JAKARTA, Beritalima.com– Senator senior dari Dapil Provinsi Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung meyakini amandemen ke lima UUD 1945 sangat diperlukan dalam mengevaluasi konstitusional Indonesia. Evaluasi dalam konstitusional suatu keharusan untuk menguatkan sistem demokrasi di Indonesia.
“Tidak perlu ada yang dikhawatirkan adanya wacana amandemen, karena amandemen tersebut diperlukan guna mengevaluasi konstitusi Indonesia dalam penguatan demokrasi negeri ini seperti kewenangan DPD RI. Sebab selama ini kehadiran DPD RI seperti tidak membawa manfaat optimal,” ucap Tamsil.
Hal itu diungkapkan politisi senior ini dalam Dialog Kenegaraan dengan tema ‘Pokok-Pokok Haluan Negara’ di Loby Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/9) siang.
Selain Tamsil, juga ikut sebagai pembicara mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, Abdul Kholik (senator Jawa Tengah) dan Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI), Laode Masihu Kamaluddin.
Dijelaskan Tamsil, wacana amandemen diibaratkan ‘kotak pandora’ sehingga ada kekhawatiran masyarakat akan disusupi kepentingan- kelompok tertentu sehingga banyak pertanyaan masyarakat yang muncul seperti isu wacana jabatan presiden dan wakil presiden tiga periode.
“Secara komprehensif amandemen diperlukan. Bahkan banyak suara, jangan hanya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) saja, tetapi yang lain juga diperhatikan. Artinya amandemen bukan sesuatu yang tabu, sebab itu sangat memungkinkan. Lebih memungkinkan bila dalam amandemen, fungsi DPD RI diperkuat,” harap politisi senior ini.
Pada kesempatan serupa, Abdul Kholik menjelaskan, haluan negara ini menjadi simpul di legislatif dalam menyambungkan tiga kamar di parlemen. “Haluan negara ini bisa mengharmonisasikan kelembagaan. MPR RI sebagaimana fungsinya, DPR RI sebagaiman fungsinya dan DPD RI juga demikian,” terang dia.
Ditambahkan, bila berkaca pada kondisi seperti ini, perjalanan pembangunan untuk pencapaian tujuan bernegara digariskan konstitusi seperti tidak tentu arahnya. Sulit dikonstruksikan dalam bentang tahun ke depan dalam pembangunan bangsa.
“Selama ini haluan dan arah pembangunan tidak menjadi kesadaran kolektif komponen bangsa. Terutama para pemimpin di pusat dan daerah,” kata Abdul Kholik.
Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier menilai, DPD RI tidak memiliki kewenangan seperti Utusan Daerah. Kewenangan yang ada semasa Soeharto berkuasa telah dipereteli dan telah berpindah ke partai politik (parpol), dan DPR RI yang merupakan kepanjangan tangan parpol.
“DPD RI baru sejajar kedudukannya dan kewenangannya dengan DPR RI dalam hal sebagai anggota MPR RI. Hanya dalam kedudukannya sebagai anggota MPR RI saja, yang lain tidak,” tegas dia.
Fuad juga menilai, mengubah Pasal 22D UUD 1945 merupakan tugas yang berat. Lantaran DPR RI dan parpol akan merasa keberatan jika Pasal 22D dirubah. “Tapi secara tidak langsung melalui penguatan MPR RI, otomatis kedudukan anggota DPD RI akan sejajar DPR RI,” terang Fuad.
Pada kesempatan ini juga, Laode Masihu Kamaluddin uang juga mantan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar menambahkan, dia merupakan salah satu pencetus terbentuknya DPD RI. Dia mengutarakan eksistensi awal terbentuknya DPD RI tidak seperti sekarang yang tidak memiliki kewenangan.
“Terbentuknya DPD RI yakni permasalahan yang tidak bisa di-cover parpol atau DPR RI. Tapi implementasinya DPD RI tidak mempunyai perpanjangan tangan. Itu sebetulnya DPD RI lahir, sekarang kewenangannya dimandulkan,” papar dia.
Laode juga menilai, GBHN merupakan suatu instrumen Pancasila untuk membangun peradaban Indonesia. Artinya, GBHN menjadi visi dan misi yang terarah dalam pembangunan nasional.
“Visinya adalah sebuah strategi karena itu, amandemen ini seharusnya menyeluruh. Jika zaman Orde Baru ada oligarki kaum intelektual. Saat ini oligarki pengusaha dan parpol. Bahaya oligarki pengusaha dan parpol yang hanya memikirkan kepentingan mereka, bukan rakyat seperti apa yang dicita-citakan Indonesia merdeka. Intinya, oligarki saat ini tidak memihak kepada rakyat tetapi kepada penyelenggara negara,” demikian Laode Masihu Kamaluddin. (akhir)