JAKARTA, Beritalima.com– Presiden Jokowi (Jokowi) menetapkan wabah virus Corona (Covid-19) yang melanda seluruh provinsi di Indonesia sebagai bencana nasional. Karena itu, dengan memperhatikan kearifan lokal dan latar belakang geogradis desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) harus memberi kemudahan kepada desa menjalankan semua program Pemerintah termasuk dana desa untuk menanggulangi Covid-19.
Itu dikatakan Ketua Komite I DPD RI, Agustin Teras Narang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Dr Arie Sudjito (dosen sosiologi Fisip UGM) dan Rohidin Sudarno (Pendiri IRE Yogya serta Board of Director Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Senin (20/4). RDPU ini digelar lewat video conference.
Teras mengatakan, Permendes No: 6/2020 tentang Perubahan Permendes No: 11/2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2020 menunjukan, Kemendes PDTT banyak mengeluarkan peraturan dan inilah yang menjadi masalah. “Terbitnya Permendes 6/2020, sepertinya Kemendes melakukan business as usual. Padahal, Covid–19 kejadian luar biasa yang harusnya diberi kemudahan bagi desa yang membutuhkan kecepatan menangani wabah ini,” kata Teras.
Gubernur pertama pilihan rakyat itu menyebutkan penyaluran dana desa tahap pertama, belum semua desa menerimanya. Teras mencontohkan Provinsi Kalimantan Tengah, belum semua desa menerimanya. Padahal, dana itu sangat dibutuhkan desa dalam menanggulangi wabah Covid-19.
Arie Sudjito dalam paparannya menjelaskan, secara sosiologis ancaman virus Corona akan menciptakan soliditas dan bersatu mengatasi masalah desa secara bersama. Terkait penggunaan Dana Desa yang dikonversi dalam Bantuan Langsung Tunai (BLT), Arie mempunyai hipotesis membantu mengatasi dan menjadi jalan strategis jangka pendek–menengah. Namun, jika ini tidak dikelola dengan baik, BLT Dana Desa itu bakal menciptakan masalah dan dan ketegangan perebutan resources.
Ada beberapa risiko akibat virus Corona di Desa, antara lain ketegangan, kecurigaan, distrust, kemerosotan ekonomi melahirkan kesenjangan sosial, potensial dan aktual konflik, kekerasan dan kriminalitas. Selain itu juga menterjemahkan physical and social distancing berlebihan sehingga menimbulkan distorsi dan provokasi menciptakan ekslusi sosial seperti berbagai kasus yang terjadi selama ini diantaranya penolakan pemakaman, penutupan akses dan tindakan yang kontraproduktif.
Karena itu, lanjut mantan Tim ahli penyusunan UU Desa ini, semua regulasi dibawah UU Desa yang digunakan sebagai payung hukum pelaksanaan Dana Desa untuk menanggulangi Covid-19 harus dikawal mengingat ini situasi darurat.
“Pemangku kepentingan harus mengawal penggunaan dana desa untuk Covid–19. Bagaimana cara mengawalnya? Ungkapkan pengalaman yang baik. Soal regulasi ini, saya sepakat ini harus ada sinkronisasi, itu penting. Ini situasi darurat justru regulasi harus simpel dan akuntabel dengan prinsip trust. Percayakan semua ke desa, dengan demokrasi dan partisipasi mereka akan berperan dengan baik”, ungkap Arie.
Terkait kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, Arie mengatakan, komitmen Pemerintah untuk membantu dan mengatasi kerentanan desa dengan memanfaatkan Dana Desa BLT tentu dipahami sebagai situasi darurat, relevan dengan kondisi masyarakat desa yang terdampak pandemi virus corona. “Konversi Dana Desa menjadi BLT ini kuncinya adalah pada komitmen, integritas dan pengawasan publik.”
Yang juga harus dikawal adalah birokratisasi Pemerintah kabupaten harus membantu desa, jangan mempersulit. Selain itu, lanjutnya, komite I DPD RI harus membuat pemerintah dalam hal ini Kemendes, Kemendagri dan Kemenkeu membuat komitmen dengan BPK dan BPKP agar tidak terjadi permasalahan hukum yang menjerat perangkat desa dikemudian hari.
“Pengawasan situasi seperti ini tidak harus rigit. Saya berharap Komite I DPD RI bersuara memberi rekomendasi strategis utuk mempersingkat rantai penyaluran dan maksimalkan pengawasan dibawah. Fokus kita semua harus pada pada penyelematan desa,” ujar Arie.
Pada kesempatan serupa, Rohidin menjelaskan, ada potensi masalah atas penggunaan Dana Desa khususnya untuk BLT. Pertama, soal Silpa, sangat dimungkinkan terjadinya SILPA yang menumpuk di Desa dari prosentase alokasi Dana Desa untuk BLT yaitu kisaran 25-35 persen tidak terserap khususnya pada Tahap I karena menunggu data warga miskin yang belum fix.
Pemda Provinsi dan Kabupaten/Kota akan terus berupaya melakukan sinkronisasi Data yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dengan menambahkan “kriteria lokal” guna menutupi “kuota” BLT sehingga kemungkinan akan terjadi variasi data atas kriteria lokal antar daerah/propinsi dan pulau, dampaknya angka kemiskinan membengkak,” demikian Rohidin. (akhir)