SURABAYA, beritalima.com | Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menargetkan Kota Pahlawan bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada tahun 2023. Kini, pihaknya terus berupaya untuk menghentikan perilaku masyarakat yang melakukan BABS. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, dari 154 kelurahan di Kota Pahlawan, sebanyak 128 diantaranya atau 83,12 persen sudah berstatus ODF (Open Defecation Free).
Angka tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2021, baru 75 kelurahan atau 48,7 persen sudah berstatus ODF. Sedangkan tahun 2022, sebanyak 128 kelurahan atau 83,12 persen sudah berstatus ODF.
Saat ini, Pemkot Surabaya terus mematangkan strategi percepatan menuju Surabaya bebas BABS atau berstatus ODF pada tahun 2023. Diantaranya, dengan melibatkan perguruan tinggi, jajaran OPD di lingkungan pemkot, serta bersinergi dengan seluruh stakeholder di Kota Pahlawan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan pada tahun 2023, pihaknya menargetkan 26 kelurahan di Kota Pahlawan berstatus ODF. Karenanya, pihaknya terus melakukan edukasi atau penyuluhan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada masyarakat.
“Edukasi PHBS merupakan salah satu upaya dalam merubah perilaku BABS pada masyarakat yang masih buang air besar sembarangan. Tujuannya adalah menuju perilaku masyarakat yang stop buang air besar sembarangan/ODF,” kata Nanik, Kamis (9/2/2023).
Nanik menjelaskan, bahwa hal ini juga dipertegas dalam Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang sebagaimana telah diubah dengan Perda Kota Surabaya No 2 Tahun 2020. Pada Pasal 11 ayat 1 huruf K tertulis, bahwa setiap orang atau badan dilarang buang air besar dan/atau kecil di ruang terbuka hijau, publik, kecuali pada fasilitas yang telah disediakan.
“Serta didukung oleh Perwali No. 32 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Pembuatan Jamban di Kota dan SE Walikota Surabaya Tahun 2022 tentang Percepatan Kelurahan ODF (Open Defecation Free) / Stop Buang Besar Sembarangan,” jelasnya.
Ia mengaku, upaya menghentikan BABS dengan tujuan penerapan PHBS juga menjadi bagian dalam mendukung konsep Kota Layak Anak (KLA). Yakni meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bagi tenaga kesehatan, tenaga sanitarian, dan promosi kesehatan (promkes).
“Melakukan penguatan dan pendekatan PHBS kepada keluarga. Seperti penyusunan perwali tentang percepatan penurunan stunting, SE Walikota tentang Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) yang di dalamnya terdapat regulasi terkait kesehatan,” ungkapnya.
Sebab, menurutnya, capaian sudah ODF merupakan salah satu intervensi sensitif yang dilakukan untuk mengurangi penurunan penyakit melalui penyediaan sanitasi (jamban sehat) di masyarakat. “Hal ini sejalan dengan program STBM stunting di Kota Surabaya untuk mendukung penurunan prevalensi stunting,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro mengatakan pihaknya juga turut mendukung konsep Kota Layak Anak (KLA) dalam menjaga kebersihan lingkungan. Berdasarkan data dari Dinkes Kota Surabaya terdapat 26 kelurahan yang berasal dari 6 kecamatan di Kota Pahlawan belum berstatus ODF. Artinya, 25 kecamatan lainnya sudah berstatus ODF.
“6 kecamatan ini kita kejar supaya bisa menjadi ODF. Informasi dari Dinkes ada sekitar 6.000 titik yang belum berstatus ODF. Saat ini, DLH sedang mengerjakan itu. Untuk bulan Januari 2023, kita sudah mengerjakan 714 jamban dan sudah selesai,” kata Hebi sapaan akrabnya.
Hebi menjelaskan bahwa target pelaksanaan Jamban Sehat Individu tahun 2023 adalah sebanyak 8.000 titik. Karenanya, pihaknya menargetkan 1.000 pengerjaan jamban selesai dalam kurun waktu satu bulan. Sebab, dalam sehari pihaknya mampu melakukan 30-40 pengerjaan jamban.
“Karena target sehari harus menyelesaikan 30-40 pengerjaan jamban. Dalam prosesnya kami juga berkoordinasi dengan Dinkes Kota Surabaya, serta pihak kecamatan dan kelurahan. Melalui program jambanisasi ini, tentunya untuk menekan resiko penyakit pada kelompok rentan, serta untuk menjaga kebersihan lingkungan,” jelasnya.
Pada proses pelaksanaannya, Hebi menerangkan terdapat beberapa evaluasi mengenai kendala yang dialami oleh DLH Kota Surabaya. Kendala non teknis adalah persoalan luas ukuran rumah. Hal ini menyebabkan para anggota keluarga harus mengungsi atau menginap sementara di Balai RW selama proses pengerjaan jamban. Maupun, sudah adanya Water Closet (WC) atau toilet, namun saluran pembuangan kotoran tersebut langsung menuju ke sungai
“Kemudian, jika ada anggota keluarga yang sedang sakit atau anak-anak. Maka kami berkoordinasi dengan Dinkes Kota Surabaya agar warga tersebut bisa menginap dan melakukan perawatan. Karena paling lama pengerjaan jamban dilakukan selama dua hingga tiga hari,” terangnya.
Sedangkan kendala pada sisi teknis adalah kekurangan tenaga pekerja untuk melakukan pengerjaan jambanisasi, hingga akses mobilisasi bahan material untuk pengerjaan. Sebab, terdapat kesulitan untuk membawa bahan material, yakni harus memasuki gang sempit yang berdampak pada pengangkutan bahan material.
“Namun secara keseluruhan, warga menyambut baik program atau pengerjaan jambanisasi untuk penerapan PHBS agar berstatus ODF. Karena program ini gratis, jadi warga tidak dipungut biaya sepeserpun,” pungkasnya. (*)