Tak Sesuai Asas Otda, M Rahman Minta DPR RI Tidak Lanjutkan Bahas RUU Ciptakerja

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang tengah dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bertentangan dengan asas Otonomi Daerah (Otda) Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 yang mengakui keberadaan Pemerintah Daerah baik provinsi, kabupaten dan kota yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.

“Karena itu, Komite III DPD RI dengan lingkup tugas ketenaga kerjaan meminta DPR RI tak hanya sekadar menunda tetapi juga tidak melanjutkan pembahasan RUU inisiatif dari Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut,” kata Wakil Ketua Komite III DPR RI, M Rahman dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Sabtu (18/4)

Rahman JUGA menilai, RUU Cipta Kerja melanggar hak asasi warga negara seperti hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, atas atas jaminan kesehatan, hak atas pendidikan yang dijamin dan dilindungi Konstitusi serta melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan dan memberikan hak-hak tersebut kepada swasta dan/atau asing.

“RUU Cipta Kerja akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam hal terjadinya pelanggaran, tidak jelas norma hukum yang harus diterapkan mengingat norma tentang pelanggaran dan/atau sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang yang menjadi muatan RUU Cipta Kerja tersebut beberapa diantaranya tidak direvisi dan/atau dicabut,” tegas dia.

Tuntutan kami, kata Rahman, sangat beralasan karena hasil telaah atas pandangan itu nyata-nyata RUU Cipta Kerja menghapus kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal pendaftaran serta perizinan berusaha dan mengalihkannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. “RUU ini hanya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah selain pendaftaran dan perizinan berusaha,” ungkap dia.

Apalagi, lanjut Rahman, Pasal 75 RUU Cipta Kerja, mengubah beberapa ketentuan dalam UU No: 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) untuk melaporkan kepada Pemerintah Pusat bukan kepada Kanwil Agama setempat, setiap pembukaan kantor cabangnya di luar domisili perusahaan merupakan kebijakan yang tidak efektif dan efisien serta berpotensi menimbulkan birokrasi baru.

Ketentuan ini hanya menguntungkan PPIU yang domisili perusahaannya berada di Jakarta. “Padahal tidak semua PPIU berdomisili perusahaan di Jakarta sehingga kebijakan diskriminatif ini tidak diterapkan. Keberadaan Kanwil Agama sudah mewakili representasi pemerintahan pusat,”

Begitu pula Pasal 89 RUU Cipta Kerja, telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU No: 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana substansi isi RUU Cipta Kerja sangat bertentangan dengan pasal 27 (2) dan pasal 28D (2) UUD 1945, karena menghilangkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, terkait dengan Upah Minimum (UM).

Konsep dasar dari fungsi UM ditujukan sebagai jaring pengaman sosial. UM diberikan atau berlaku buat pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Penetapan UM didasarkan pada standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL). KHL adalah standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan.

Berdasarkan hal ini, standar KLH daerah bisa berbeda, tergantung kepada pendapatan setiap daerah, daya beli masyarakat dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena itu, penetapan UM menjadi kewenangan bukan saja Gubernur untuk UMP tingkat Provinsi tetapi juga Bupati/Walikota untuk UMP tingkat Kabupetan/Kota. Karena tujuannya sebagai jaring pengaman dan memenuhi kebutuhan layak pekerja, maka penerapan Upah Minimum bersifat wajib bagi seluruh sektor usaha.

Kebijakan Pengupahan Nasional yang mau disusun Pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perppu) tidak boleh menetapkan nominal Upah Minimum yang menjadi kewenangan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menetapkan.

Terkait Waktu Kerja paling lama 8 jam sehari, 40 jam seminggu merupakan syarat limitatif yang ditentukan UU. Dalam hal pengusaha melakukan pengecualian terhadap waktu kerja yang melebihi waktu yang ditentukan wajib mendapatkan izin dinas tenaga kerja dan memberikan upah lembur.

Selain itu RUU Cipta Kerja hanya mewajibkan pengusaha memberikan uang pesangon atau uang penghargaan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Padahal, UU ketenagakerjaan, pengusaha selain memberikan pesangon dan penghargaan juga diwajibkan memberikan uang penggantian hak yang seperti hak cuti, hak ongkos transportasi, uang perawatan dan pengobatan.

RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan pasal asal 163, Pasal 164, Pasal 166, Pasal 167, Pasal 169, dan Pasal 172 UU ketenegakerjaan yang di dalamnya mengatur ketentuan pemberian uang pesangon dua kali lipat.
Tenaga alih daya (outsourcing) harus dibatasi pada pekerjaan tertentu saja yakni pekerjaan yang sifatnya penunjang (bukan pokok) dan hanya berlaku bagi perjanjian kerja waktu tertentu.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga Liberalisasi mempermudah penempatan TKA di Indonesia sehingga mengeliminasi kesempatan bekerja TKI di tanah air secara sistemik. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait