Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Banyak orang (awam) bertanya, sama-sama melakukan kesalahan, mangapa orang kecil dihukum berat dan orang kaya atau pejabat itu tidak dihukum atau dihukum ringan? Praktik berulang yang dilihat orang awam, dalam hal penegakan hukum itu, pada akhirnya memunculkan pertanyaan stigmatis: mengapa hukum selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Pertanyaan itu pun biasanya lantas diberikan contoh kasus yang sangat populer, yaitu kisah tentang seorang pencuri ayam dan para koruptor. Pencuri ayam yang harganya hanya beberapa ribu, harus mendapat gajaran hukuman lebih berat dari pada para koruptor yang mengambil uang negara milyaran rupiah.
Sesuai Pasal 362 KUHPidana seorang yang mengambil barang kepunyaan orang lain dengan maksud ingin memiliki secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Ketika pencuri ayam itu sudah berhadapan dengan jaksa dan hakim, biasanya dalam praktik jarang mendapat kebebasan. Berita acara yang dibuat kepolisian itu tinggal membuat jaksa menentukan lama hukuman dan pada akhirnya hakimlah yang menentukan kepastian seberapa lama harus dihukum. Sebelum masuk ke kepolisian, pencuri malang itu biasanya sudah harus dihakimi masa dan bukan mustahil ketika masuk ke kepolisian dia pun harus menghadapi introgasi dengan segenap duka laranya. Pada tahun 2017, di Babelan Bekasi, bahkan seorang dipukuli beramai-ramai lalu dibakar hidup-hidup karena dituduh mencuri amplifier musala. (Kompas.com, 05/08/2017). Dan, kalau kita hendak menulis contoh lagi, tentu masih banyak lagi contoh deretan kasus kepiluan rakyat kecil yang mendapat perlakuan hukum dan main hakim dengan porsi tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan.
Akan tetapi orang awam pasti tetap masygul, ketika menyaksikan para koruptor yang telah terbukti bersalah hanya dihukum 3 sampai 8 tahun. Di era pasca reformasi ini mungkin hanya ada 2 hakim agung yang sangat menonjol dalam hal pemberian hukuman, yaitu Artidjo Alkostar dan Takdir Rahmadi. Yang pertama sangat terkenal selalu memperberat hukuman saat perkara korupsi sampai di meja kasasi dan kedua terkenal dengan sebutan hakim 16 triliun karena beliau bersama hakim agung anggotanya, berani menghukum PT Merbau Pelalawan karena membalak ribuan hektare hutan di Riau. Yang pertama menjadi hakim yang sangat ditakuti para koruptor jika perkara kasasinya jatuh ke Hakim Agung kelahiran Panarukan Situbondo yang memperoleh gelar doktor dari Undip ini. Yang kedua, hukuman–yang dijatuhkan Majelis pimpinan Guru Besar Universitas Andalas yang diketok pada 18 Agustus 2016—sebanyak 16 trilliun ini, masih memegang rekor sebagai hukuman denda tertinggi dalam sejarah republik kita, setelah sebelumnya ‘terbit’ hukuman 336 miliar pada Agustus 2015 untuk PT Kallista. (detiknews, 17/11/2016).
Apabila kita hendak mengambil contoh pelaksanaan hukum dalam praktik ketika yang melibatkan orang kecil dan orang papan atas tentu masih banyak. Dalam konteks demikian memang tidak salah ketika banyak orang awam, hukum harus terstigma negatif “tajam ke bawah tumpul ke atas.” Mengayun parang ke bawah memang akan lebih menghasilkan daya luka lebih mudah ketimbang ke atas. Hukum yang demikian tentu sangat paradoks dengan idea hukum yang digambarkan rasulullah SAW dengan sabdanya yang sangat terkenal, yaitu “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” Mengapa bisa demikian?
Dengan tidak bermaksud melegitimasi ketidakadilan hukum dalam praktik, ambivalensi pelaksanaan hukum yang disitigmakan negatif di atas memang suatu hal lumrah. Faktanya hukum memang hanya salah satu kaidah. Di luar hukum masih ada kaidah-kaidah lain, seperti kaidah sosial, kaidah moral atau susila dan kaidah agama. Hukum sebagai pranata juga sering bergulat dengan persoalan non hukum, seperti politik dan ekonomi. Itulah sebabnya, dalam pandangan sosiologi hukum, eksistensi hukum memang tidak otonom. Ada faktor-faktor non hukum yang sering ikut mempengaruhi efektivitasnya. Tidak jarang, faktor-faktor non hukum itu justru memanfaatkan hukum untuk tujuan-tujuannya. Satjipto Rahardjo, sebagaimana dikutip Achmad Ali, pernah mengatakan, bahwa “hukum itu tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi tumbuh berkembang bersama masyarakatnya.” Dengan mengacu pendapat tersebut, kita memang tidak bisa berharap, bahwa orang yang bersalah melakukan tindak pidana atau melakukan pelanggaran hukum lainnya, akan mendapat sanksi hukum sama persis seperti yang tertera dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan-aturan hukum dalam undang-undang dalam praktik selalu terkait denggan bagaimana penegakannya oleh yang berwenang. Hal demikian tentu belum lagi melihat bagaimana undang-undang itu dibentuk.
Berbagai kepentingan biasanya juga ikut mempengaruhinya. Seberapa kuat kepentingan-kepentingan itu mempengarauhi akan terlihat bagiamana wajah undang-undang itu setelah disahkan oleh yang berwenang. Yang berkuasa harus menang. Oleh karena itu, yang pasti muatan aturan-aturan hukum itu sedapat mungkin jangan merugikan yang punya kuasa.
Mengenai dunia hukum dan penegakannya, secara akademik memang telah menjadi objek kajian para ahli hukum. Akan tetapi, yang memprihatinkan saat ini sebenarnya ialah apa yang dikatakan oleh Mahfud MD, yaitu ketika para aparat melakukan praktik industri hukum, yaitu hukum sebagai bahan mentah lalu diolah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang menghasilkan uang. Sebagai contoh, orang tidak salah dijadikan kambing hitam lalu dicari pasalnya supaya terlihat salah. Atau, orang yang salah lalu dibebaskan dengan kompensasi membayar sejumlah uang.
Dengan demikian, di era yang semakin maju dan problematika masyarakat semakin kompleks ini, tampakanya sampai kapanpun akan sulit kita melihat hukum ideal sebagaimana disabdakan rasulullah SAW di atas. Akan tetapi, kita tidak perlu berkecil hati. Orang kecilpun bisa mengawasi penegakan hukum. Satu-satunya sisa harapan dan menjadi kekuatan kita ialah tetap terpeliharanya demokrasi. Dengan demokrasi, kita bisa berbicara dan menulis. Sejauh masih dalam batas-batas yang dibenarkan secara konstitusional dan tidak menabrak rambu-rambu aturan yang ada, setiap kita harus tetap bersuara ketika melihat kebatilan yang tampak di depan mata. Kita harus bersikap demikian karena (sebagaimana ungkapan Inggris): “Enough for evil to thrive when the good people do nothing” (cukuplah kejahatan itu akan merajalela, ketika orang-orang baik tidak melakaukan apa-apa). Dalam ungkapan yang sering dinisbatkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib karromallahu wajhah, juga ditemukan nasihat bijak: Hina sakata ahlul haqqi ‘anil bathili, tawahhama ahlul bathili annahum ‘ala haqqin”. (Ketika ahlul haq diam terhadap kebathilan, maka ahlul bathil akan mengira mereka berada dalam kebenaran).
Akan tetapi sekali lagi, di era demokrasi ini kita bebas berkata dan bertindak sejauh tidak melanggar rambu-rambu aturan yang berlaku. Usaha mengubah dan memberantas kejahatan yang tampak dengan mengabaikan aturan, berpotensi menciptakan kejahatan baru. Sama halnya, menyelesaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru. Selamat berjuang.