Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Ulah selebriti yang satu ini memang boleh dibilang sering ‘merepotkan’ banyak tokoh tertentu. Sesama artis, polisi atau pejabat tertentu pernah ‘berurusan’ dengannya. Bahkan, seorang sekaliber Habib Rizieq Shihab (HRS) pernah ‘dilawannya’. Dialah Nikita Mirzani seorang penyanyi, model, presenter, dan pengusaha yang menurut ‘catatan’ Wikepedia memulai karirnya pada acara Take Me Out Indonesia. Perempuan keturunan Minangkabau kelahiran 17 Maret 1986 dari pasangan Mawardi dan Julaelah ini seperti lekat dengan dunia sensasional. Setiap kata dan perilakunya selalu ditunggu media untuk menjadi bahan berita yang seolah nyaris tidak pernah kering. Tentunya, terlepas apakah anda setuju atau tidak mengenai perilaku dan tutur katanya yang sering ceplas-ceplos itu. Yang terbaru, mengenai ulahnya ialah seputar ‘protesnya’ kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang. Mantan istri Sajad Ukra warga Selandia Baru ini, keberatan atas penundaan sidang yang mundur dari ‘biasanya’. “Yang Mulia, mohon maaf, kelamaan,” katanya sebagaimana dikutip oleh detik hot (14 November 2022). Di luar dugaan sejumlah komentar nitezen pun muncul. Dan, yang membuat korp cakra ini harus mengelus dada dan menghela nafas panjang ialah hampir 99 persen komentar yang ada mengenai ‘kebijakan’ hakim tersebut bernada miring.
Majelis tentu merasa punya alasan mengapa harus menunda demikian. Alasan yang pasti mengapa majelis harus menunda dengan mengundurkan seminggu kemudian karena pada minggu sebelumnya harus menjadi kontingen turnamen tenis warga pengadilan (MA Cup di Semarang). Menjadi kontingen pada even nasional, seperti itu, tentu sangat membanggakan. Meskipun hanya lingkup internal Mahkamah Agung, akan tetapi predikat ‘kontingen’ sering harus diraih dengan susah payah. Karena menjadi wakil provinsi seorang yang terpilih harus menyisihkan perwakilan seluruh kabupaten/ kota yang ada. Itulah sebabnya, mengapa menjadi kontingen di MA Cup merupakan kebanggaan tersendiri.
Selain menjadi sarana refreshing kepenatan kerja menghadapi kasus, yang lebih penting turnamen tenis juga mengajarkan pentingnya sebuah kompetisi. Dalam konteks demikian substansi kalimat hakim tersebut sebenarnya tidak ada yang salah. Dan, yang lebih penting, secara langsung tidak melanggar aturan. Satu-satu ‘kesalahan’ sang hakim adalah karena kalimat tersebut harus berhadapan dengan ‘orang yang salah’. Kalimat Yang Mulia mengenai penundaan sidang itu, mungkin akan direspon biasa-biasa saja jika tidak berhadapan dengan janda 3 orang anak itu. Yang demikian tentu menjadi bahan edukasi bagi hakim-hakim lain jika menghadapi situasi serupa.
Kompetisi Tenis Warga Peradilan
Kompetisi adalah kata kerja instransitif yang berarti tidak membutuhkan objek. Dalam KBBI “kompetisi” berarti persaingan. Ketika kata tersebut disandingkan dengan kata “sosial” berarti persaingan atau perjuangan hidup di tengah-tengah masyarakat. Dalam dunia oleh raga kompetisi dilakukan selain untuk mencapai juara (kampiun), yang lebih penting, ialah agar juara yang diraih diperoleh dengan cara yang sportif. Menurut JS Badudu, sebagaimana dikutip oleh Alfons Taryadi (Kompas.com,30 Mei 2008), kata sportif yang berasal dari bahasa Belanda berarti kesatria, jujur tentang sifat, misalnya menghargai kelebihan lawan, mengakui kekalahan karena lawan lebih unggul.
Sportivitas adalah salah satu nilai yang menunjukkan integritas dan keserasian dalam sebuah olah raga apa pun. Karena konsekuensi sebuah kompetisi harus ada yang menang dan yang kalah, maka menang kalah dalam sebuah kompetsisi olah raga merupakan hal yang niscaya. Mengakui kawan lebih kuat dan diri kurang, sejatinya merupakan benih-benih sikap adil sekaligus jujur dalam jiwa seseorang. Tanpa perasaan adil dan jujur dalam diri, tidak munkin seseorang dapat mengakui kelebihan lawan dan kekurangan diri. Pengadilan yang dalam keseharian dituntut menegakkan keadilan ini merasa perlu memupuk jiwa sportif ini melalui olah raga. Menjadi juara memang merupakan impian setiap kontingen. Akan tetapi, yang lebih penting predikat juara itu harus diperoleh dengan cara menjunjung tinggi sportivitas. Dan, sekali lagi, jiwa sportif sejatinya merupakan nurani keadilan dan kejujuran yang memamg lekat dengan dunia peradilan. Dalam konteks demikian, menjadi juara atau tidak atau bahkan apakah level kejuaraan akan memberikan kontribusi dunia oleh raga nasional bahkan internasional atau tidak, memang tidak penting. Target yang ingin dicapai ialah out put sebuah edukasi berupa jiwa sportif yang ternyata sangat terkorelasi dengan nilai keadilan dan kejujuran yang menjadi ruh tupoksi dunia penegakan hukum, khususnya oleh institusi peradilan. Inilah urgensi MA Cup yang diadakan secara berkala dan diikuti oleh 4 Lingkungan Badan Peradilan ( Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tatausaha Negara dan Peradilan Militer) se-Indonesia ini.
Mengapa warga pengadilan memilih tenis sebagai olar raga “unggulan?” Selain bisa dilakukan oleh semua lapisan umur aparat yang ada, tenis merupakan salah satu cabang yang populer di dunia. Cabang olah raga yang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an yang semula memang dikesankan olah raganya orang elit, ini ternyata bisa dimainkan oleh segenap lapisan umur. Karena beragamnya lapisan umur warga pengadilan yang menyukai olah raga ini, Hanya olah raga ini yang memungkinkan untuk dilombakan dan menjadi even berkala di Mahkamah Agung. Berbeda dengan sepak bola, bulu tangkis atau futsal yang selain harus menuntut stamina tinggi, tentu tidak bisa dilakukan oleh segenap lapisan umur.
Dengan demikian, ‘protes’ Nikita sebagai ‘pesakitan hukum’ memang merupakan haknya yang harus dihormati. Dalam konteks sebagai warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum, tentu Dia ingin segera mendapatkan keadilan secepatnya. Akan tetapi, lantas melawankannya dengan tenis, dalam hal ini MA Cup yang sudah terjadwal jauh-jauh hari, merupakan jalan pikiran yang kurang proporsional. Keduanya mempunyai urgensinya masing-masing. Oleh karena itu tidak seharusnya dipertentangkan. Ketika majelis menunda sidang di luar kehendak Nikita, tentu dengan alasan agar dua kepentingan yang sama-sama dianggap urgen itu, juga bisa sama-sama terlaksana. Kalau begitu, don’t prejudice, ah!
BIODATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :
1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
? Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
? Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
? Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
? Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
? Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
? Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.
Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com