Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sebuah akun tiktok berisi potongan ceramah seorang pendakwah muda yang beredar di dunia maya tampaknya berpotensi viral, setidaknya di komunitas aparat Peradilan Agama. Isinya tentang istri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan Agama. ‘Fatwa hukum’ yang disampaikannya mengandung narasi yang ‘super kontroversial’. Pernyataan selengkapnya adalah sebagai berikut:
“Kalau ada seorang perempuan ngajukan perpisahan kepada pengadilan agama kemudian di tok sama hakim, dipisah sama hakim, tetapi tidak ada perkataan talak dari pada suami, itu tetap menjadi istri yang sah. Jadi kalau dia kawin lagi, nikah lagi dengan laki-laki yang lain berarti pernikahannya tidak sah dan dihukumi zina, bahaya. Talak pisah itu haknya suami. Selama suami tidak mengucapkan talak walaupun dipukul itu palu sampai puthul tetap ndak bisa memisahkan pasangan suami istri. Itu haknya suami….”
Karena beredar juga di WA para aparat Peradilan Agama, maka hampir semua hakim berkomentar singkat: pernyataan itu menyesatkan umat. Mengapa?
Dengan pernyataannya itu, mencerminkan sang pendakwah muda itu jelas tidak mengerti hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya yang menyangkut hukum perkawinan. Mengingat kompleksitas akibat dan dampak sosialnya, saat ini hukum perkawinan, termasuk dalam hal ini mengenai perceraian telah diatur negara. Undang-undang yang mengatur perkawinan ( yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) berikut peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975) merupakan hukum positif yang mengatur hal itu. Sebagai hukum positif, eksistensinya harus dipatuhi oleh seluruh warga negara. Semua wacana khilafiyah mengenai hukum perkawinan harus dianggap telah selesai ketika negara telah megambil alih secara tuntas. Khusus mengenai tatacara perceraian, termasuk yang telah diambil alih negara secara tuntas itu. Pada Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 telah ditegaskan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Yang dimaksud perceraian ini baik cerai talak (cerai atas inisiatif suami) yang diatur oleh Pasal 66 UU Nomor 7 Tahun 1989 dan cerai gugat (cerai atas inisiatif istri) yang diatur oleh Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989 semuanya telah diatur oleh negara.
Kalimat “hanya hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan” dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa “tidak ada perceraian di luar pengadilan”. Dengan kata lain, baik cerai talak maupun cerai gugat, meskipun tidak sampai “puthul”, memang memerlukan “ketukan palu hakim”. Hakim dimaksud tidak lain Hakim Pengadilan Agama bagi yang sebelumnya menikah secara Islam dan Hakim Pengadilan Negeri bagi sebelumnya menikah selain Islam.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa lembaga hukum cerai gugat sebagaimana diatur dalam Pasal 73 tersebut memang belum populer dalam kitab-kitab fikih. Ketentuan tersebut sengaja dibuat dalam rangka untuk melidungi perempuan (istri) yang di satu sisi, karena alasan tertentu sudah tidak tahan hidup bersama suaminya, dan di sisi lain, tidak bisa lepas dari ‘cengkeraman’ suami akibat suami tidak mau menjatuhkan talak kepadanya.
Dalam Islam memang ada lembaga ‘khulu’ yaitu perceraian yang diajukan atas inisiatif istri dengan kesediaan istri mengembalikan mahar yang telah diterim. Pada zaman rasulullah SAW istri yang meminta cerai ini langsung mengadu kepada rasulullah SAW. Rasulullah pun kemudian memangil sang suami agar mentalak istrinya setelah istri mengembalikan mahar yang pernah diterimanya. Kasus yang melegenda mengenai hal ini ialah kasus yang dialami Tsabit bin Qais yang digugat istrinya Jamilah binti Salul. Setelah menerima pengembalian mahar dari istrinya, atas perintah rasululah SAW, Dia pun mentalak istrinya. Peristiwa ini dikenal sebagai ‘cerai gugat’ (khulu’) pertama yang terjadi dalam Islam.
Meskipun demikian, perceraian jenis ini, masih tergantung kepada suami, dalam hal ini ikrar talak yang (harus) dijatuhkan kepada istri. Lembaga khulu ini masih ditulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu diatur dalam Pasal 148 ayat 1 sampai dengan ayat 6. Dalam perkembangannya, perceraian melalui jalur ini kemudian jarang ditempuh oleh istri karena berpotensi ribet saat suami hadir di persidangan. Di samping itu dalam praktik lembaga ini juga sering digunakan suami untuk melakukan ‘pemerasan’ terselubung kepada istri. Tebusan yang diminta suami pun sering tidak seimbang (melebihi) dengan jumlah mahar yang pernah diberikan. Akan tetapi yang pasti, setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Tahun 1975 serta UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, tidak ada perceraian di luar pengadilan, baik cerai talak, cerai gugat maupun cerai dengan cara khulu’.
Ketentuan mengenai keharusan perceraian di pengadilan itu memang berbeda dengan dengan sahnya perkawinan. Kualifikasi tentang keabsahan perkawinan bisa hanya menggantungkan kepada ketentuan agama. Campur tangan negara hanya sebatas melakukan pencatatan. Oleh karena itu memang masih dimungkinkan terjadinya praktik pernikahan di luar pengawasan negara atau yang lazim disebut ‘nikah siri’. Hanya saja oleh karena pernikahan ini tidak tercatat maka negara tidak memberikan perlindungan hukum. Negara hanya memberi perlindungan hukum kepada warga negara yang di samping melakukan pernikahan sah menurut agama juga mencatatkan pernikahan tersebut kepada pejabat yang berwenang.
Terlepas dari perbedaan bobot pengaturan keabsahan pernikahan dan perceraian tersebut, pernyataan pendakwah itu setidaknya memberikan informasi kepada kita mengenai 3 hal:
Pertama, masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa ketentuan perkawinanan mutlak harus mengacu kepada ketentuan hukum Islam (fikih). Mereka tidak tahu jika sebagian ketentuan fikih tersebut telah diambil alih oleh negara dalam bentuk undang-undang dan/ atau petaraturan perundang-undangan lain yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Kedua, akibat masih adanya tokoh yang memandang sebelah mata aturan negara, khususnya mengenai perkawinan ini, menyebabkan potensi pelangaran masyarakat terhadap aturan mengenai perkawinan sulit dihilangkan. Kehadiran oknum tokoh tersebut ini seperti sebuah serangan balik atas sosialisasi hukum yang salama ini dijalankan oleh pemerintah. Ketiga, kajian fikih siayasah tampaknya belum terbudaya dengan baik. Padahal, kajian ini penting sebab di dalamnya akan diketahui bagaimana hubungan negara dengan agama berikut ajarannya. Dari kajian ini juga akan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan hukum Islam yang berkaitan dengan ranah publik selalu memerlukan campur tangan negara. Ketentuan mengenai perkawinan di meskipun menyangkut hukum privat juga terdapat aspek lain yang menjadi ranah publik. Wallahu a’lam.