Oleh: Saiful Huda Ems.
Tiga terdakwa kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta Pasca Pilpres 2019 kemarin hanya divonis 4 bulan penjara, mereka bertigapun mendengar putusan hakim itu dengan senyum kegembiraan. Lalu dimana letak efek jeranya Pak Hakim? Selain itu dalam fenomena lemahnya penegakan hukum lainnya, adalah para pengibar bendera HTI yang terlihat makin marak dimana-mana, di berbagai kota atau daerah tanpa ada pihak keamanan yang berani menindaknya. Celakanya, mereka tidak hanya mengibarkan bendera HTI dan konvoi di jalanan, melainkan pula membagi-bagikan selebaran kampanye Khilafah Islamiyah pada para pengguna jalan. Kenapa mereka tidak ditindak dengan tegas? Apa harus menunggu BANSER NU dan HARIMAU JOKOWI dulu untuk menghadapi mereka?.
Untuk kasus pengibaran bendera Bintang Kejora dalam berbagai aksi mahasiswa Papua di berbagai kota saya tidak begitu mempersoalkannya, karena bendera Bintang Kejora selain hanya merupakan bendera kultural Warga Papua, juga tidak sarat muatan ideologis yang membahayakan Dasar Negara kita, Pancasila dan UUD ’45. Oleh sebab itu di zaman Gus Dur jadi presiden, Warga Papua diperbolehkan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai bendera kultural mereka, meski dengan catatan harus tetap ada pengibaran bendera Merah Putihnya sebagai lambang bendera Negara Indonesia. Ini sangat berbeda dengan bendera HTI yang memanipulasi ajaran Islam dan kalimat Tauhid untuk ambisi politiknya yang sangat jahat, yakni merebut kekuasaan negara.
Seharusnya para pengibar bendera HTI dan yang membagi-bagikan selebaran kampanye Khilafah Islamiyah itu ditangkapi, sebagaimana para provokator gerakan Papua Merdeka yang sudah dijadikan tersangka oleh Polisi di berbagai daerah. Seharusnya mereka –baik itu pengibar bendera HTI maupun provokator Papua Merdeka–dihukum berat hingga orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya terus ingat dan tak lagi berani coba-coba untuk berbuat hal yang sama. Jangan lagi menggunakan pendekatan dialogis manakala kejahatan sudah mereka lakukan, harusnya sikat habis dulu baru kemudian dilakukan pencerahan kembali dengan melalui pendekatan dialogis.
Jadi pendekatan dialogis itu dilakukan pada saat mereka belum memulai kejahatan dan setelah mereka menjalani hukuman atas kejahatannya, namun ketika mereka sedang melakukan kejahatan itu ya seharusnya disikat dengan cara pendekatan hukum. Tangkapi mereka, proses hukum lalu vonis berat hingga mereka jera. Jadi jangan beri senyuman sedikitpun pada para begundal-begundal negara, namun tampakkanlah sikap berani dan tegasmu pada mereka, kecuali pada orang-orang yang hanya ikut-ikutan dan menjadi korban dari hasutan mereka, kalian harus bermuka manis dan membantunya keluar dari pengaruh provokasi mereka.
Diplomasi Cinta dan Diplomasi Perang itu harus diterapkan di lapangan dengan tepat sasaran, jangan sampai salah dan tertukar: penjahat ideologi negara jadi semakin bringas dan merajalela karena mereka tidak ditindak dengan tegas dan ganas, sedangkan rakyat yang tak bersalah kepalanya bocor, terinjak dan mati karena menjadi korban fitnah dan penggiringan opini penuh manipulasi, di sisi lain mereka tidak pernah diberi pencerahan dengan cinta dan penuh kasih. Ironis sekali bukan? Berkenaan dengan hal itu, HARIMAU JOKOWI memiliki konsep penyelesaian persoalan nasional dengan melalui tiga pendekatan yang dilambangkan dengan “TIGA CAKAR” HARIMAU JOKOWI, yakni pendekatan dengan cakar Dialogis, cakar Hukum dan cakar Dialogis kembali. Ingin tau lebih jauh konsep solutif ini? Undanglah kami…(SHE).
05 September 2019
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan penulis, Ketua umum Pimpinan Pusat ORMAS HARIMAU JOKOWI.