Tensi Politik Terasa Menghangat Menjelang Pengumuman KPU

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

beritalima.com | Berbagai kabar dan manuver politik mulai terasa menjelang “pengumuman pemenang” oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Saat ini KPU masih melaksanakan tahapan menyelesaikan rekapitulasi suara nasional hasil Pemilu 2019. Dijadwalkan paling lambat 22 Mei 2019 bisa selesai.

Kendati tanggal 22 Mei 2019 itu dinyatakan batas waktu akhir penghitungan, bukan berarti itu hari pengumuman pemenang Pemilu 2019.

Masyarakat umum yang sudah ikut sebagai pemilih di Pileg (Pemilihan Legislatif) dan di Pilpres (Pemilihan Presiden), lebih banyak terfokus kepada Pilpres. Mereka menunggu dan ingin tahu hasil perebutan tahta Kepala Negara, antara Kubu Capres 01 dengan Kubu Capres 02.

Tanggal 22 Mei 2019, adalah tenggat waktu yang ditetapkan untuk rekapitulasi perolehan suara, kata Ketua KPU Arief Budiman di Kantor KPU, Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Meski pada 22 Mei 2019 itu proses rekapitulasi suara nasional sudah rampung, KPU tidak akan langsung menetapkan pemenang Pemilu. Sebab ada tenggang waktu sampai tanggal 25 Mei 2019.

Sesuai dengan ketentuan, kata Arief, ada kesempatan kepada pihak-pihak untuk melakukan gugatan. Namun, apabila tidak ada sengketa, maka KPU dapat melakukan penetapan.

Jika dalam kurun waktu tiga hari tidak ada pengajuan sengketa, pemenang Pilpres 2019 bisa diketahui publik, ujar Arief.

Di balik pernyataan Arief Budiman itu, selama ini masyarakat sudah menduga-duga siapa yang di antara dua pasangan Capres/Cawapres yang bakal menang. Pengguna media, sudah melihat tayangan tiada henti yang menyiarkan quick count (hitung cepat), sehingga real count sudah mengarah ke sana.

Situng (Sistem Informasi Penghitungan) di website KPU yang kita pantau itu, oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dinyatakan melanggar prosedur dalam proses inputnya. Bawaslu memutuskan bahwa KPU bersalah soal Situng maupun quick count. Keputusan ini, disampaikan dalam sudang Bawaslu yang terbuka untuk umum dan disiarkan langsung dari Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Dalam proses input Situng, ditemukan banyak kesalahan memasukkan angka suara. KPU mengakui ada salah input, dan terus memperbaiki entri data Situng. KPU juga menegaskan, Situng hanya sistem informasi, yang tidak mempengaruhi hasil pemilu.

Kendati Bawaslu menyatakan KPU melanggar tata cara dan prosedur dalam penginputan data Situng, namun KPU tetap bertahan dengan Situng yang ada itu. Sebab, dalam keputusannya itu, Bawaslu hanya meminta agar KPU segera memperbaiki prosedur Situng.

Komisioner Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo menyebut keberadaan Situng telah diakui dalam undang-undang. Sehingga, keberadaan Situng hendaknya dipertahankan sebagai instrumen yang digunakan KPU. Diharapkan, Situng bisa menjamin keterbukaan dan akses informasi dalam penyelenggaraan pemilu bagi masyarakat.

Bawaslu mengingatkan KPU agar teliti dan akurat dalam memasukkan data ke Situng. Dengan teliti dan meminimalisir kesalahan input, maka tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

Bersamaan dengan proses di KPU, dua kubu Pilpres sama-sama menyatakan menang. Kubu Capres/Cawapres 01: Jokowi-Ma’ruf Amin, meyakini apa yang dilakukan KPU sudah benar. Namun, dari Kubu Capres/Cawapres 02: Prabowo-Sadiaga Uno, terjadi kecurangan di KPU.

KPU akan merampungkan seluruh rekapitulasi nasional Pemilu 2019, sesuai dengan yang sudah ditetapkan, yaitu tanggal 22 Mei 2019. Namun di tengah proses rekapitulasi, dari Kubu 02, menyatakan menolak hasil penghitungan yang dilakukan oleh KPU.

Manuver Kubu 02 ini membuat tensi politik pasca Pemilu 2019 kembali menghangat. Kubu 02 tetap beralasan, banyak terjadi kecurangan. Tetapi tegas, tudingan itu dibantah oleh KPU.

Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) 02, Djoko Santoso, menyatakan memiliki bukti-bukti kecurangan selama pemilu. Namun bukti itu tidak dilaporkan ke Mahkamah Kosntitusi (MK). Alasannya, karena konstitusi sudah tidak berjalan.

Konstitusi sudah tidak lagi dijalankan oleh pemerintah yang mendapat amanah untuk menjalankan konstitusi dengan sebaiknya dan seadil-adilnya. Dengan dasar itulah, maka Kubu 02 tidak akan mengulangi pengalaman buruk seperti saat pemilu 2014. Waktu itu MK memutuskan sengketa tanpa memeriksa bukti yang dibawa oleh kubu Prabowo.

Dalam ketidakjelasan itu, Kubu 02 akan mengandalkan kedaulatan rakyat untuk mencari keadilan. Kedaulatan rakyat yang dimaksud berbasis dengan Undang-Undang dan konstitusi.

Tidak hanya itu, Juru Bicara BPN 02, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyatakan pihaknya siap menyampaikan kecurangan-kecurangan itu kepada Presiden Joko Widodo. Demikian pula, akan membuka data kecurangan itu ke KPU. Namun, KPU harus bersikap fair dan tidak egois dengan menyatakan data KPU paling valid dan benar.

Menanggapi, apa yang diungkap Kubu 02 itu, Kubu 01 seolah-olah menilai Kubu 02 ini ambivalen. Sebab, tidak akan melaporkan kecurangan Pilpres ke MK.

Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) 01 Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily, mengatakan, Prabowo mengulang sikapnya pada Pilpres 2014. Ini contoh buruk bagi demokrasi. Dalam demokrasi itu, ada prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun, yakni harus siap menang dan juga harus siap kalah.

Bahkan, Dedi Mulyad dari TKN 01 Jawa Barat menilai jika Prabowo menolak hasil Pilpres, seharusnya juga menolak hasil Pileg. Sebab, pertanggungjawaban KPU meliputi semua kontestasi dalam Pemilu serentak. Ketika hasil pemilu itu dianggap curang, maka pemahaman itu mestinya berlaku paralel bagi pemilihan presiden, DPD, DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Nah, setelah 22 Mei, dengan tenggang waktu hingga sampai 25 Mei 2019, apa yang bakal terjadi? Apakah terjadi sengketa menurut aturan hukum yang dibawa ke Bawaslu dan atau MK?

Kalau itu bukan sengketa dalam aturan hukum, bagaimana? Maka itu, adalah masa penantian proses politik puncak di Indonesia 2019. (**)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *