MADIUN, beritalima.com- Sidang kasus pembunuhan ajudan Komandan Kodim 0812/Lamongan, Kopda Andi Pria Dwi Harsono, dengan dua terdakwa mantan anggota intel Kodim 0812/ Lamongan, terdakwa I Serma Joko Widodo dan terdakwa II Sertu M Hamzah, kembali digelar di Pengadilan Militer III/13 Madiun, Jawa Timur, dengan agenda tuntutan, Senin 23 Mei 2016.
Dalam tuntutannya, Oditur Militer (Jaksa Militer) Letkol Laut (KH) Ediyanto Kesumo, menuntut terdakwa I selama 10 bulan penjara dan terdakwa II selama 15 bulan penjara dipotong selama terdakwa dalam tahanan.
“Menuntut, agar terdakwa I Serma Joko Widodo dijatuhi pidana selama 10 bulan penjara dan terdakwa II Sertu M Hamzah selama 15 bulan penjara dikurangi selama dalam tahanan dan membayar biaya perkara sebesar Rp.10 ribu,” baca Oditur Militer Letkol Laut (KH) Ediyanto Kesumo, dalam tuntutannya.
Ringannya tuntutan Oditur Militer ini, karena kedua terdakwa tidak terbukti dalam dakwaan primer pasal 338 KUHP. Tapi hanya terbukti dalam dakwaan subsider pasal 351 KUHP. Terdakwa juga hanya melakukan pemukulan dengan pelan kepada korban.
Dalam sidang terungkap, korban tewas karena tulang pangkal lidahnya patah akibat kekerasan, ditemukan bekas penganiayaan lain ditubuhnya mulai memar di kepala, dada, kaki hingga tulang iganya.
Usai Oditur Militer membacakan tuntutannya, Ketua Majelis Hakim, Letkol (KH) Tuti Kiptiani, menutup sidang. Sidang dilanjutkan Senin (30/5) mendatang dengan agenda pledoi (pembelaan) dari penasehat hukum terdakwa.
Untuk diketahui, kasus itu bermula Sabtu 12 Oktober 2014 lalu. Saat terdakwa I ditelepon Dandim 0812 Lamongan Letkol ARM (saksi 1), untuk menghadap. Kepada terdakwa, ARM menyampaikan jika korban diduga melecehkan putrinya, GA (4,5).
Terdakwa Joko diminta memeriksa korban yang lantas mengajak sejumlah rekannya. Kemudian sekitar pukul 11.00 WIB terdakwa 1 memangil korban ke unit intel. Awalnya, korban ditanya ihwal kondisi putri komandannya. Tapi korban menjawab tidak tahu. Karena itu, kemudian terdakwa 1, terdakwa 2 dan saksi 1 menganiaya korban.
Keesokan harinya, ARM memeriksakan kondisi putrinya ke dr Heri Slamet Santoso di Surabaya. Namun dokter menolak memvisum karena harus dilampiri permintaan dari penyidik. Ketika pulang dari
Surabaya, ARM kembali menginterogasi dan menganiaya korban yang masih berada di ruang intel. Saat itu terdakwa 1 dan terdakwa 2 tidak melakukan upaya untuk menghentikan aksi ARM yang melakukan penganiayaan. Sebenarnya, korban sempat membungkuk dan meminta maaf, dan interogasi pun dihentikan. Namun keesokan harinya, korban ditemukan tewas di ruang unit intel dengan kondisi tergantung dan tangan terborgol dengan jarak kaki 0,2 sentimeter dari lantai. (Dibyo)