JAKARTA, Beritalima.com– Tidak penuhnya Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dikhawatirkan politisi senior di Komisi XI DPR RI yang membidangi Keuangan, Perbankan dan Pembangunan, Dr Hj Anis Byarwati.
Soalnya, ungkap Anis dalam keterangan pers yang diterima awak media, Sabtu (1/5) malam, kondisi ini akan mempengaruhi daya beli PNS karena tidak penuhnya THR yang diberikan. Hal ini disebabkan tunjangan kinerja besar peranannya dalam komponen take home pay PNS. “Tunjangan kinerja yang diakumulasi dengan THR, idealnya berdampak pada lonjakan konsumsi rumah tangga.”
Ya, seperti diberitakan, melalui Nota Dinas yang dikeluarkan 28 April 2021 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pembayaran THR 2021 pada aparatur negara, pensiunan, penerima tunjangan dan THR keagamaan 2021 bagi pegawai non ASN, Kemenkeu menyatakan diantara komponen yang tidak dibayarkan adalah tunjangan kinerja. unjangan ini komponen yang nilainya cukup besar.
Anis berharap, ekonomi tumbuh positif triwulan II-2021 karena masyarakat sudah terlalu lama terjebak krisis. “Salah satu sumber pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga. Dan, itu ditentukan pendapatan,” kata Anis.
Pada dasarnya pendapatan terdiri dari dua yaitu pendapatan tetap (gaji pokok) dan pendapatan variabel (THR, tunjangan lainnya). Alokasi pendapatan tetap biasanya sudah terencana, sedangkan pendapatan variabel biasanya untuk leisure. Pada titik ini, keputusan ‘memotong’ gaji akan mengurangi belanja leisure.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menyayangkan kebijakan pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan secara optimal untuk mencapai tujuan yang salah satunya sebagai daya ungkit pertumbuhan. “Terkadang satu kebijakan men trade off kebijakan lain.”
Contoh, Pemerintah sedang memberikan stimulus pada sektor industri properti dan kendaraan bermotor melalui insentif pajak (PPN dan PPnBM), pada waktu bersamaan melakukan penghematan APBN dengan pemberian THR secara tidak full kepada PNS.
Pada satu sisi berdampak ke peningkatan daya beli masyarakat, tapi di sisi lain memberikan efek penurunan tingkat konsumsi karena pengurangan pendapatan. “Terkadang, banyak hal yang tidak sesuai antara instruksi dengan kondisi di lapangan. Koordinasi inilah yang menjadi pekerjaan rumah di Indonesia,” tegas dia.
Pada kasus THR, Ketua bidang Ekonomi dan Keuangan DPP PKS menilai, perlu koordinasi dilakukan agar momentum pertumbuhan ekonomi saat konsumsi tinggi dapat dimaksimalkan. Harusnya Pemerintah mengambil langkah konkrit untuk menggenjot pendapatan negara. “Semua amunisi ada di tangan Pemerintah baik sebelum atau selama pandemi Covid-19.”
Sebelumnya, tax amnesty juga digadang-gadang akan mampu menggenjot pendapatan negara. Namun, sampai sekarang masih belum terlihat bahkan shortfall perpajakan selalu terjadi. Di saat pandemi juga berbagai kebijakan dalam pemulihan ekonomi dengan dana ratusan triliun digelontorkan.
Bahkan berbagai kemudahan investasi dan fasilitas fantastis juga dikebut dengan UU Cipta Kerja. Intinya harus ada kebijakan adil yang tujuannya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
“Kita cukup melihat di depan mata bagaimana kasus Jiwasraya, Asabri, bahkan kasus korupsi dana bansos saat semua rakyat sedang susah. semuanya terjadi dalam ranah ‘pelat merah’ yang seharusnya menjadi panutan dan tumpuan rakyat,” demikian Dr Hj Anis Byarwati, (akhir)