SURABAYA, beritalima.com- Terkait Piala Dunia U-21 tahun 2021, Lia Istifahma optimis Gubernur Jawa Timur Indar Parawansa dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, bisa diskusi bersama membicarakan hal tersebut.
Apalagi, keduanya merupakan dua Srikandi yang masing-masing mempunyai kelebihan.
“Sebagai kepala daerah, Khofifah Indar Parawansa yang juga Gubernur Jawa Timur dan Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya, keduanya adalah pemimpin hebat,” kata Lia Istifahma.
Pendapat ini muncul, setelah adanya pemberitaan komentar Khofifah terkait persiapan Piala Dunia U-21.
“Saya yakin semua orang mengakui bahwa kedua pemimpin ini memang sosok perempuan yang hebat. Sangat mumpuni bahkan untuk saat ini belum ada pemimpin perempuan yang menyamai mereka. Bukan hanya bicara Surabaya atau Jawa Timur, melainkan memang popularitas dan ketokohan keduanya sudah diakui nasional bahkan internasional,” paparnya.
Menurutnya lagi, saat Khofifah menyampaikan hal itu, maka sudah selesai semua persoalan.
“Saya yakin, hubungan keduanya baik-baik saja. Bahkan nyuwun sewu, yang saya tahu, Ibu Gubernur orangnya selalu mengapresiasi kinerja orang lain yang hebat prestasinya. Saya yakin Ibu Risma juga salah satunya yang berhasil,” tandasnya.
Sementara itu terkait lokasi yang digadang menjadi salah satu venue piala dunia setelah keduanya bertemu, Lia enggan menjawab dengan ekplisit.
“Begini, banyak orang hebat yang lebih paham, mengerti dan sesuai kapasitasnya untuk menjawab. Jadi saya sebagai warga Surabaya, tidak mau kemeruh (sok tahu) istilahnya. Tapi saya yakin bahwa banyak warga Surabaya yang percaya bahwa Ibu Gubernur dan Ibu Walikota merupakan kedua sosok pemimpin hebat. Tanpa kita ketahui, pastilah sudah ada hal-hal yang mereka siapkan untuk kebaikan semua pihak, terutama bagaimana Gelora Bung Tomo lebih cantik dan sebagainya,” tuturnya.
“Mereka sama sekali bukan pemimpin yang berpangku tangan atau tinggal diam. Tunggu saja, pasti ada solusi moncer dari mereka. Jadi pemimpin itu memang tidak mudah, apa-apa pakai pertimbangan yang bisa diterima semua pihak. Jadi, menurut saya, kita sebagai warga tidak ikut nambah-nambahi,” tegasnya.
Ning Lia, -begitu dia biasa disapa- mengaku melihat sendiri sorotan kamera menonton saat pertandingan Persebaya VS Sleman dengan skor 2-3, untuk kemenangan Sleman, 29 Oktober lalu itu.
Dikatakan, pasca pertandingan tersebut perusakan GBT hingga polemik calon stadion yang dianggap layak sebagai venue Piala Dunia. sempat menjadi trending di berbagai pemberitaan, bahkan hingga saat ini. Terlebih pemberitaan soal Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) pun menjadi semakin ramai dibicarakan. Termasuk setelah beberapa bacawali yang akan maju di ajang Pilkada Kota Surabaya, 2020 mendatang.
Bagaimana dengan Lia Istifhama, yang namanya juga masuk di bursa Pilwali Surabaya?
Ditanya soal itu, Lia lebih memilih menjawabnya sebagai seorang Ibu dan warga Kota Surabaya.
“Maaf, saya berkomentar bukan kapasitas sebagai bacawali, karena masih jauh kalau bicara soal itu (Pilwali-Red). Saya lebih nyaman bicara sebagai warga Surabaya saja. Sebagai Ibu dari dua anak. Memang, saat itu saya nonton bersama anak-anak saya. Karena anak-anak saya itu senang dan ngefans berat dengan Bonek dan Persebaya,” katanya.
Lanjut Lia, itu dibuktikan, anak-anaknya suka mengoleksi pernak pernik dan aksesoris Bonek, hingga saat ini.
Dikatakan lagi, tanda-tanda kekecewaan memang terlihat dari para suporter, termasuk percikan api di akhir pertandingan.
“Pikiran saya pasti karena kecewa dengan performa tim, termasuk menit-menit terakhir. Kemudian ketika selesai di skor 2-3, suporter ada yang turun ke lapangan. Dimulai dari tribun seberang. Setelah itu berlanjut seperti yang kita lihat dalam video yang sempat viral. Saat itu anak saya menanyakan empat pertanyaan kepada saya. Dan sebagai ibu, tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Pertama, mereka bilang, ‘Ma, ada pemberontakan’. Ma, orang-orang itu merusak papan-papan tapi masak mau ganti rugi ya Ma?’ Ma, aku mau nonton Persebaya lagi kalau menang aja. Dan yang paling unik, ‘Ma, aku boleh dukung lawannya Persebaya ga Ma? Kalau Persebaya kalah terus, itu rentetan pertanyaan anak-anak saya,” ucapnya.
“Jadi, saat itu saya edukasi mereka bahwa itu bukan pemberontakan, tapi kekecewaan dan anak-anak tidak boleh takut karena mereka (yang turun ke lapangan) tidak jahat. Buktinya tidak saling melukai satu sama lain’. Kemudian saya sampaikan, kalau menang ya anakku harus bisa main bola biar jadi pemain Persebaya,” lanjut Lia.
Lia mengaku, jawabnya yang diberikan sengaja simpel. Menurutnya, itu sebagai edukasi agar anak-anaknya paham, bahwa masalah yang muncul tidak boleh diperbesar.
“Itu, jawaban untuk edukasi,” ucap aktivis perempuan dari Nahdliyin itu.
Dia pun, mengaku sependapat dengan lontaran komentar dari beberapa kawannya, para Bonek.
“Saat itu saya tanya ke teman saya, kok, kayak gini kenapa?’ Mereka sampaikan salah satu solusi adalah bagaimana pihak berwenang mengatasi hal itu, yakni mau mendengar aspirasi Bonek dan mengutamakan loyalitas. Contohnya, banyak pelatih atau pemain asli Surabaya yang hebat, itu harus diakui dan diakomodir. Ternyata yang disampaikan itu sama dengan pendapat Bonek lainnya. Dan, esok harinya saat saya baca berita di koran, ada komentar seorang Bonek yang menyampaikan hal serupa.
Kesimpulannya, asli Suroboyo itu penting karena jiwa perjuangan meraih kemenangan pasti sangat kuat. Jadi semangat menang sangat tinggi kalau rasa memiliki dan cinta pada Suroboyo, kuat. Dan saya yakin setelah ini performa tim Persebaya jauh akan lebih bagus dan kans menjadi pemenang di laga-laga berikutnya sangat mungkin terjadi.
“Saya optimistis, bahwa kejadian itu akan menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi banyak pihak,” pungkasnya. (Red).