Jakarta – Indonesia saat ini, berada dalam situasi ancaman kebencanaan yang serius dibandingkan dengan negara lain, karena merupakan daerah dengan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia.
Hal ini ditandai dengan silih bergantinya kejadian bencana alam di Indonesia seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, erupsi gunung berapi dan potensi terjadinya tsunami.
Namun, masyarakat sepertinya tidak sadar bahwa dirinya tinggal di daerah rawan bencana, sehingga pemerintah perlu memberikan literasi tentang kebencanaan dan perhatian serius dalam memitigasinya.
“Menurut saya, ada tiga kata kunci dalam peningkatan kapasitas negara dalam pengelolaan bencana saat ini,” kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk ‘Indonesia dan Ancaman Bencana Alam, Bagaimana Kita Memitigasinya? di Jakarta, Rabu (7/12/2022) sore.
Tiga kata kunci tersebut, kata Anis Matta, bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk melakukan penguatan anggaran kebencanaan, serta skala prioritas dalam kebijakannya.
Sebab, perhatian pemerintah saat ini terpecah dalam menghadapi peristiwa lain seperti mengatasi ancaman krisis ekonomi, pandemi Covid-19, dampak perang Rusia-Ukraina, serta memasuki tahun politik.
“Sehingga pemerintah mesti mengukur kemampuannya, ketika suatu peristiwa terjadi bersamaan. Tetapi tiga kata kunci ini, bisa menjadi rekomendasi maksimal dalam menghadapi situasi ancaman kebencanaan saat ini,” ujarnya.
Pertama, pemerintah membuat Peta Bencana Nasional, sehingga proyeksi potensi bencana secara nasional dapat diketahui dan bisa menjadi guidance atau petunjuk bagi kita semua.
Kedua, perlunya regulasi pada tata ruang yang berhubungan langsung dengan konstruksi, terutama konstruksi bangunan atau hunian.
“Kita ketahui bersama, bahwa bencana ini, kalau ada runtuhan bangunan, maka orang bisa meninggal dari reruntuhan. Jadi karena dampaknya mematikan itu, perlu tata ruang dan regulasi yang berhubungan dengan konstruksi,” ujarnya.
Ketiga, terkait dengan kedisiplinan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar diterapkan dalam kehidupan nyata dan tidak sekedar menjadi aturan saja, tanpa pelaksanaan secara maksimal.
“Jadi catatan ketiga saya, adalah enforcement. Masalah kedisiplinan untuk memberlakukan regulasi itu ( UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana) dan menerapkannya dalam kehidupan nyata kita,” tandasnya.
Menurut Anis Matta, pemerintah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara seperti sekarang dalam memitigasi bencana, yang terkesan baru bertindak setelah ada jatuh korban jiwa atau dampak ada kerusakan masif. Pemerintah seperti tidak ada perencanaan dan terlihat gagap setiap ada bencana.
“Langkah pemerintah juga sering kali kalah cepat dari semangat voluntarisme publik untuk terlibat lebih jauh dalam aksi-aksi kemanusiaan. Kekuatan negara harus hadir dalam mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi situasi ancaman kebencanaan, dan bagaimana memitigasinya,” tegas Anis Matta.
*Peta Bencana Nasional*
Sementara itu, Koordinator Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Iman Fatchurochman mengatakan, BMKG telah berupaya untuk memitigasi meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan dampak dari kerusakan yang akan ditimbulkan dari bencana yang terjadi.
“BMKG juga telah membahas, serta menyodorkan peta rawan bencana dengan mengajak keterlibatan pemerintah daerah untuk memitigasinya. Wilayah Indonesia itu ada 13 zona megatrust, serta 295 sesar aktif yang harus diwaspadai,” kata Iman.
Menurut dia, gempa yang terjadi di Indonesia mayoritas mendatangkan kerusakan parah dan banyak menelan korban jiwa. Hal ini terjadi karena bangunan rumah tidak tahan gempa, serta gempa sering kali terjadi di batuan lunak.
“Korban meningggal pada umumnya, disebabkan karena bangunan rumahnya sendiri, bukan karena gempanya sendiri,” jelas Koordinator Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG ini.
BMKG, lanjut dia, sudah menyediakan data daerah rawan gempa sejak 2017 dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“BMKG telah berkontribusi untuk tata ruang, serta berkoordinasi dengan BNPB, serta Kementerian PUPR dalam memberikan informasi potensi kebencanaan,” katanya.
*Rumah Tahan Gempa*
Sedangkan Kepala Pusat Data Informasi (Pusdatin) dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan bangunan akibat gempa bumi, diperlukan bangunan atau rumah tahan gempa.
“Gempa Cianjur magnitude 5,6 itu kerusakan luar biasa, karena kondisi rumah atau bangunannya tidak tahan gempa. Kini tercatat 334 jiwa meninggal, 37 ribu rumah rusak belum termasuk sekolah,” kata Muhari.
BNPB, kata Muhari, telah berbicara dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar meminta Kementerian Desa dan PDTT untuk ikut serta merenovasi bangunan rumah masyarakat agar tahan gempa dengan biaya murah.
“Kita mengajak masyarakat untuk merehab bangunan rumah sendiri agar tahan gempa, misalkan diberi bantuan Rp 15 juta. Kita telah meminta Menteri Desa agar bisa menggunakan Dana Desa untuk perbaikan rumah masyarakat di pelosok desa. Begitu kita ngomong ini, sama Pak Menteri Desa, beliau sudah langsung oke dan akan segera keluarkan SK menteri, bahwa Dana Desa bisa untuk penanggulangan bencana,” katanya.
*Pemerintah Harus Tegas*
Pakar Vulkanologi & Bencana Gunung Api Surono mengatakan, pemerintah harus tegas dalam upaya mitigasi bencana. Pemerintah daerah juga harus mengutamakan perlindungan warganya ketimbang kesejahteraan.
“Harus ditegakkan mana yang layak huni dan tidak untuk mitigasi bencana. Dan harus ada law enforcement yang kuat. Peta sudah ada dan berharap Pemerintah Daerah mengikutinya,” kata Surono
Surono yang akrab dipanggil Mbah Rono menegaskan, bahwa gempa bumi tidak membunuh, tetapi infrastrukturnya yang membuat masyarakat menjadi korban.
Hal ini akibat banyak pihak yang tidak mematuhi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, padahal ancaman hukuman pidana dan dendanya sangat jelas.
“Seluruh daerah rawan bencana itu enak ditinggali, karena mata airnya banyak. Seperti lokasi likuifaksi di Palu, itu sudah direkomendasikan untuk tidak ditinggali, karena masuk peta rawan bencana. Pemerintah daerahnya mengizinkan dan masyarakatnya tidak mau dipindah, maunya tinggal disitu. Dan kita sudah lihat dampaknya seperti apa,” ujar Mbah Rono.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM ini berharap agar masyarakat yang berada di daerah rawan bencana harus kembali ke alam atau back to nature.
“Nenek moyang kita itu, sebenarnya sudah menciptakan bangunan yang tahan gempa dan tahan gerakan tanah. Bangunan rumah itu, contohnya bisa kita lihat rumah orang Sunda, Sumatera Barat, Baduy dan lain-lain. Mereka bikin rumah panggung, pendek saja tidak terlalu tinggi. Nenek moyang kita sudah sangat empiris, tetapi itu semua kita tinggalkan,” katanya.
Mbah Rono menilai perlu ada kebijakan politik atau political will yang tegas dari pemerintah untuk mengubah perilaku tersebut. Sebab, percuma jika investasi triliunan rupiah dalam membangun infrastruktur, tanpa dibarengi dengan resiko bencananya.
“Itu hanya satu detik, tiga detik semua habis. Jangan berlindung dibalik kata investasi, tanpa memperhitungkan resiko bencana. Yang mematikan itu bukan gempa buminya, atau gunung meletus, tetapi infrastruktur yang membunuh kita. Kalau kita bandel sama alam, tentu akan ada harga yang harus dibayar,” pungkasnya.(ar)