhar.
Kami dari Fakta sebagai pemerhati kasus-kasus pertanahan dan
mantan pimpinan Panitia Kerja (Panja) Pertanahan Komisi II DPR RI, jelas Anhar, sangat prihatin jika hal ini benar terjadi dan akan diterapkan.
“Bila itu yang terjadi, jelas saya mengatakan bahwa ‘Hukum Sudah Sangat Caruk Maruk di Republik Indonesia Tercinta Ini’. “Orang akan sulit mencari keadilan dan bisa dipastikan para investor tidak berani berinvestasi di Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin yang sudah ada juga lari ke negara lain seperti Vietnam atau Thailand.”
Karena itu, Anhar mempertanyakan kerja para pejabat di Kementrian ATR/BPN khususnya Sofyan Djalil sebagai orang nomor satu di lembaga ini yang nota bene adalah orang dekat Wapres.
“Kenapa Menteri ATR/BPN membiarkan Wapres bicara seperti itu dan tak
mengingatkan pejabat-pejabat di daerah dalam melakukan tindakan-tindakan hukum khususnya dibidang pertanahan,” kata Anhar.
Diingatkan, peristiwa ini boleh saja terjadi di pelosok desa nun jauh di ujung timur atau barat NKRI. Tetapi dengan derasnya arus informasi saat ini yang tidak bisa dibendung atau dibatasi bakal mampu menerobos sampai ke kamar tidur masyarakat.
Derasnya informasi bisa dibuktikan dimana kita bangun dari tidur saja sudah sudah tersaji berbagai berbagai macam berita yang terjadi di belahan dunia nun jauh di sana.
Jadi, tolong hati-hati wahai Pejabat Publik untuk berucap maupun bertindak. “Anda diberi tugas dan diberi gaji besar untuk menjalankan amanah. Setiap saat Anda diawasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan negeri ini,” demikian Anhar Nasution. (akhir)