NTT, beritalima.com – Beberapa tahun terakhir kasus trafficking, Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO menjadi topik hangat di berbagai pertemuan dan seminar baik yang diinisiasi oleh Pemerintah maupun Para Aktivis kemanusiaan.
Bila menyangkut Pekerja Migran sebagaimana didefenisikan pada pasal 1 ayat 2 Undang-Udang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, menegaskan Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia.
Apakah Warga Negara Indonesia, yang berkerja di luar wilayah Republik Indonesia disebut Pekerja Buruh Migran Indonesia?
Persoalan yang sangat serius, adanya Warga Nusa Tenggara Timur yang bekerja dan tinggal di wilayah negara lain dengan alasan Bekerja namun tidak berstatus Pekerja Buruh Migran.
Siapakah mereka? Mereka adalah korban yang direkrut dan dikirimkan kenegara lain dengan alasan bekerja dan diminta sejumlah dana sebagai pembayaran untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Potensi terjadinya TPPO di Provinsi Nusa Tenggara Timur dinilai sangat tinggi dan ini merupakan tugas bersama untuk meminimalisir-nya.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menegaskan : Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang – undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Ada dua subyek hukum hal yang harus bertanggungjawab secara hukum, terjadinya Korban Perdagangan Orang dengan modus pekerjaan di negara lain.
Pertama, oknum atau mafia pelaku perekrutan di Indonesia. Kedua, perusahaan yang memperkerjakan secara non prosedural.
Kasubdit Wilayah Asia Tenggara, Direktorat Perlindungan WNI, Kemenlu, Yudhi Adrian memaparkan bahwa akan tindakan pemerintah pusat terhadap perusahaan luar negeri yang mempekerjakan WNI secara prosedural.
Kabagwassidik Ditreskrimum Polda NTT, AKBP Dody Eko Wijayanto, melalui Kombes Eko Widodo memberi gambaran sehubungan dengan upaya Polri mengejar oknum atau mafia pelaku perekrutan WNI untuk pekerjakan di negara lain secara non prosedural?
Kadis Koperasi, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT Silvia R Peku Djawang dan Wakil Bupati Malaka, Kim Taolin menjelasakan upaya pemerintah daerah untuk memberantas dan meminimalisir Perdagangan Orang di Nusa Tenggara Timur atau Kabupaten Malaka
Presiden Lembaga Komando Pemberantasan Korupsi, Indranas Gaho mengatakan, keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama.
“Bersama Kementerian Luar Negeri dan seluruh pemangku kepentingan kami kerjas sama secara konsisten memberi perlindungan hukum bagi korban TPPO,” katanya. (bi)